Dubai, Dubai, oh Dubai. Sejak pertama kali gue datang kemari gue udah
terperangah dengan sistem manajemen kota ini. Tata letak, arsitektur,
lalu lintasnya serba tertata membuat gue serasa berada di simulasi
komputer aja. Di sini membangun skycrapper kayak menaruh rumah-rumahan
monopoli. Seperti ada tangan raksasa yang menaruh mereka sehingga bisa
apik kalau dilihat dari kejauhan. Udah gitu bentuknya aneh-aneh lagi.
Bentuk-bentuk yang loe bayangkan hanya bisa dipahat atau diukir pada
benda seukuran lemari bisa lo temuin ukuran Godzilla-nya di gedung
perkantoran sini.
Jadi selain faktor suhu udara yang kayak neraka, gue betah. Gue akan
menetap cukup lama. Apalagi sepertinya bisnis di sini tidak sesimpel
yang gue bayangin awalnya. Pertama, banyak saingan. Kedua, gue rada
nggak ngerti logika dagangnya orang Arab. Mereka kalau markup anggaran
itu norak senorak-noraknya. Bisa sampai tiga kali lipat! Gile nggak tuh.
Perlu kejelian lebih menghadapi orang-orang ini.
Dan...dan...dan...gue yakin ini akan mengagetkan loe. Gue punya pacar
(lagi) sekarang. Hehehe. Lebih tepatnya calon istri sih. Soalnya gue
belum ngapa-ngapain sama dia. Gue menganggap dia adalah faktor untuk
membuat status sosial gue tampak normal. Gue jadi anak baik-baik di
depannya. Walau gimanapun gue tetap berasal dari keluarga Indonesia.
Menginjak usia 30 –walau dengan tampang 6 tahun lebih muda (ini fakta,
Bung)- dan masih melajang sudah pasti membuat orang tua kelenjotan. Ortu
gue nggak frontal sih nyuruh gue cepet nikah. Paling cuma ngenalin ama
si ini si itu doang. Nah, waktu itu ketika gue ke Jakarta setelah dari
Bali gue dikenalin nih sama satu orang.
Namanya Nina. Awalnya gue underestimate. Apaan nih orang? Tapi lama-lama
gue tertarik juga. Dia dokter freshgraduate. Manis. Sementara alasan
dia mau sama gue tentu selain gue nggak jelek-jelek amat, karena dia
rasional aja, butuh duit buat melanjutkan studi spesialisnya. Kalau
begitu kenapa gue mau? Ya udahlah...semua orang kan butuh duit, gue suka
dia, lagipula kan ini untuk studi, bukan buat ke salon. Alasan utamanya
sih karena gue mau dianggap normal aja. Cerita selengkapnya tentang dia
dan pertemuan kami ntar menyusul sambil cerita deh...
Kami belum menetapkan tanggal pernikahan. Gue sih nggak mau buru-buru,
kita kenal juga belum lama. Mungkin setahun lagi lah. Dia juga kayaknya
setuju-setuju aja. Cuma masalah selalu ada di orang tua. Maunya
cepet-cepet mulu. Gue sih bisa handle orang tua gue, cuma ada masalah
dengan bokap nyokap mereka. Harus gue akui gue belum terlalu sering
ketemu mereka. Orang tua gue yang lebih sering. Dari cerita yang gue
denger dari Nina, sepertinya orang tuanya itu terus-menerus menanyakan
rencana gue. Tepatnya kapan gue ngelamar dia. Terakhir Nina telepon
nanyain gue kok nggak pulang-pulang, soalnya papa-mamanya pengen nanya
langsung ke gua gitu.
“Ya udahlah, Nin. Kamu kan bisa jawab, kita nggak buru-buru, tapi rencana tetap pasti ada.”
“Aku udah ngomong, tapi mereka nggak sreg kalau nggak denger kamu sendiri yang ngomong ke mereka. Mereka belum yakin.”
Hhhh...okelah, akhirnya gue memutuskan untuk balik ke Indonesia
sebentar. Gue atur schedule gue. Mungkin gue akan di sana selama dua
minggu. Gue berangkat besok sore.
Keesokan harinya sebelum berangkat gue ada meeting terlebih dahulu. Nah
di situ itu gue disamperin sama seseorang yang memperkenalkan dirinya
sebagai konsul dagang Mesir. Dan dia sangat pengen gue bertemu dengannya
empat mata untuk membahas kemungkinan investasi di Kairo. Wah, gue
bilang, harus ditunda dulu, karena gue sudah akan terbang ke Jakarta,
nanti sore....Dia kecewa, tapi bilang untuk segera menghubunginya begitu
ada kesempatan. Gua okein aja.
Gue pulang, membawa koper yang udah gue persiapkan, dan berangkat menuju airport. Sore hari itu gue kembali ke tanah air...
***
Yang jemput gue, udah bisa gue tebak. Adik gue. Dia terlambat lama
banget. HP-nya ga bisa dihubungi. Gue telpon rumah katanya dia udah
berangkat. Nah, setelah hampir dua jam lebih menunggu, dia datang
tergopoh-gopoh...
“Sori Bang, macet...banjir...”
“Ya udah. Kita jalan sekarang, bantuin bawa barang gue.”
Kami meninggalkan airport.
Di rumah gue disambut sama bokap-nyokap gue. Setelah ritual kasih
oleh-oleh gue ngomong rencana gue di sini sebenarnya mau ngapain.
“Aku mau ketemu Papa-Mamanya Nina.”
“Kapan, Fer?”
“Belum tahu, lebih cepat lebih bagus...”
Malamnya gue telpon Nina. Ternyata di rumah cuma ada nyokapnya,
sementara bokapnya sedang ada tugas di luar kota. Tiga hari lagi baru
balik. Dan gue harus menunggu.
Akhirnya gue menghabiskan waktu dengan laptop gue. Online. Email. Semua
berhubungan dengan pekerjaan yang harus diselesaikan. Gue tetep tidur
larut walau berada di rumah sendiri.
Semua berjalan normal sampai suatu saat gue merasa ada yang asing di
rumah ini. Bokap-nyokap gue tetep seperti itu adanya. Amat jarang di
rumah. Tapi ada satu orang lagi yang beberapa kali memberikan
kejanggalan di hati gue.
Adik gue. Satu-satunya adik gue. Si Rizki.
Gue baru nyadar udah jarang banget ngomong-ngomong sama dia sejak SMA
(atau SMP), singkatnya sejak dia remaja. Seinget gue terakhir main sama
dia ya waktu dia masih suka main gimbot or mobil-mobil RC itu. Setelah
itu hampir tidak pernah kecuali basa-basi yang garing. Gimana dia sejak
jadi ABG gue nggak tahu. Dan gue tentu sudah loss masa-masa itu karena
adik gue sekarang sudah kuliah. Gue ngerasa nggak kenal ama adik gue
sendiri.
Gue menghela nafas. Mungkin ini saatnya gue mencoba deket sama adik gue.
Nggak asyik juga rasanya. Gue mencoba melihat dari sisinya, ditinggal
ortu terus, sepi banget di rumah. Cuma ada pembantu yang selalu
menghindar kalau diajak ngobrol, sungkan. Coba kalau gue nggak ada.
Lebih kayak kuburan ni rumah.
Gue mulai berusaha makan bareng dia, nonton TV, dan tentu saja
ngobrol-ngobrol. Dia anak teknik, jadi gue berusaha nyambungin omongan
gue ama hal-hal yang berhubungan sama teknologi gitu. Gue adalah
bisnismen yang jago mempersuasi klien, jadi jangan tanya gimana progress
gue untuk lebih deket sama adik gue ini. Dua hari kemudian kita udah
ngakak bareng nonton DVD. Gue masuk ke kamarnya, gue membayangkan isinya
masih mobil-mobilan ketika ternyata dugaan gue langsung mentah melihat
lemarinya penuh buku-buku tebal, poster band luar negeri menutupi tembok
kamar, dan satu bass gitar tergeletak. Gue tanya, “Lho main bass ya?”.
Dia mengangguk dan menunjukkan kebolehannya sedikit. Wew, gue memang
melewatkan banyak hal.
Setelah tiga hari gue jalani dengan adik gue, gue menelepon Nina. Berita
yang gue denger darinya kurang begitu bagus, karena kepulangan Papanya
ditunda tiga hari lagi, yang berarti gue harus menunggu lebih lama. Gue
menutup gagang telepon dan langsung menuju kamar, tidur. Tidak ada
lembur malam ini. Laptop tetap tertutup rapat.
Esoknya saat sarapan gue melihat adik gue melintas. Gue menegurnya, “Oi, gak sarapan dulu lo?”
“Udah telat, Bang.” Dia ngacir keluar.
Bahkan gue yakin dia nggak mandi tadi. Rambut dan raut mukanya semrawut gitu.
Siangnya gue jalan-jalan ke mall bawa laptop. Ganti suasana. Gue
beraktivitas di salah satu cafe di mall yang memang didesain khusus
untuk orang-orang yang ingin bekerja dengan laptopnya. Seharian gue di
sana.
Gue pulang ketika matahari udah tergelincir ke Barat. Di rumah gue
melihat ada pembantu gue (yang ngurusin masakan), sudah menata meja. Gue
tanya
“Bi, kan baru jam segini kok udah dihidangkan?”
“Iya, Mas Rizki minta disiapin sekarang, katanya mau makan sedikit.”
Tepat setelah itu gue melihat Rizki datang dari kamarnya dan langsung
mengambil posisi di meja makan. Dandanannya rapi banget, gue melihat
rambutnya dan mukanya bersih. Bajunya sih cuma kaos biasa doang.
“Mau ngapain lo?”
“Mo fitnes, Bang.”
“Buset ye, lo fitnes lebih ganteng daripada lo kuliah.”
Dia cuma nyengir ke gue, mengambil beberapa lauk, menyantapnya, dan kemudian pergi keluar rumah..
Gue bengong. Ah..nggak jelas, malemnya gue nelpon Nina lagi. Sempat
ngobrol sama Mamanya. Mamanya seneng banget denger gue mau bertemu sama
mereka. Dikira gue mau langsung ngelamar kali ya? Waduh...padahal kan
gue cuma mau kasih keterangan doang...
Besoknya gue jalan sama Nina. Makan terus nonton. Yah biasalah orang
pacaran..Kita jalan sampai jam tiga sore gitu. Waktu gue nganter dia ke
rumahnya ada sms, dari adik gue.
“Bang, ada tawaran trial gratis di tempat aku fitnes nih, bisa dipake sminggu. Mo ikut ga?”
Gue bales, “Napa lo ajak gw?”
Gak lama kemudian ada pesen lagi, “ditawarinnya ke aku. Kan abang masih seminggu di sini kan?”
Si Nina nanyain “Ada apa, sih?”. Gue kasih tahu isi sms ke dia. Dia justru mendorong gue untuk ikut..
“Ya udah sana ikut. Kamu juga nggak pernah olahraga kan. Kerjaannya ngurusin bisniiiiiss mulu.”
Gue menyerah, oke..oke...Gua sms lagi adik gue, “Kapan mule?”
Jawabannya kemudian, “Nanti juga bisa.”
Sorenya gue ketemu adik gue di rumah, dia bilang siap-siapnya sekitar
jam enam. Gue iyain aja. Pas jam segitunya gue udah siap pakai kaos
oblong sama celana training. Seperti hari sebelumnya, adik gue dandan,
wanginya tercium sejak dia masih di kamar dan gue di ruang tamu.
Beberapa saat kemudian, kami berangkat naik mobil.
“Nggak macet ni Riz?” Gue inget Jakarta jam segini tu najis senajis-najisnya.
“Ga pa pa. Deket, kok.”
Beneran, kita kena macet, untung omongan adik gue juga nggak salah.
Tempatnya lumayan deket sama rumah. Kami parkir di suatu bangunan di
tengah-tengah pusat perbelanjaan. Kami masuk ke dalam naik tangga..
Gue rada nggak pede. “Riz, gue udah setua ini, nggak papa nih? Gue seumur-umur nggak pernah fitnes.”
“Ga papa. Ga keliatan ini. Tempatnya asyik, kok. Banyak artis lho yang fitnes di sini.
Gue teriak..”WHAT?!”
Dia kaget melihat reaksi gue. Biasanya gue selalu tenang tapi sekarang gue terkejut dan kelihatan sangat gelisah.
“Halah, Bang...nyantai aja lah...nggak usah keliatan banget gitu jarang lihat artisnya.”
Gue mendengus. Anak-anak tangga itu mendadak terasa begitu berat untuk gue langkahin...
Jarang ketemu artis kata lo?
Hmm...tau ape lu?
I’ve already raped four.
Kami telah sampai di lantai atas. Adik gue dengan santainya melintasi
pintu masuk yang seluruhnya terdiri dari kaca tembus pandang. Gue cemas.
Gue memperhatikan kondisi sekitar. Yah, loe pasti tahu apa yang gue
risaukan.
Gimana kalau salah satu dari mereka bertiga atau dia yang gue temui di Bali dulu ada di sini sekarang?
“Ayolah, Bang. Masuk..” Adik gue berseru dari dalam.
Gue hati-hati melangkah masuk. Gue memeriksa siapa yang ada di dalam
dengan teliti. Gue berjalan nggak jauh-jauh dari tepi ruangan, seperti
mencari tempat bersembunyi jika saja gue kurang beruntung malam ini.
Hmmm...Nggak ada.....
Nggak ada.....
Setidaknya sekarang di ruangan yang ini mereka nggak ada.
Gue sedikit tenang..
Adik gue menghampiri gue ditemenin seorang cowok yang badannya keker
abis. Gue dikenalin, ternyata dia instrukturnya. Gue dianter ke tempat
penitipan barang gitu (loker-loker). Gue ketemu sama penjaganya. Gue
memperhatikan cukup lama si penjaga penitipan ini. Orangnya kurus
(sangat nggak matching sama fitnes center), rambutnya belah tengah (so
oldies), dengan kemeja yang nggak disetrika. Si penjaga ini
senyum-senyum aneh ke gua. Gue bengong.
Gue kok merasa agak aneh ya ada penitipan barang di fitnes center.
Bukannya lebih mudah kalau disediakan loker aja terus kita masing-masing
yang pegang kuncinya? Well, entahlah...
Abis itu gue diperkenalkan sama alat-alat. Terus disuruh pemanasan.
Selanjutnya gue dituntun untuk latihan, dikasi tau urutan-urutannya. Gue
ngerasa cengok banget..Ga papa lah. Pengalaman baru.
Tapi ya, kalau loe pertama kali fitnes maka loe akan merasa tubuh loe
mau copot. Gile, itu otot gue rasanya ngilu semua. Gue kayak mau tepar.
Adik gue ketawa-ketawa.
Penderitaan gue akhirnya berakhir. Sudah saatnya pulang. Gue mandi,
balik ke penitipan barang. Ganti baju. Dan bergegas ke parkiran mobil.
Ternyata adik gue belum ada. Ke mana dia?
Gue menunggu beberapa menit. Lah itu dia baru nongol dari atas. Tapi dia ternyata nggak sendirian.
Dia jalan sama cewek.
Gue nggak kenal itu siapa. Tapi dia manis. Gue menebak dia seumuran sama
adik gue atau bahkan lebih muda. Mengenakan shirt dan jeans seperti
layaknya remaja perempuan pada umumnya di Jakarta gue bisa menilai tubuh
cewek ini cukup berisi....cukup montok...
Mereka berpisah sebelum bertemu gue. Gue sedikit kecewa. Gue penasaran
aja sama dia. Adik gue datang menghampiri. Dan kami meluncur pulang ke
rumah.
Di tengah perjalanan iseng aja gua nanya, “Siapa tuh tadi cewek?”
“Masa ga kenal, Bang? Nagita Slavina. Terkenal tuh, Bang.”
“O ya? Sinetron?” Gue menebak.
“Nyanyi juga sekarang.” Adik gue menjelaskan.
“Terus hubungan dia ama lo apaan?”
“Ah, Abang mo tau aja.” Dia senyum-senyum gak jelas.
“Jadi dia alasan kenapa loe jadi centil kalau fitnes padahal dekil kalau berangkat kuliah.”
Adik gue ga jawab, senyumnya makin lebar.
“Udah lo pacarin?”
Adik gue menggeleng.
“Kenapa?”
Dia jawab “Malu, Bang.”
Gue ngeplak dahi.
***
Besoknya gue meringis-meringis ngilu. Gara-gara nggak pernah olahraga,
sepertinya seluruh otot di badan gue pada memberontak. Sakit. Gue nitip
absen fitnes dulu sama adik gue. Si Nina datang ke rumah. Nemenin gue.
Semaleman gue tepar.
Hari berikutnya badan gue mendingan. Adik gue meyakinkan bahwa fitnes
lagi bisa memperkuat otot gue sehingga nggak lembek kalau dipakai kerja
keras. Gue kepengaruh dan ikut dia lagi malamnya. Beneran juga, badan
gue jadi lumayan enak waktu work out.
Malam itu lah gue baru nyadar omongan adik gue bahwa memang banyak artis
yang fitnes di sini. Gue mendapati beberapa yang gue kenal, dan
beberapa yang gue nggak kenal tapi gue yakin dia terkenal karena
tampanganya kamera face banget.
Satu orang paling menarik perhatian gue. Cewek yang digebet sama adik
gue sendiri. Kebetulan waktu gue lagi tread mill, dia ada di sebelah gue
memainkan alat yang sama. Gue sok-sok nggak perhatiin dia. Padahal
diem-diem gue ngelirik. Kaus abu-abunya ada bercak gelap basah terkena
keringat. Gue memberanikan diri untuk lebih lama menatap wajahnya.
Manis...peluh meluncur melintasi pipinya menuju dagunya. Ada tahi lalat
kecil di deket dagunya. Kemudian gue menatap lehernya pun basah. Satu
butir keringat menetes masuk ke bawah, masuk ke baju. Pandangan gue
tertuju pada apa yang menonjol di kaus itu. Payudaranya luar biasa...
Kedua tangan gue meremas pegangan treadmill lebih kencang. Ah seandainya
gue bisa meremas yang itu..Ahhh...
Dia menoleh ke arah gue. Gue salah tingkah dan pura-pura menunduk...Hening...
Gue capek, ngasih kode ke adik gue kalau gue pengen pulang. Adik gue
ngangguk. Gue mandi dan pergi ke penitipan. Di sana gue menemukan adik
gue sedang bersama cewek yang membuat gue sedikit bangkit nafsu waktu
treadmill tadi..
Adik gue ngelihat gue datang...langsung ngenalin gue ke dia...
“Gi..ini Abang gue, namanya Feri.”
Dia senyum menyalami gue, tangan lembut itu menyentuh telapak tangan gue..
"Gigi.." katanya lembut..
“Gigi?” Tanya gue sambil senyum lebar menunjukkan gigi-gigi gue.
Adik gue ketawa nggak ikhlas, “Abang gue garing, Gi.”
Hmmm, thanks...
Mereka turun duluan soalnya sudah mengambil titipan lebih dulu. Gue
masih membereskan tas gue. Si penjaga penitipan tiba-tiba berbisik ke
gue...
“Montok tenan yo Mas?”
Gue bingung, “Siapa?”
“Yo yang tadi itu..”
Gue pasang senyum sopan, menyingkir..
Selanjutnya gue kembali bersama adik gue menyusuri jalan Jakarta pulang ke rumah..
Gue membuka obrolan...”Yang njaga penitipan tadi orangnya serem banget yak?”
Adik gue jawab, “Wah dia udah kasus dari dulu, Bang. Orangnya gatel gitu
kan? Dia dulu pernah ketahuan ngintipin cewek-cewek yang fitnes di
situ. Si Gigi juga pernah hampir aja diintipin. Abang lihat aja dia kalo
ngeliat si Gigi gimana. Norak banget. Jelalatan. Mupeng-mupeng ga
jelas. Kayak mau nerkam gitu.”
“Parah juga tuh.” Gue berkomentar.
“Udah komplain sih kita ke bosnya. Gue denger dia cuma dipertahankan sampai bulan ini aja.”
“Hmmm....Ati-ati aja sih. Orang maniak seperti itu memang bisa ngapain
aja kalau ada kesempatan. Gue juga kenal satu orang” Gue bergumam.
“Siapa? Abang, ya?” Adik gue tertawa.
Gue juga ketawa.
Emang iya. Gue.
Pagi hari berikutnya, gue melakukan rutinitas seperti biasa. Sekarang
kalau matahari mulai terbenam, ada aktivitas yang gue tunggu. Fitnes!
Setidaknya itu dalam pikiran gue. Tapi sore ini ternyata gue mendapati
adik gue malah duduk selonjoran di ruang tengah nonton TV.
“Lhah, nggak fitnes?”
“Nggak ah, Bang kalo hari ini. Abang aja kalo mau sendiri.”
Gue heran, “Ada apa dengan hari ini?”
“Kalo hari ini si Gigi nggak fitnes, dia ada kuliah malam.”
“Hmmm.....” gue menggeram datar.
“Jadi, lo fitnes cuma gara-gara dia doang?”
“Ya nggak lah, Bang. Cuma kan yah kayak Abang nggak tau aja sih. Pokoknya nggak semangat.”
Gue merebahkan diri gue di sofa, duduk di sebelahnya.
Gue menghela nafas,..”hhh... cakep ya dia..”
Adik gue ngeliatin gue, “Iya, udah gitu pinter lagi..”
“Pinter?”
“Iya, Bang.”
Dan lo tau, setelah itu adik gue nyerocos panjaaaaaaang banget soal
gebetannya ini. Lengkap bo’. Dari sinetron yang ia mainin, sekarang
kuliah di mana (satu universitas sama adik gue), dan pertemuan tidak
sengaja mereka di fitnes center. Jadi menurut cerita adik gue,
keikutsertaan Gigi di fitnes awalnya cuma iseng. Eh, akhirnya keterusan.
Adik gue cerita gimana dia bisa melihat perubahan drastis dari Gigi
yang dulu sedikit gendut sekarang menjadi lebih langsing, berisi.
Gue ngebayangin yang nggak-nggak. Ya, tubuhnya yang sekarang memang
terbentuk indah. Tidak kurus, namun berisi. Montok. Implikasi yang
paling terlihat tentu adalah ...susunya, yang selalu mengencerkan
imajinasi kotor gue tatkala berpapasan dengannya di fitnes center.
Malamnya gue sibuk dengan laptop gue di ruang tengah. Sekalian nemenin
adik gue nonton MTV. Malam semakin larut. Adik gue ngantuk, pamit tidur.
Dia masuk kamar. Gue memandang arah kamarnya. Gue teringat sesuatu. Gue
buka browser internet, buka search engine, dan mengetikkan satu nama:
Nagita Slavina...
enter....
ada beberapa entry yang muncul...
***
Hari berikutnya giliran adik gue yang bersemangat ngajakin fitnes. Ini
gue artikan si Gigi juga fitnes malem ini. Gue ikut. Kami kembali
meluncur.
Di fitnes center segalanya berjalan wajar. Gue menjalani latihan seperti
sebelumnya. Sesekali gue melongok sekitar, mencari Gigi. Kok nggak ada
ya?
Oh itu dia, di seberang sana. Pas sekali sudut pemandangannya, pikir gue. Latihan gue menjadi semakin menyenangkan...
Gue mendapatkan banyak informasi tentang dia tadi malam di internet. Dia
akting, dia menyanyi, dia juga sesekali menjadi co-producer, hal yang
paling diinget darinya adalah imej kekanak-kanakan atau lemot, yang
kabarnya memang tidak berbeda jauh denghan watak aslinya. Gue bisa
merasakan itu sih, walau gue nggak pernah ngobrol langsung sama dia. Gue
memperhatikan itu saat dia ngobrol sama temen-temennya atau sama adik
gue. Kadang-kadang memang ia terlihat childish. Itu juga ditunjang
dengan tampangnya yang imut..
Gue mulai merasakan sesuatu yang aneh...
Sepertinya gue bernafsu...
Ah, tapi gue sudah cek di internet kemarin malam...dia bukanlah korban
yang layak buat gue. Gue tidak menemukan track record yang buruk. Dia
gadis baik-baik...Lagipula adik gue sayang sama
dia..Jadi...ahh...sudahlah, gue lupain aja..
Gue mengenyahkan pikiran-pikiran jahat gue ke dia..
Gue nggak boleh melakukan kesenangan gue itu terhadapnya.
Begitulah...
Selesai latihan, bersiap-siap pulang. Gue turun ke bawah, ke parkiran
mobil. Surprise buat gue: sudah ada adik gue menunggu di sana! Wei,
tumben! Biasanya kan gue yang harus nungguin dia. Dia masuk ke mobil,
gue menyusul.
Di dalem mobil baru gue menyadari ada yang nggak beres sama adik gue. Wajahnya ditekuk, masam. Sama sekali nggak bersahabat.
“Kenapa lo?” gue tanya. Dia diem.
Kebingungan gue nggak bertahan lama, karena tepat di depan mobil kami lewat si Gigi..
.......dengan cowok lain...
Gue perhatiin tampang cowoknya. Dia tinggi.. Cukup good-looking. Dan
sepertinya anak orang berada. Well, gue beasumsi sepert itu saat si
cowok memencet alarm mobil, dan sebuah Benz menyalak di seberang mobil
kami. Si cowok membukakan pintu untuk Gigi, dan cewek itu melenggang
duduk manis di kursi depan samping sopir, tepat menghadap kami. Si cowok
masuk dalam bangku sopir. Menatap kami....
Menatap Rizki, adik gue...
Lampu sedan itu menyala, suara mesin menderu, ban bergulir bergesekan dengan aspal. Mobil itu meninggalkan pelataran parkiran.
Gue nelen ludah, menoleh ke arah Rizki.
“Riz, gue aja yang nyetir ya?”
***
Keesokan harinya.......
Pagi-pagi gue jogging keliling kompleks rumah. Udah begaya aja gua,
mentang-mentang ikut fitnes gue jadi gila olahraga. Pagi itu juga si
Nina nelpon dan dia nggak percaya aja kalau gue beneran jogging.
Sampai-sampai gue sodorin HP gue ke penjual bubur di pinggir jalan.
“Iye, Non. Ini Abangnye lagi lari pagi.”
Terdengar suara ngakak Nina di seberang telpon.
Adik gue nggak keluar kamar sejak tadi malem. Sebabnya sudah jelas bo’.
Deeply broken heart. Hmmm...gue nggak tahu harus ngomong apa. Soalnya lo
udah tahu kan apa prinsip gue soal “cinta”. Heh? Sangat nonsense.
Gombal. Pengennya sih kemaren malem gue langsung ngomong aja sama Rizki,
‘Oke Riz, dia udah ngancurin hati lo..pedih..perih..Jadi yang harus lo
lakukan sekarang adalah satronin rumahnya, congkel jendela, masuk ke
kamarnya, dan perkosa dia di rumahnya sendiri....Perlu bantuan gua
nggak?’
Tapi....gue belum terlalu gendheng untuk ngomong frontal kayak gitu...
Jam sepuluh pagi, di rumah..Si Bibi’, pembantu gue ngeluh ke gue...”Mas,
Mas Rizki belum sarapan. Bibi’ ketok-ketok, panggil-panggil, tapi dia
nggak mau keluar kamar.”
“Oh..” jawab gue. Gua bergegas ke kamarnya. Ketok-ketok pintu..Bingung
juga gue. Gimana cara menghadapi cowok di saat-saat cengengnya?
Tok..tok..tok..”Riz.Oi..makan dulu lo.”
“Ntar aja, Bang.”
Gue bujuk dia lagi, sampai akhirnya gue capek. Gue diem mematung di
depan kamarnya. Tiba-tiba aja ada kalimat spontan terlempar dari mulut
gua, “Lo belum hidup kalau belum ngerasain sadisnya kenyataan, Riz.”
Gue mendengar suara kursi berderit di dalam kamar. Gue melanjutkan, “Itu
juga yang membuat gue sampai sekarang survive, tetap hidup.”
Telepon genggam gue tiba-tiba berdering. Gue melihat nomernya bukan nomer Indonesia. Gue mengangkatnya, “Halo...”
Telepon dari staf gue di Dubai. Ada masalah yang nggak terduga. Lumayan
gawat. Orang-orang gue kebingungan di sana. Pertama masalahnya dengan
otoritas setempat yang seenaknya naikin pajak. Kedua ada problem sama
beberapa developer yang protes proyek yang sedang kita kerjakan
menghalangi akses transportasi mereka..Gue langsung pening.
Kesimpulannya cuma satu: Gue harus segera balik ke sana...
Gue udah lupa sama perkaranya adik gue...Gue langsung nelepon Nina.
Ngasih tahu kalau bisa secepatnya gue harus balik ke Dubai. Nina bilang
kebetulan Papanya Nina sudah akan balik hari ini. Jadi kita akhirnya
menjadwalkan ketemuan langsung malam ini di salah satu restoran yang
buka sampai pagi. Papanya baru pulang menjelang tengah malam, dan dia
tidak keberatan kami ketemu malam-malam memaklumi kondisi gue yang
sibuk. Gue menyetujui. Setelah itu gue menelepon orang gue untuk
mengurus keberangkatan gue lagi ke Dubai, besok..
Gue merebahkan diri gue ke sofa di ruang tengah. Yah, apa boleh buat, ini konsekuensi dari ambisi.
Perhatian gue terpecah ketika pintu kamar adik gue terbuka. Dia keluar
berjalan menuju dapur. Dia menghindari bertatap mata dengan gue..
HP gue berdering lagi, kabar dari orang gue, katanya tiketnya sudah
didapatkan. Gue berjalan ke kamar, membereskan barang bawaan gue. Gue
menelepon bokap-nyokap yang hampir nggak pernah gue temuin selama di
sini, dan mengabarkan kondisi gue. Mereka terdengar kecewa.
Selesai gue selonjoran lagi di ruang tengah. Sudah sore banget, sebentar
lagi gelap. Ketemu sama Nina dan keluarganya masih lama. Gue melihat ke
arah kamarnya Rizki. Biasanya gue jam-jam segini siap-siap fitnes sama
dia. Tapi tidak ada tanda-tanda kehidupan di kamarnya. Ia mengurung diri
lagi sejak keluar sebentar tadi siang.
Gue berpikir....Hei..sebelum ketemu Nina dan papa-mamanya, dan sebelum
gue kembali berjibaku dengan jerat problem yang menanti gue di Dubai,
kenapa gua nggak fitnes aja? Terus terang gue mulai menikmati aktivitas
ini. Gue beranjak dari sofa..ganti baju...oke...saatnya membangun gaya
hidup sehat..hehe..
Tak lama kemudian gue sudah di belakang kemudi. Sialnya gue nggak apal
jalan, jadi gue nyasar. Gue sampai itu tau-tau di seberang jalan fitnes
centernya, dan nggak ada puteran. Gue bingung gimana caranya muter,
akhirnya gue parkir aja di hotel di seberangnya. Terus gue jalan kaki
nyeberang...
Gue bawa tas ransel agak gedhe sekarang. Soalnya gue juga bawa kemeja
dan celana rapi, kan nanti mau ketemu sama papa-mamanya Nina.
Sampai di tempat fitnes gue menjalankan latihan seperti biasa. Waktu di
treadmill, kembali cewek manis itu berada di samping gue. Dia masih
mengenali gue..
“Hai, Rizki mana?”
Gue jawab ngasal, “Sakit.”
“Oh..”
Gara-gara lo..
Dia meninggalkan gue. Gue pun melanjutkan ke alat yang lain. Di sela
latihan, gue kebelet, mampir ke toilet. Cukup bersih juga toiletnya.
Cuma yang gebleg, waktu gue mau keluar, ternyata susah buka
pintunya...Instruktur gue yang keker, yang gue ceritain dulu, membantu
ngebukain pintu dari luar. Dia bilang, “Pintunya agak susah kalau dibuka
dari dalam.”
Serem amat, pikir gue...
Malam itu gue bertahan di sana lebih lama. Pengen lebih lama aja malem
terakhir. Ketika orang-orang mulai pulang, gue pun akhirnya beres-beres.
Gue ganti baju rapi. Masih agak lama sih ketemuan sama Nina dan
ortunya. Tapi sekalian aja. Malem ini jalanan macetnya lebih menggila,
takutnya kalau pulang dulu nggak keburu. Mungkin gue samperin aja
rumahnya Nina.
Gue berjalan keluar fitnes center, kembali menyeberang jalan menuju
hotel tempat gue parkir mobil tadi. Sesampainya di mobil gue nyadar
sesuatu yang buruk. Yah, kunci mobilnya ilang! Gue kebingungan.
Rogoh-rogoh kantong, bongkar tas ransel. Gue inget tadi berangkatnya
pakai celana training, tapi di saku celana training itu juga nggak ada.
Gue coba inget-inget di fitnes center tadi. Kapan gue ngelepas celana
ya?
Oh, ya...gue tadi sempat ke toilet. Gue berjalan cepat kembali
menyeberangi jalan. Kembali ke fitnes center. Aduh, mampus aja gua kalau
fitnes centernya sudah tutup.
Eh, ternyata belum...tapi ada yang aneh..Kosong..nggak ada orang. Tapi
juga nggak tutup. Perasaan gue nggak enak. Gue masuk ke toiletnya. Harus
cepet ketemu kuncinya biar gue bisa cepet pergi dari sini.
Gue periksa di toilet. Harapan gue mulai menipis ketika bermenit-menit
gue nggak juga menemukannya. Kemudian...ah...itu dia...nyempil di
pojokan...
Untunglah....
Gue meraihnya, dan berlari ke arah pintu toilet.
Gue putar kenopnya....
Clk...clk...clk...
Nggak bisa kebuka....
Gue kekunci...
Gue panik, menarik paksa pintu itu, tapi sia-sia.. Gue gedor-gedor pintunya. Masih ada orangkah di luar sana..?
Tiba-tiba gue mendengar sesuatu yang sangat mengejutkan gue. Bulu kuduk gue berdiri...
Teriakan wanita...
Minta tolong...
Malem-malem gini?
Gue mencoba mencermati suara itu...semakin dekat....Suara itu mendekati
ruangan fitnes di sebelah toilet ini..Gue memeriksa sekeliling, di
toilet ini ada jendela-jendela ventilasi yang diletakkan di atas
berhubungan langsung dengan ruangan di luarnya. Jendela itu dilapisi
oleh kain kassa. Sementara satu meter dari gue ada teronggok kursi dari
plastik. Gue ambil kursi itu dan gue taro bersandar pada tembok di bawah
jendela ventilasi. Gue lalu naik di atasnya. Sekarang gue bisa melihat
apa yang sedang terjadi di ruang sebelah.
Dua sosok manusia masuk ke dalam ruangan fitnes itu.
Gue terperangah...Itu si penjaga penitipan barang. Pria kurus yang gue
notice sebagai orang aneh sedari awal pertemuan gue dengannya. Dan dia
tidak sendiri. Ia sedang menyeret seorang cewek dengan paksa. Gue lebih
kaget lagi saat mengenali wajah manis itu sebagai si Gigi, Nagita
Slavina..
“Tooloooong....tolooooooong... ”
“Diem kamu! Mau ta’bunuh sekarang?! Diem!” Pria kurus itu menghunuskan pisau dapur yang tadi diselipkan di sabuknya...
No fucking way!
Pria kurus itu mengeluarkan tali tambang. Merebut kendali atas tangan
Gigi, menyimpul pergelangan tangannya dan mengaitkan simpul itu ke pipa
besi tempat biasanya orang melatih otot siku dan lengan. Dengan cekatan
pria itu mengulanginya pada tangan yang satu lagi. Gue takjub dengan
kecekatan tangannya. Gimana bisa secepat itu? Gue perhatikan dengan
seksama dan mengetahui bahwa simpul itu sudah dibikin dulu sebelumnya.
Ia pasti sudah merencanakan aksi ini masak-masak.
“Tolooooonggg...” Gigi berteriak. Gue memandang ke arah pintu keluar.
Tidak adakah yang mendengar suaranya? Apa di bawah sana tidak ada orang
sama sekali? Gue inget waktu ngambil barang di penitipan tadi, si pria
kurus ini tidak ada di sana. Apa waktu itu ia sedang sibuk merencanakan
ini? That bastard..
“Diem!” Pria itu membentak, mengeluarkan lagi seutas tali cukup panjang,
membaginya dua, itu dipakai untuk menjerat kaki artis remaja itu ke
tiang-tiang penyangga pipa-besi tadi. Ah, sudah...habislah sudah...Dia
sudah berhasil mengakhiri perlawanan mangsanya...
Setelah itu si pria kurus penjaga penitipan tertawa, “Hehehe, diem kamu.
Malem ini kamu cuantik banget.” Tangannya yang ceking dengan kurang
ajar membelai pipi Gigi. Gigi memandangnya penuh rasa jijik.
“Kamu mau ya kimpoi sama Mas?”
Gigi menggeleng keras.
“Kalau nggak mau yo nggak papa. Mas cuma pengen pinjem tubuhmu buat Mas nikmatin malem ini..”
“Jangaann!!!....Tolooooooong!! ”
Jari-jari pria itu mulai menggerayangi tubuh Gigi.
“Tolooooong!!”
Gue mendengar Gigi memanggil nama seorang cowok di sela jeritan minta tolongnya. Pria kurus itu pun mendengarnya.
“Hehe, percuma kamu panggil-panggil. Pacarmu udah ta’ringkus tadi.”
Gue memandang ke arah turunan tangga. Membayangkan nasib cowok yang dimaskud. Shit! Pria ini nekad banget ya?
Gue kembali melihat ke arah mereka berdua. Si pria mendekap Gigi dan
meremas-remas tubuhnya gemas. “Duh, udah lama banget aku pengen tahu
gimana rasanya ngenthu kamu. Pasti uenak. Montok gini..” Tangannya sudah
mendarat di buah dada Gigi. Meremasnya dengan penuh nafsu. Gigi
menjerit. Gue tanpa sadar mengepalkan tangan..Itu dada yang juga ingin
gue rasakan kenyalnya dengan tangan ini..Telapak tangan gue
berkeringat..
Adegan berikutnya yang dilakukan pria itu cukup bikin gue shock. Pisau
yang digenggamnya melayang ke sana kemari mencabik-cabik pakaian yang
melekat di tubuh Gigi. Gerakannya membabi-buta, gue ngilu membayangkan
bisa saja benda tajam itu meleset dan melukai Gigi..
Gue mungkin harus meralat asumsi gue tadi. Gue sekarang nggak
beranggapan pria itu berpikir dengan matang. Bahkan bisa jadi dia idiot.
Dia hampir tidak bermodal apa-apa. Dia sudah menyerang saksi di bawah
sana. Dia tidak menutupi identitasnya. Dia juga sudah merobek-robek baju
korban. Di tempat umum! Dia sama sekali nggak melakukan apapun untuk
menutupi perbuatannya. Maksud gue, siapapun yang datang ke sini setelah
kejadian, pasti 100% langsung sadar telah terjadi tindak perkosaan.
Oh, this guy is sick!
Ketika Gigi sudah setengah bugil, hanya berbalut beha dan CD, pria itu
tidak berhenti. Ia menarik paksa beha itu hingga tampaklah sesuatu yang
membuat air liur gue mengumpul banyak di mulut. Akhirnya gue bisa
melihat langsung dadanya yang montok kencang, yang membuat gue penasaran
sejak pertama kali berjumpa dengannya...
“Wiiihh...ini baru maknyus.” Pria itu tertawa meremas-remas payudara
Gigi. Cewek itu meronta, susunya bergoyang-goyang..Tanpa sadar tangan
kanan gue memegangi selangkangan gue sendiri. Gue yang mengintipnya pun
ikut terangsang. Gue melihat jari-jari kurus milik si penjaga penitipan
tidak bosan-bosannya merempon gunung kembar yang luar biasa itu...Terus
menyedotnya, penuh nafsu...
“Akhirnya aku bisa megang beneran susumu. Dari pertama kamu dateng ke
sini, aku udah ngiler liat punyamu ini..Kamu makannya apa tho?” Pria itu
belum bosan terus menyantap payudara Gigi.
“Tolooong...tolooonggg..” Gigi terisak.
Sekarang gue melihat tangan pria itu semakin berani menjelajahi bagian tubuh Gigi yang lain...
“Bodimu muantep tenan..wiih...” Pria itu menjilat bibirnya sendiri.
Tubuh yang sedang digerayanginya memang menggiurkan. Seksi berisi,
dibalut kulit putih mulus yang dengan mudah membangkitkan birahi lelaki.
Puas menjamah tubuh bagian atas, tangan lelaki itu mulai menyusuri ke
bawah. Ke pahanya...kemudian tangannya disusupkan ke CD yang masih
melekat di selangkangan Gigi..
“Ah, jembutmu gembel juga...Sini biar ta’liat sendiri.” Pria itu dengan brutal merobak celana dalam Gigi.
“Hmm...gembel..” pria itu berkomentar.
Ia lalu memreteli bajunya sendiri. Badannya kering kerontang. Lalu ia
melepas celana dan sempaknya. Gue melihat pemandangan jijik, penis pria
itu kecil tapi tegak ke atas..
Pria itu kemudian menciumi hutan kemaluan Gigi. Mulut dan hidungnya
beradu dengan rambut-rambut di selangkangan cewek itu.. Lalu tangan pria
itu ikut menyusuri, mencari liang kewanitaannya. Ketemu.
“Sempit pol!! Belum pernah dikenthu ya kamu..” Pria itu tertawa mengejek.
“To...tolong...
Selanjutnya pria itu berlutut melahap kemaluan Gigi dengan mulutnya,
mungkin lidahnya ikut bekerja, gue nggak bisa lihat pasti. Yang jelas
pria itu sedang mengalirkan arus-arus rangsangan luar biasa hebat yang
terbaca jelas pada reaksi Gigi.
“Toloong....auh....ehh...”
Gue bisa mendengar suara mulut menyedot, dan diiringi oleh bunyi lidah
yang sedang membentur lorong-lorong di vagina cewek malang itu. Pria itu
sangat rakus...
Cukup lama pria itu mengerjai memek Gigi dengan oralnya. Ia berhenti
ketika melihat lendir membajiri liang vagina Gigi...Ia mengambil cairan
itu dan berdiri, mengoleskannya pada alat vitalnya sendiri...
Gigi menangis sejadi-jadinya. Wajahnya mewek. Melihat ini pria itu kurang senang,
"Jangan nangis! Jelek!"
Gigi tetep mengucurkan air mata sampai kelopak matanya mulai membengkak.
Pria itu kesal, mengguncang-ngguncangkan kepala Gigi. Kemudian dia
seperti mencari-cari sesuatu dari sisa-sisa pakaian Gigi yang
terkoyak-koyak di lantai. Dia mengambil satu potong yang lumayan
panjang. Kemudian mengikat kain itu di kepala Gigi, menutup matanya...
"Aku nggak suka liat cewek nangis. Mending matamu ta'tutup aja. Yang
penting lubang yang ini masih kebuka, hehe." Pria itu tertawa memasukkan
jarinya ke vagina Gigi...
"Aaaaa..."
“Aku dah lama nunggu-nunggu hari ini. Sejak kamu dateng ke sini. Kamu
wis bikin aku ngaceng. Salahmu dhewe punya bodi bikin lanang ngaceng.
Aku baru dipecat bos. Sekarang aku wis gak peduli opo-opo.”
Pria itu membuka paha Gigi, menahannya terus terbuka, lalu memegang penisnya sendiri, menuju liang senggama Gigi..
Kepala kontolnya bergesekan dengan jembut Gigi sebelum akhirnya bertemu dengan bibir vaginanya.
Jantung gue berdetak kencang...Inilah saatnya...
Hape gue mendadak bergetar mengejutkan gue. Tadi gue silent karena
memang gitu aturannya di fitnes center ini. Celakanya HP gue itu
posisinya di saku sedang menempel tembok, sehingga getarannya yang
membentur dinding menimbulkan bunyi. Anjing!.
Gue melompat dari kursi. Gue yakin si penjaga penitipan itu
mendengarnya, dan sedang menuju ke sini, memeriksa. Gue inget dia
bersenjata. Mampuslah gua. Pintu itu bisa dibuka dengan mudah dari luar.
Gue panik, ada psikopat yang beberapa saat lagi akan menemukan dan
membunuh gue. Gue memandang sekeliling dalam kepanikan luar biasa. Saat
itulah gue menemukan barbel berukuran tidak terlalu besar tergeletak di
lantai toilet. Seseorang meninggalkannya di sini. Gue ambil. Mungkin gue
masih ada kesempatan untuk selamat. Gue bersembunyi di sudut pintu.
Gue bisa merasakan penjaga penitipan itu sekarang tepat berada di depan
pintu. Kenop berputar pintu terdorong masuk. Langkah kaki pria itu masuk
ke dalam toilet. Ia memeriksa tempat yang menimbulkan suara tadi,
tempat di mana ia menemukan kursi nangkring di bawah ventilasi. Gue
mendapat kesempatan. Gue mengendap mendekatinya dan langsung memukulkan
barbel tadi ke tengkuknya.
Buuuggg!!
Hanya dengan satu hantaman ia terkapar.
Gue harus berterima kasih pada Chelsea Olivia yang mengajari gua trik
ini. Bedanya tentu pukulan gue lebih bertenaga, dan pria yang gue gebuk
ini sebaliknya, ceking. Gue yakin dia membutuhkan waktu nggak sebentar
untuk mendapatkan kembali kesadarannya.
Gue keluar toilet.
Gue menghampiri Gigi, memeriksa simpul yang mengikat pergelangan
tangannya dengan pipa besi. Simpulnya sulit diurai. Gue beralih ke yang
mengikat kakinya. Di situ ikatannya tidak begitu kuat, gue bisa
melepasnya. Kelar melepas tali di kaki kiri, gue melakukan hal yang sama
dengan ikatan di kaki kanannya. Kakinya langsung menyerang gua. Dia
mengira gue adalah orang yang sama dengan yang hendak memperkosanya
tadi. Matanya masih tertutup kain bajunya tadi.
Gue mundur menghindar. Gue mengambil HP gue, berniat untuk menelepon
polisi. Gue melihat ada missed call dari Nina. Pasti itu yang membuat HP
gue bergetar tadi. Saat sedang memencet tombol untuk memanggil nomor
darurat, gue melihat tubuh Gigi yang tak tertutupi satu benang pun. Gue
merasa harus menutupinya dulu. HP gue taro dulu. Gue mencari apa yang
bisa dipakai untuk menutup, karena nggak menemukan apapun, gue
memutuskan untuk membuka kemeja gue. Lagipula gue memakai kaus tambahan
di dalamnya, jadi nggak masalah. Gue buka kancing baju gue, terus gue
lepas, dan hendak gue taruh menutupi tubuhnya..
Saat hendak menyelimuti itu tangan gue tanpa sengaja menyentuh kulitnya
yang mulus. Dia mendesah...”aaahhh....” Darah gue berdesir. Gerakan gue
berhenti...Gue menarik kembali kemeja gue, menatap Gigi...Telanjang.
Tangannya masih terikat...
Gue melongok ke arah toilet, gue hanya melihat sebagian dari kaki si
pria penjaga penitipan. Dia masih pingsan terkena pukulan tadi. Gue
kembali melihat Gigi.
Gue menelan ludah. Gue merasakan sesuatu menjalar dalam diri gue.
‘Burung’ gue di bawah mengeras.. Testoteron bekerja hebat. Dada gue
berdegup beberapa kali lipat lebih kencang dari normal...
Kemeja gue jatuh dari genggaman. Bukannya lantas mengambilnya kembali,
kedua tangan gue justru membuka kaos yang masih gue kenakan...
Dan mulai melucuti celana gue sendiri...
Pada malam saat gue dan Rizki memergoki Gigi dijemput seorang cowok. Gue
inget gimana dalam perjalanan pulang itu kami nggak saling
bercakap-cakap...
Dia menolak ketus waktu gue nawarin gantiin dia nyetir. Gue diem aja.
Waktu dia hampir menerobos lampu merah dan kemudian mengerem mendadak
membanting badan gue ke depan, gue juga diem aja. Gue perhatiin
tampangnya...Kacau...
Gue diem, berharap semoga kami bisa sampai di rumah utuh.
Apa kejadian di parkiran sebelumnya sebegitunya meluluhlantakkannya?
Waktu itu gue heran aja, mikir..hei, Coy! Udah berapa kali lo naksir
cewek dan bertepuk sebelah tangan?...
Atau jangan-jangan memang baru sekali ini lo jatuh cinta?
Apakah cewek yang satu ini begitu spesial di hati elu?
***
Fitnes center, saat di mana tempat itu seharusnya sudah tutup....
Gadis itu bergidik ngeri ketika sepasang tangan merengkuh lengannya.
Matanya masih tertutup. Sadarkah dia kalau tangan yang menggerayanginya
kini lebih kekar dari yang tadi. Tahukah dia kalau ancaman baginya bukan
lagi pria kerontang penjaga penitipan? Tapi gue...Feri alias Dodot,
yang sudah pernah empat kali melakukan ini.
Nagita Slavina terpampang di dalam jangkauan gue, tanpa busana...
Maka mendaratlah gue di tempat yang gue idam-idamkan. Dadanya jauh lebih
mengesankan daripada yang gua bayangkan. Menonjol begitu kencang.
Meremponnya mencuatkan berjuta-juta kenikmatan. Gue melumat
susunya...Sscpp..saahh...”
Menggemaskan..
Dukkk!!
“Hhkkk...” Saking terpananya gue dengan keindahan payudaranya. Gue lupa
kalau kaki Gigi masih leluasa. Ketika dia memberontak, lututnya menubruk
perut gue. Gue langsung mules...
Gue terduduk mundur menjauh, kesakitan...
Gigi berteriak lagi, “Tolooooooongg!!!”
Gue meringis kesakitan. Untuk beberapa saat gue menenangkan sakit gue dulu..
Ketika sakit di perut gue mereda gue kembali mendekatinya. Gue berpikir
sejenak sebelum akhirnya gue berputar dan berdiri di belakang Gigi.
Dengan begini gue bisa bebas menyetubuhinya karena kakinya nggak bisa
menjangkau gue. Gue merangkulnya dari belakang. Kontol gue bersinggungan
dengan belahan pantatnya...
Dalam posisi seperti itu gue mencumbunya garang. Tangan gue mulai
bekerja menjamah setiap lekuk tubuhnya. Gue menciumi tengkuknya,
kemudian ke pipi. Gigi menggelinjang. Susunya bergoyang-goyang. Gue
menangkap ini isyarat Gigi bangkit gairahnya dengan rangsangan yang gue
berikan..
Hmmm...
Gue nggak bisa melihat kemaluannya, jadi gue coba gerayangin dengan
tangan gue. Bener apa yang gue lihat waktu mengintip tadi. Pria penjaga
penitipan sudah sempurna merangsangnya saat mencumbu Gigi. Lendir
membasahi jari gue yang menyentuh bibir vaginanya. Gadis molek ini sudah
siap untuk dicoblos..
Gue nggak mau buang waktu lagi..
Penis gue tegak ke atas. Posisi gue yang dibelakang tubuhnya kurang
menguntungkan untuk bersenggama. Gue harus mengeluarkan tenaga ekstra.
Gue merengkuh bagian bawah pahanya. Gerakan refleknya memberontak
membuka paha justru membantu gue untuk mengangkat pinggulnya.
Badannya terangkat sedikit, pas bagi gue untuk bisa mencoblosnya dengan enak.
Perlu dicatat bahwa badannya yang montok berisi itu membuat ini benar-benar menjadi fitnes!!
Gue arahkan penis tegak gue mencari lubang vaginanya. Ketika ketemu dan
coba gue lesakkan ternyata terus-terusan meleset. Kontol gue terpental
keluar. Lubangnya terlalu sempit. Susah memerawani perempuan dengan
posisi seperti ini.
Gue nggak hilang akal. Kedua tangan gue berpindah dari tadinya menyangga
paha Gigi bagian bawah sekarang mengangkat dengan merengkuh paha bagian
atas. Dengan posisi tangan seperti ini jari-jari gue dekat dengan
memeknya. Telunjuk gue bekerja melebarkan bibir vagina itu membuka jalan
bagi kontol gue yang sudah rindu pada memek artis.
Kontol gue sudah menempel.....
“Uuhh...” enak...
Gue masukkan pelan-pelan penis gue...
“uuuhh..”
Batangnya tidak bisa masuk sempurna..
Gue keluarkan....
Gue masukkan lagi..
Kali ini bisa lebih dalam..
Sekarang gue hentak...”UUKGGHH!” Kontol gue memblesak masuk dengan paksa. Tentu menggedor selaput daranya..”
Gigi menjerit sejadi-jadinya..
"AAAaaaaggggkkk!!"
Hormon seolah-olah memancar deras ke tubuh gue ketika mendengar teriakan
itu. Gue...selalu terangsang lebih hebat ketika mendengar jeritan
perempuan yang gue perkosa....
"aakkkh....aaahh...ooooohhhh.. ."
"Huuuh...uuuhhh.....uuuuhhh... ..uhhhh....”
Kali ini gue sudah benar-benar ngentot dia. Pinggul gue yang
bermain..Maju-mundur..maju..mundur...Cepat ketika gue merasa perlu
mengejar momen-momen kenikmatan. Dan gue perlambat ketika gue kecapaian,
karena gue juga harus mengangkat sedikit tubuh cewek ini..
Gue melepas kontol gue sebentar. Berlumur darah. Keperawanannya udah gue
renggut.. Gue mengambil asal sisa koyakan baju Gigi yang berserakan di
lantai mengelap darah di kontol gue. Lalu gue lap juga darah perawan
yang membasahi vaginanya.
Setelah itu gue kembali melampiaskan nafsu gue. Memanjakan kontol gue yang tak kunjung melemas itu...
Gue menghajar tubuhnya..Tanpa ampun... Gigi menjerit, meronta,
berteriak. Gue senang. Gue bahagia.. Sensasi kenikmatan pelan-pelan
melumat gue..
"Uuuuuggghhhh.......uuuuuggghh ...... uuuugggghhhh......"
Jeritan Gigi pun juga lumat di dalamnya...
Gue pernah mendengar kabarnya perawan bisa mati kesakitan jika dientot
pertama kali dengan posisi tegak seperti ini..Tapi gue sudah nggak
peduli. Gue sudah tenggelam dalam samudera kenikmatan yang diguyurkan
dalam setiap hantaman kontol gue ke wilayah pribadinya itu..
Beberapa menit kemudian, gerakan gue melambat. Gue mulai letih. Saat itu
gue mengisinya dengan memuaskan dahaga gue menghabisi bagian tubuh
lainnya.. Tangan serta mulut gue dengan senang hati melakukannya.
Pelepas kehausan utama itu tentu saja teteknya yang aduhai.. Gue remas
berkali-kali, sebagai kompensasi nggak bisa melihat keindahannya dengan
jelas dari belakang sini..
Gigi menggerang, "Aaaaaaakkkkkhhhhhhh......oooo hhh......"
Tidak seperti sebelumnya, dengan aktivitas tambahan gue itu, dia mulai
ikut menikmati seks paksaan ini. Tidak ada rontaan minta tolong
lagi..yang terdengar hanya desahan yang diiring deru nafasnya yang
memburu..
"Oooooohhhh......aaahhh....aaa hhhh...aahh...”
"Hhmmmmm....mmmmmhhh....mmmmmh hhh..."
"Oooooohhhh....ooouuugggg..... .uuuugggg"
Gue meneruskan pelampiasan nafsu gue tanpa sungkan-sungkan.. Gue sempat
merasakan badan Gigi bergidik setelah gue ngentotin dia cukup lama.
Klimaks baginya mungkin, tapi gue nggak peduli karena yang lebih gue
pentingin adalah hasrat gue sendiri yang menggila...
Kontol gue seperti diremas setiap kali melintasi lorong sempit itu.
"Aaaahhhh......aaahhhhhh.....a aaggghhhh... aaahhhhh..."
Akhirnya gue menuju puncak kenikmatan. Gue cabut kontol gue dari
memeknya, berjalan ke depan artis muda itu. Gue memandang lekuk
tubuhnya... Hmmm...bahkan mungkin lelaki impoten pun bisa sembuh kalau
melihat bodi seperti ini...Gue menggosok-gosok penis gue dengan tangan
gue sendiri, dan ngecrot di bagian tubuhnya yang paling membangkitkan
libido....
Susunya..
Gue tumpahkan mani putih kental itu di payudaranya...
Crrooott...crooottt...crooott! !
Gue terengah-engah...HHh...hhh..hhh..hhh
Tetek itu sudah ternoda dengan tanda otentik dari gue... Dia nggak akan pernah melupakan itu...
Gue berjalan ke sudut ruangan, berdiri di samping jendela. Gue memandang ke luar jendela.
Di luar sepi.
Hmmm....
Di dekat gue ada dispenser. Gue mengambil gelas, mengisinya dengan air, lalu meminumnya...Aahh.. Gue taro lagi gelasnya.
Setelah itu gue berjalan kembali mendekati Gigi...
Tubuhnya lemas.
Gue sudah sangat dekat tepat berdiri di depannya tapi sudah tidak ada perlawanan sama sekali dari kakinya...
Gue pandangi wajahnya, matanya tertutup kain. Lalu susunya...
Buah dada itu menggantung masih dengan setelan yang elastis kencang
walaupun sudah diganyang habis-habisan tadi.. Cairan putih kental
meleleh di atasnya...
Birahi gue muncul lagi melihat air mani gue yang gue crot-in tadi
bergerak perlahan mengikuti liuk bentuk payudaranya yang sensual.
Gue mendekap tubuhnya, kali ini dari depan. Gue belum puas. Gue akan
tambah satu ronde lagi.. Kali ini gue dari depan, karena gue ingin
melihat susunya yang berguncang-guncang saat kontol gue menohoknya
berulang kali. Gue juga ingin melihat ekspresinya yang meringis menahan
kesakitan yang luar biasa. Gue ingin melihat pantulan perasaan mimpi
buruk yang menimpanya..
Posisi gue sudah siap pada tempatnya. Gue tangkap pantatnya, mengangkat
tubuhnya. Dan menghunjamkan kontol gue lagi ke rongga pintu rahim itu..
Kontol gue kembali menelusup, menggarong liang kemaluannya. Menjarah
semua yang tersisa setelah keperawanannya terampok dalam persenggamaan
paksa gue sebelumnya.
"Aaaacckkkk....aaakkkkhhhh.... .aaahhh
"Ahhh...ahhhhh....aauuuggghhh. ..."
"Uuuggghhh...uuugghhh....eemmm gggg...uuhhh..."
"Aaaahhhh....aaaaaaiiiihhh...a aahhh...aaaggkkk ..."
Setelah beberapa lama gue capek, gue turunin pinggulnya. Sekarang
giliran gue yang agak menurunkan lutut gue supaya posisinya pas. Kontol
gue pun melanjutkan “rekreasinya”..
“Aah..aah..sst.. aaaghh...”
"Ah...aahh...aahh!"
"Uuuuggghhhh......uuuuuhhhh... .uuuhhhh....aaau uuhh hhh..”
Lagi...
lagi.....
Batang penis itu menusuk tanpa ampun...
"Uuuh...uuuh....uuaah..."
Gue menginkan ini tidak berakhir selamanya...
Tapi...
"Ah...aahh...aahh!"
Gue nggak tahan lagi...
Kenikmatan yang selalu gue idam-idamkan itu sudah menjemput gue. Gue sudah merasakannya membungkus seluruh badan gue..
Gue...
Akan ngecrot....
Gue meremas susunya lagi..melipatgandakan lompatan klimaks gue...
Gue bergumam dalam hati, Oh, Gigi...Dengan susu lo kayak gini, gue yakin kualitas ASI buat anak kita akan terjamin..
"Aaaaakkkkhhhh...."
Mata gue merem-melek, mengerjap-ngerjap cepat. Kontol gue benamkan
dalam-dalam ke organ reproduksi Gigi. Cairan memuncrat keluar. Gue
keluarkan semua peju di dalem liang kewanitaannya. Gue nggak langsung
mencabut kontol gue itu. Gue bisa merasakan sebagian air mani tak
tertampung merembes keluar vaginanya menyusuri kulit batang kejantanan
gue...
Hhh...Nagita Slavina..
Setelah itu gue menjatuhkan diri gue. Merebahkan
badan...”Hah..hah..hah..hah... ”. Nafas gue ngos-ngosan. Gue mengatur
nafas.. Gue pandangi langit-langit...Penis gue lunglai setelah
menumpahkan banyak peju di vagina Gigi.. Energi gue terkuras hebat..
***
Beberapa menit kemudian...
Gue sudah mengenakan pakaian gue kembali. Mengambil HP, memastikan kunci
mobil sudah di tangan gue, mengambil ransel yang gue geletakkan di
toilet waktu mengintip tadi. Di toilet gue melintasi si pria penjaga
penitipan. Gue punya firasat sebentar lagi dia akan sadar. Dengan
mengendap-ngendap namun langkah cepat gue kembali ke ruang fitnes
melewati pintu keluar menuruni tangga menuju parkiran.
Di bawah gue melihat ada satu mobil terparkir. Gue mengenali mobil itu.
Itu adalah Benz yang gue dan adik gue lihat dinaiki Gigi dan cowoknya.
Gue menangkap sesuatu yang lebih mengejutkan lagi. Beberapa meter dari
situ ada tiga sosok manusia. Dua orang berpakaian hitam putih. Satpam.
Mereka berdua sedang membuka ikatan yang mengikat satu orang lagi yang
posisinya setengah duduk setengah tidur. Mulut laki-laki yang sedang
dibuka ikatannya itu tertutup lakban. Salah seorang satpam membuka
lakbannya. Gue melihat laki-laki itu berseru-seru dengan gusar mencoba
memberitahukan hal gawat pada kedua satpam yang menemuinya. Gue
mengenali laki-laki yang baru saja diselamatkan para satpam tersebut.
Dia adalah cowoknya Gigi.
Gue bersembunyi, mencari jalan sedikit memutar. Mereka tidak melihat
gue. Sambil berjalan mengendap-ngendap gue mengamati mereka. Salah
seorang satpam berlari menaiki tangga menuju ruang fitnes.
Sesampainya di sana pasti ia akan menemukan hal yang mengejutkan
dirinya. Ia tidak memerlukan waktu lama untuk menyimpulkan apa yang baru
saja terjadi..
Ada perempuan terikat habis diperkosa. Ada satu pria kurus tergeletak
masih menggenggam pisau dapur di tangannya. Ada cowok disekap di
parkiran. Baik cowok yang baru saja ditolong satpam itu tadi maupun sang
gadis tahu betul siapa yang meringkus dan menyekap mereka. Sudah pasti
lah siapa yang disalahkan dalam tragedi malam ini...
Gue sudah berada di mobil, melaju di jalan raya. Sudah tengah malam.
Sepi. Gue nyalain radio. Ada satu radio yang masih siaran. Satu lagu pop
mengudara mengalun ke telinga gue...
Nagita Slavina...
Tiba-tiba gue teringat waktu itu, ketika gue dan adik gue duduk di ruang sofa di hari di mana kami nggak jadi fitnes...
“Hhh..cantik ya dia..” Kata gue waktu itu..
“Iya, udah gitu pinter lagi..” Adik gue langsung nyamber...
Waktu itu gue inget banget tampang adik gue, matanya berbinar-binar, cerah sumringah. Betapa antusiasnya ia waktu itu...
“...”
Tengah malam, di tengah jalan raya Jakarta. Di dalam mobil yang melaju, gue memukul kepala gue sendiri.
***
Mobil gue sedan, bukan truk, jadi wajar kalau mesinnya tidak berisik. Tapi malam itu memang sunyi sedang menjadi-jadi...
Hape gue bergetar, telpon dari Nina.
“Kamu di mana? Aku sama papa-mama udah sampai nih.”
“Aku lagi di jalan, tunggu sebentar lagi ya.”
“Kamu habis ngapain sih?”
“Sori. Mendadak aku tadi ada urusan mendesak.”
“Urusan apa?”
“Nanti aja aku ceritain.”
“Ya udah. Yang penting kamu nggak habis pacaran sama cewek lain aja, kan..” Nina tertawa renyah.
“Nggak, kok.”
“Ditunggu ya, sayang. Bye.” Klik. Nina menutup percakapan..
“...”
Sambil nyetir gue ngelamun, HP belum terlepas dari genggaman gue...
Tidak, Nina. Gue nggak habis pacaran sama cewek lain...
Gue habis membuahinya...
Gue sampai di restoran 24 jam tempat kita janjian. Nina dan papa-mamanya
langsung menyambut gue. Selanjutnya kami berbasa-basi sedikit.
Setelah itu kami makan. Di tengah makan itu papanya Nina mulai
menyerempet ke isu utama kenapa gue bertemu dengan mereka. Yang bikin
gue bengong adalah ketika mamanya menimpali dengan semangat gimana
senengnya mereka mendengar kabar bahwa kami berdua akan segera
menikah..Gue serasa merosot dari bangku tempat gue duduk.
Nina menangkap kegusaran gue, langsung bilang. “Pa, Ma. Feri ke sini sebenarnya mau ngomong soal lain.”
Papa-mamanya memandang gue. Raut muka penasaran mereka tunjukkan.
Gue akhirnya ngomong, niatan gue, yang sudah gue omongkan dengan Nina.
Bahwa kita berencana nggak nikah dulu, paling nggak untuk tahun ini.
Entah tahun depan.
Kelar gue ngomong, papa-mamanya nggak kasih respon secara verbal. Tapi gue tahu mereka kecewa. Gue jadi nggak enak..
Setelah menyelesaikan makan malam. Kami bersiap-siap pulang. Ketika
hendak berpisah tanpa diduga Nina nggak mau ikut papa-mamanya, dia
bilang mau berduaan sebentar sama gue sebelum gue balik ke Dubai. Gue
bilang ke papa-mamanya biar gue anterin dia ntar. Papa-mamanya pulang
duluan.
Nina ngajak gue ke lantai paling atas dari restoran itu. Di lantai atas
itu nggak ada atapnya, alias outdoor. Angin malam berhembus pelan. Kami
berdiri di tepian memandang ke bawah, Jakarta tengah malam.
Gue melihat ujung jalan. Arah gue dateng tadi. Arah di mana fitnes
center itu terletak. Gue bisa melihat sinar-sinar kelap-kelip dari mobil
polisi di kejauhan sana. Gue menduga di sana sudah hiruk-pikuk
sekarang.
Pandangan gue menerawang ke arah itu...
Gue inget saat pertama kali memutuskan membuat rencana menculik
cewek-cewek BBB dulu di Puncak. Gue inget ada satu hal yang mendasari
kenekadan gue dulu...untuk memberi pelajaran ke mereka tentang ketololan
mereka.
Gue inget ketika menyergap Marshanda di kamar hotelnya dulu, semua karena kelakuannya yang sudah menghina gue..
Untuk pertama kalinya tadi gue memperkosa gadis tanpa alasan yang jelas..
Tapi, bukankah dia yang matahin hatinya adik gue, Rizki..
Apakah itu bisa jadi alasan?
Kesadaran gue kembali ketika tangan Nina meraba pipi gue. Gue menoleh ke
arahnya. Wajahnya hanya beberapa inci dari gue. Bibirnya mendekat
hendak mencium gue. Gue langsung memalingkan muka, menghindar.
Nina salah tingkah. Dia berdehem..
Suasana sempat hening. Gue juga ngerasa sangat nggak enak.. Gue sedang kalut..
Nina berbicara memecah suasana tidak enak sebelumnya, “Pertama kali aku
ketemu kamu. Aku mengira kamu sama seperti pria-pria lain. Sombong,
nggak tau gimana cara memperlakukan perempuan. Menganggap perempuan
sebagai obyek untuk memuaskan hasrat semata...”
Gue menatapnya.
“Tapi kemudian aku sadar kalau kamu berbeda...Kamu bener-bener seorang gentleman.” Nina membetulkan posisi kerah kemeja gue.
Gue nelen ludah. Kali ini gue yang berdehem..
Gue melirik sebentar ke arah kelap-kelip sirine di ujung jalan sana...
Terus kembali menatap Nina. Alisnya terangkat tidak mengerti tingkah
laku gue yang aneh malam ini...
Sesuatu hal mengancam kewarasan gue. Gue harus....
“Nina. Maaf tadi aku sudah ngecewain orang tua kamu..”
Nina tersenyum, “Nggak papa kok. Aku ngerti. Pelan-pelan mereka juga pasti paham.”
Gue diem sebentar, terus buka mulut lagi, “Tapi...sepertinya aku berubah pikiran..”
Otak gue dipenuhi berbagai pikiran gak keruan. Gue mulai bertanya-tanya
apakah gue akan gila. Gue merasa sisi gelap kehidupan gue mulai
mengancam kehidupan normal gue. Gue harus berbuat sesuatu agar bisa
kembali menjaga sisi kehidupan normal gue itu...
Gue tiba-tiba berlutut di hadapan Nina. Menggenggam erat tangannya..
“Nina...kamu mau jadi istri aku?”
“Ka..ka..mu?” Nina terkejut. Gue melihat matanya mulai membiaskan
cahaya, mengkristal.. Tangannya terlepas dari genggaman gue kemudian
menutup mulutnya menahan haru.
Gua pun kembali berdiri..
Gue mengulang pertanyaan gue dengan kalimat berbeda, “Maukah kamu menikah denganku?”
Nina tak kuasa menahan haru. Tidak ada satu kata pun terucap. Hanya anggukannya yang menjawab pertanyaan gue tadi...
Malam itu, hanya beratapkan langit, berhias bintang dan bulan, Gue mengecup pipinya...
Pipi itu merona...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar