Dari Banjarmasin, Mas Adit telepon bahwa besok, temannya yang bernama
Rendi, mau ambil beberapa file penting yang ada dikomputer rumah untuk
keperluan kantornya. Aku sempat berpikir, selama 8 tahun pernikahan,
rasanya belum pernah ada tamu lelaki saat Mas Adit tidak di rumah. Ah,
mungkin ini hanya kebetulan saja. Dan Mas Adit sendiri yang meminta agar
aku menerima temannya itu karena ada hal, tentu yang sangat penting,
yang harus di ambil dari komputernya.
Besoknya, sekitar pukul 9 pagi, ada mobil parkir di depan rumah. Seorang
pemuda, tampan dan jangkung memakai jaket untuk membungkus badannya
yang bidang, turun dari mobil itu, menyampaikan hormatnya.
"Pagi Bu. IBu Adit? Saya Rendi, Bu. Apakah Pak Adit sudah menelepon Ibu,
bahwa saya akan kemari? Saya memerlukan beberapa file di komputer
beliau untuk keperluan kantor yang harus saya dapatkan hari ini, Bu.
Saya harap tidak akan mengganggu Ibu".
"O, ya, Dik Rendi ya. Ya, kemarin Mas Adit telepon saya. Silakan masuk,
komputernya di sini dik", aku persilakan Rendi mengikutiku ke tempat
ruang kerja Mas Adit.
Dia membuka jaketnya, mungkin merasa gerah di rumahku yang sempit ini.
Aku lihat dia keluarkan beberapa lembar disket dari kantong kemejanya
dan langsung menyalakan komputer Mas Adit. Aku sempat pula melirik
dengan rasa kagum akan postur tubuhnya yang bidang itu.
Aku menawarkannya minum.
"Terima kasih Bu, jangan merepotkan Ibu. Saya tidak lama koq".
"Ya, aku buatkan saja teh panas di cangkir".
Kemudian nampak Rendi mulai berkutat di depan monitor dan keyboard
mencari file yang dimaksud. Rupanya Mas Adit sudah memberikan
ancar-ancar di lokasi dan folder mana, sehingga file itu langsung Rendi
dapatkan dan nampak dia telah menekan ikon copy ke directory A, tempat
disket yang dibawa Rendi tadi. Mungkin hanya sekitar 10 menit, semua
yang dilakukannya telah selesai. Kemudian Rendi minta ijin untuk ke
toilet sebentar.
"Silakan, itu di samping ruang makan", kupersilakan dia.
Tak ada hal-hal yang istimewa dari kedatangan Rendi pagi ini. Kecuali
memang kalau aku perhatikan teman Mas Adit ini termasuk pria yang
tampan. Penampilannya nampak bersih dan apik. Maklumlah orang kantoran.
Dia harus tampil "perfect" di depan para relasinya. Sementara Rendi ke
toilet, aku melanjutkan bebenah kamar tidurku sebagaimana yang rutin aku
lakukan setiap pagi hari. Beberapa saat kemudian aku mendengar pintu
kamar mandi terbuka dan langkah Rendi kembali menuju komputer di ruang
kerja suamiku. Karena tanggung oleh pekerjaanku di kamar tidur aku tidak
serta merta menyambanginya. "Ah, teman Mas Adit ini saja", pikirku.
Saat itu aku sedang membetulkan seprei ranjang bekas aku tidur semalam.
Pintu kamar tidurku terbuka dan kebetulan aku sedang dalam posisi
bertumpu pada lututku di lantai membelakangi pintu kamar.
Aku mendengar suara langkah yang halus.
"Bu.., Bu Adit..", kudengar suara Rendi dan aku menoleh ke pintu. Aachh,
apa yang nampak berada tepat di belakangku sama sekali berada di luar
nalarku. Rendi, Rendi, benarkah ini, benarkah kamu Rendi. Di depanku
yang sedang berposisi setengah jongkok di lantai, Rendi berdiri tanpa
celana panjangnya dengan kontolnya yang keluar dari samping celana dalam
putihnya dan diacung-acungkannya padaku. Sementara itu kemejanya juga
setengah terbuka hingga menampakkan gumpalan dadanya.
Bagai terkena sihir nenek lampir, aku terpana, tak berkutik serasa ikan
duyung yang terjerat dalam jaring nelayan, tak berdaya, dikarenakan
seluruh bentuk kehendak dan jiwaku langsung terlempar jauh melayang
tanpa tahu ke tempat mana akan jatuh tujuannya. Dan sihir itu juga
membuat mataku langsung tak mampu berkedip maupun mengelak atau melepas
pandanganku pada kontol Rendi yang hanya berjarak sekitar 2 jengkal dari
wajahku. Aku langsung lumpuh, jatuh terduduk dengan punggungku yang
tersandar pada ranjang. Aku ditimpa shock hebat hingga kehilangan
setengah kesadaranku. Bahkan telingaku juga serasa tuli kecuali hanya
mendengar suara jantungku yang dengan kerasnya sekana memukuli dadaku.
Tidak sepenuhnya sadar pula ketika tanganku menggapai-gapai tepian
ranjang untuk berpegangan agar tubuhku tidak limbung terjatuh.
"Mbak Adit..", itu suara bisikan.
Suara Rendi. Rendi bersuara dalam bisikan. Tetapi karena hanya suara
itu, di samping suara jantungku sendiri yang memukuli dada, bisikkan itu
terasa seperti suara guruh yang menggulung membahana di telingaku. Aku
ingin sekali menyahut suara Rendi, semacam refleks reaktif dari apa yang
membuatku shock hebat ini, tetapi lidahku dijerat kelu. Akupun seketika
bisu total.
Dan mataku, oohh mataku, kenapa aku tidak mampu melepaskan pandanganku
pada kontol itu. Dan leherku, mengapa leherku juga terbawa beku dan
tidak mampu untuk memalingkan wajahku dari kemaluan Rendi itu. Dan yang
terasa memukau pandangan dan perasaanku itu adalah adanya semacam
pesona. Wajah dan mataku terpaku pada pesona erotik yang sensasional dan
sangat spektakuler, kontol itu, betapa indahnya, betapa sedapnya,
betapa nikmatnya. Rasanya aku tak lagi memiliki kesabaran untuk
mengulum, mencium dan menjilati kontol seperti itu. Dan kepalanya itu
yang bak jamur memerah mengkilat dikarenakan seluruh darah yang telah
mendesak di sana. Lubang kencingnya yang nampak berlubang gelap di
tengah bibir lubangnya yang begitu ranum. Warna batangnya yang coklat
muda kemerahan yang dikelilingi urat-uratnya yang juga demikian
indahnya, tampak sangat serasi dan sangat bersih. Tak terbayangkan bahwa
ada kontol seindah itu di dunia. Penampilan kontol itu mencuatkan
refleks biologisku. Lidahku bergerak menjilat bibir. Betapa ingin aku
melumatinya. Aku menelan liurku sendiri dalam upaya menekan keinginan
yang meledak-ledak untuk menelan kontol itu.
"Mbak Adit..", kembali bisikan itu terdengar.
Kali ini sedikit memberikan kesadaran bagiku. Aku menyadari bahwa kini
Rendi memanggilku "Mbak", bukan lagi "Ibu". Aku jadi menyadari bahwa dia
ingin lebih dekat kepadaku. Dan memang, kontol yang sangat mempesonakan
mata dan hatiku itu sepertinya sengaja kuundang untuk bergerak
mendekat.
Dan dengan sekali bisikan lagi, "Mbak Adit..", kontol itu telah menyentuh wajahku.
Mengusap-usap pipi, hidung dan bibirku. Langsung aroma kelelakian Rendi
menerpa hidungku, yang kemudian menembus masuk keparu-paruku dan dengan
tajamnya menghunjam ke sanubariku. Sihir nenek lampir itu dengan
seketika membuatku lumpuh total. Dan aku tak mampu menolak saat kontol
yang terus diusap-usapkan serta mendesak wajahku dan memaksa bibirku
terkuak. Rendi terus mendesak-desakkan kontolnya itu, terus mendesak.
Dan aku, hidungku, bibirku dan lidahku bak anak kecil yang disodori es
cream yang super lezat hingga ingin langsung menjilatinya.
Dan kini, dengan disertai desah dan lenguh dari mulutku, bibirku
pelan-pelan begerak melumat. Lidahku mulai menjilati jamur itu. Aku,
bibirku mulai mengulum daging yang terasa kenyal itu di dalam mulutku.
Kukulum, dan kemudian lidahku memindahkan segala rasa pada jamur itu dan
membawanya masuk ke mulutku. Kontol itu benar-benar telah
meruntuhkanku. Kontol itu telah meringkusku. Kontol itu telah membuatku
kehilangan nalar sebagai istri setia Mas Adit. Kontol itu telah meluluh
lantakkan dan melumatkanku sebagai istri yang untuk kesekian kalinya
telah ingkar dan berselingkuh pada suaminya. Pesonanya yang dahsyat
dalam bentuknya yang indah sensual, ototnya yang membuat batangnya
menjadi sangat keras dan berkilat serta kekuatan erotik yang memancar
dari kontol Rendi itu membuatku kini terduduk dengan bibirku yang penuh
terjejali dan melumatinya.
"Aacchh.. Mbak Adit.. aachh.. Marini.., kamu cantik sekalii Marr..
bibirmu sangat indah Mbak Marr..", desah nikmat Rendi demi melihat bibir
mungilku yang telah penuh oleh kontolnya.
Aku tidak lagi peduli akan suara-suara di sekitarku, yang kupedulikan
kini adalah bibirku yang terus melumat-lumat dikarenakan pancaran pesona
dahsyat kontol Rendi yang aroma, besar dan panjangnya mampu membuatku
terlempar melayang dalam jerat erotik tanpa batas.
Belum pernah aku menyaksikan pesona kontol seindah, sebesar dan
sepanjang itu. Aku tidak mampu mengukur seberapa besar ukuran
sebenarnya. Yang kucoba mengingatnya hanyalah bahwa ukuran kontol Rendi
yang mungkin 3 atau bahkan 5 kali lebih besar dan lebih panjang daripada
kontol Mas Adit, hingga pesona erotiknya dapat melambungkan nafsu
birahiku hingga jutaan kali nikmatnya. Oohh, ampuni aku Mass, aku telah
terjajah dan diinjak-injak oleh birahiku sendiri Maass.. ampuni aku
Maass..
Kini aku mulai menyadari bahwa sihir yang menimpaku ini adalah gelombang
dahsyat yang menyeret dan menguras seluruh libidoku. Kontol Rendi telah
membangkitkan gelombang dahsyat pada diri pribadiku. Dan mata hatiku,
sang nakoda yang lemah ini, tak mampu lagi menanggulanginya kecuali
akhirnya pasrah dalam sejuta kenikmatan yang ada dalam ingkar dan
selingkuh pada suaminya. Dan yang terasa kini adalah prahara birahi yang
merambat seluruh nurani dan organ-organ tubuhku. Dan saat ada
tangan-tangan yang membongkar dan melepas busanaku, aku telah berada
dalam penantian yang penuh nafsu. Dan ketika terasa jari-jari tangan
Rendi memelintir puting susuku, tak terbayangkan lagi, entah di langit
yang ke berapa aku melayang-layang dalam nikmat birahi tak terperikan
ini.
Tiba-tiba saja kusadari bahwa tubuhku telah telanjang bulat. Dan
tiba-tiba kusadarai bahwa Rendi juga telah dalam keadaan telanjang bulat
dengan selangkangannya yang mengangkangi wajahku. Dan aku menjadi
seperti anak lembu yang menyungkupkan mulutnya ke susu induknya untuk
mencari jawaban atas kehausannya yang melanda dengan hebat. Mulutku dan
bibirku kusorong-sorongkan ke biji pelir dan pangkal kontol Rendi untuk
meraih kenikmatan yang telah Rendi siapkan sepenuhnya.
Tanganku yang kini tak bisa kutolak kemauannya itu, ikut ambil bagian
menggenggam kontol Rendi, menaikkannya lekat-lekat ke perutku hingga
kini mulutku lebih leluasa mencium dan menjilati pangkal dan bantangan
kontol itu. Desahan dan rintihan yang terus keluar dari mulut Rendi
menjadi pendorong semangat mulutku agar lebih ganas menjilatinya.
Cekalan jari-jari Rendi pada urai rambutku menjadikanku lebih liar
menyusup-nyusup ke biji pelirnya. Aku kini telah sepenuhnya terbakar
nafsu birahiku. Tak ada lagi hambatan dan rambu-rambu yang bisa
menghentikan.
Tidak ada protes dan sanggahan saat tangan-tangan kokoh Rendi mengangkat
dan membimbing tubuhku naik ke ranjang. Dengan pantatku tetap di tepian
ranjang dan lutut yang bertumpu di lantai, aku telungkup di kasur
tempat tidur pengantinku yang biasa aku tiduri bersama Mas Adit suamiku.
Dan tanpa ada waktu untuk berfikir, aku rasakan tubuh Rendi sudah
menindih tubuhku. Dia pagut kudukku, dia pagut leherku, dia pagut
tengkukku, bahuku, dia pagut dan jilati seluruh bukit dan dataran
punggungku. Dia tinggalkan cupang-cupang berserak bekas-bekas sedotan
hisapan bibirnya di seluruh wilayah yang dijarah bibir dan lidahnya. Dia
buat kuyup seluruh pori-pori tubuhku. Tangannya menggapai
tangan-tanganku yang terentang di kasur, dia remasi jari-jariku untuk
bersama-sama menelusuri nikmat. Dan itulah awal tangan-tangan Rendi
memulai menyusuri lenganku hingga wilayah ketiakku yang terus berlanjut
ke buah dadaku.
Remasan-remasan tangannya ke kedua payudaraku memaksak mendesah dan merintih dengan hebatnya.
"Rendii.. ampuunn.. Rendii..".
Dan kemudian aku langsung terhempas ke awang-awang yang sangat tinggi
saat bibir dan lidahnya meluncur dari punggungku, melewati wilayah
pinggulku langsung turun lagi untuk mendesak belahan pantatku.
Aku benar-benar tidak mampu mengelak dari kenikmatan tak terperi yang diberikan Rendi ini, maafkan aku Mas Adit.
Baru kali ini ada seseorang yang dengan sukarela menjilati pantatku,
lubang duburku, lubang pembuangan kotoranku. Lidah Rendi membor lubang
pantatku. Bibirnya menyedot cairan yang keluar dari pantatku. Dia tidak
jijik dengan semua itu. Dia lahap semua serpih-serpih yang ditemuinya di
sekitar pantatku itu. Ciuman dan jilatan Rendi pada dubur lubang
pembuangan kotorankuku itu benar-benar menjadikanku serasa terbang ke
awang-awang nikmat tak terperi.
Pada posisi berikutnya aku merasakan pinggul dan pantat Rendi mendorong
kontolnya mendesak-desak pantatku. Aku yakin batang hangat itu berusaha
memasuki analku. Dan kegatalan yang datang dan tak mampu kutahan dan
kuhindari membuat tanganku melakukan gerak refleks meraih batang
kontolnya yang panjang itu. Alangkah mantapnya kontol Rendi dalam
genggaman tanganku ini. Panjangnya, besar dan kerasnya. Dan tanganku ini
begitu cepatnya memahami kemana maunya arah kontol itu. Di tempat lain,
kegalauan telah lama menanti. Vaginaku telah kuyup oleh cairan birahiku
sendiri. Vaginaku menghangat dalam lelehan lendir yang tak
henti-hentinya mengalir keluar dari lubangnya.
Kegatalan kemaluanku menunggu dengan gelisah tanpa sabar akan arahan
tanganku yang kini gemetar, menuntun kontol Rendi menuju lubang nikmat
nonokku. Aku merasakan katup bibir kemaluanku langsung mengencang seakan
tidak rela kontol Rendi menembusnya. Aku merasakan kegatalan pada
tepi-tepi klitorisku yang terus mengeras tegang dan ketat menahan
tusukan kontol Rendi. Tetapi itu hanyalah ironi dari keinginan yang
meledak-ledak dalam bentuk penolakan "jangan - tidak" yang dibarengi
gelinjang-gelinjang nafsu birahi dari seluruh tubuhku.
Dan pada akhirnya semuanya tak ada yang mampu menghadang. Kontol Rendi
dengan jamur dalam bulatan yang besar dan tumpul itu secara pelan dan
pasti telah merangsek maju, menggedor-gedor gerbang vaginaku secara
pasti dan tanpa kenal menyerah. Aku merasakan mili demi mili bagaimana
kontol Rendi menerobos bibir dan kemudian dinding awal menuju lubang
vaginaku. Aku merasakan saraf-sarafku yang karena kegatalan nikmatnya
mencengkeram batang kontol Rendi yang semakin melesak ke dalam lubang
kemaluanku. Aku mendengarkan dan merasakan bagaimana lenguh dan desah
Rendi karena kontolnya merasakan nikmatnya lubang sempitku ini.
Dan ketika batang itu telah terlahap seluruhnya, Rendi menghentikan
desakannya sesaat. Hatiku marah. Nafsuku meradang. Kurang ajar kamu
Rendii.. mengapa kamu tega menyiksaku dengan caramu itu.. Dan dengan
kejengkelan erotikku, tak ayal bokongku berusaha menjemput batang kontol
itu agar tidak diam hingga membuatku tersiksa seperti ini. Ternyata
memang benar, itu hanya sesaat. Dengan tangan kirinya, Rendi meraih
rambutku yang telah berantakan terurai. Seperti sais menarik tali kekang
kudanya, tangan Rendi menarik rambutku ke belakang hingga kepalaku
dibuatnya terdongak.
Dia benar-benar menjadikan rambutku seperti tali kekang kuda.
Ditarik-tariknya sambil menghantamkan keluar masuk kontolnya ke memekku.
"Ammpuunn Rendii.. kontolmu ituu.. aacchh..".
Genjotan Rendi membuat seluruh ranjangku bergoyang tergoncang-goncang.
Kenikmatan yang kuterima membuat tangan-tanganku meraba-raba berusaha
mencari pegangan. Dan korbannya adalah seprei ranjangku yang jadi
terbongkar tak karuan karena kuremas. Keringatku tak lagi mengenal
toleransi. Mengucur deras mengiringi rintihanku yang dipenuhi kepiluan
nikmat tak bertara.
Setiap tusukan kontol Rendi ke kemaluanku selalu menghasilkan siksaan
sekaligus kenikmatan yang tak mampu kutanggung sendiri. Rintihan itu
seakan meminta, memohon, entah kepada siapa untuk turut berbagi siksa
nikmat yang sedang melandaku. Rintihanku itu sepenuhnya melukiskan
keadaanku yang dengan sepenuhnya sedang terjajah oleh nafsu dan birahi
hewaniahku. Rintihan itu terus menerus mengiringi kocokan kontol Rendi
yang tidak menampakkan tanda-tanda kapan hendak berhenti.
Kemudian, dengan tanpa mencabut kontolnya dari nonokku, Rendi meraih dan
mengangkat kaki kiriku, membalikkan tubuhku kemudian mendorongnya
sedikit lebih ke tengah ranjang pengantinku. Dan kaki kiriku tak pernah
diturunkannya lagi, kecuali hanya disandarkannya pada bahunya yang
membuat selangkanganku menjadi sangat terbuka sehingga nonokku menjadi
sepenuhnya terkuak dan memudahkan Rendi meneruskan kocokannya pada
lubang vaginaku ini.
Kembali sensasi erotik birahiku dengan penuh nafsu menyerang. Aku hanya bisa mengeluarkan racauan.
"Teruuzzhh.. terruuzzhh Rendii.. teruuzzhh.. enhhaakk..", sambil ludahku
muncrat-muncrat karena kehilangan kendali saraf mulutku dan dengan
dibarengi oleh mataku yang melotot tanpa kedip.
Gelombang kenikmatan yang mengalun bertalu-talu itu membuat seluruh
tubuhku bergelinjang tak karuan. Tangan-tanganku berusaha menggapai
payudaraku dan meremas-remasnya sendiri dalam upaya mengurangi deraan
nikmat yang tanpa batas itu. Tanganku terus menerus dan semakin erat
meremas kuat-kuat seluruh urat dalam payudaraku itu. Entahlah,
kesadaranku rasanya tak tampak lagi, yang tersisa tinggal kenikmatan
yang membuat seluruh tubuhku semakin tenggelam dan terperosok ke
dalamnya.
Kini Rendi menjatuhkan kakiku demikian saja dari bahunya. Nafsunya yang
buas dan liar merubuhkan tubuhnya ke atas tubuhku. Dengan genjotan
kontolnya yang semakin cepat, ditindihnya aku. Bibirnya menjemput
bibirku yang langsung kusambut dengan lahapnya. Ludah dan lidahnya
kuhisap-hisap dengan penuh kehausan. Tangan Rendi yang langsung
merangsek tubuhku dengan eratnya membuatnya menekankan bibirnya ke
bibirku menjadikan seakan tubuh kami lengket tak terpisahkan. Dan
tanganku yang juga memeluk tubuhnya yang bidang itu merasakan betapa
keringat Rendi mengucur deras.
Sementara kontol Rendi yang panjang itu makin cepat menghunjamkan
batangnya ke vaginaku hingga terasa mentok pada lubang peranakanku.
Selama ini belum pernah ada yang mampu menyentuh lubang peranakanku.
Panjangnya kontol Mas Adit yang hanya separohnya jelas tak akan pernah
menyentuh titik lokasi ini. Sedangkan justru di situlah sebenarnya letak
saraf-saraf peka yang mampu membuat perempuan menerima kenikmatannya
dari kontol seorang lelaki. Aku sungguh-sungguh merasakan sangat
beruntung dientot Rendi pagi ini.
Dan kini yang aku rasakan adalah semacam aliran birahi yang mendesak
dari lubang vaginaku untuk muncul ke permukaan. Seperti ingin kencing
yang sangat mendesak. Saraf-saraf pada dinding vaginaku yang semakin
ketat mencengkeram batang kontol Rendi menguncup antara melepas dan
mencengkeram membuat rasa ingin kencing yang tak lagi mampu kubendung.
Anehnya rasa ingin kencing itu justru ingin sekali kugapai. Dan perasaan
seperti ini belum pernah aku rasakan semenjak 8 tahun perkawinanku
dengan Mas Adit.
Apakah ini yang sering disebutkan sebagai orgasme? Apakah memang selama
ini aku tidak pernah mendapakan orgasme? Apakah sepanjang hubungan
seksku selama 8 tahun dengan Mas Adit tidak pernah sekalipun
menghasilkan orgasme? Aku sendiri tidak tahu, apa sebenarnya orgasme
itu.
Tiba-tiba saja, juga dengan tanpa melepas kontolnya dari nonokku, Rendi
mengangkat kaki kananku dan diseberangkan melewati tubuhnya yang merebah
ke kanan tubuhku. Dan kini posisiku adalah miring membelakangi Rendi
yang dengan tanpa berhenti bisa tetap mempertahankan kontolnya pada
lubang memekku sambil terus menggenjotnya.
Dengan cara memeluk tubuhku dari belakang, tangan Rendi langsung meremas
payudaraku yang iramanya mengiringi genjotan kontolnya pada kemaluanku.
Dan rasa ingin kencing itu membuatku nonokku terasa sedemikian gatalnya
hingga dengan sepenuh kekuatan, aku menggoyang-goyangkuan pinggul dan
pantatku untuk ikut menjemput kontol yang keluar masuk di liang
vaginaku.
Rasanya kegatalan ini tak akan mereda kembali. Aku berteriak, mengaduh,
merintih dan berteriak kembali. Tempat tidurku bergoncang dengan
hebatnya. Sepreiku sudah terlepas entah kemana. Kini aku raih kisi-kisi
ranjangku kuat-kuat. Rasa ingin kencing itu tak lagi dapat terhindarkan.
Rasa ingin kencing itu sudah sangat mendekati gerbang pertahanan
terakhirnya untuk jebol. Rasa merinding dan gemetar langsung melanda
seluruh tubuhku.
"Rendii.., akuu.., oohh..", dan entah apa lagi yang kuteriakkan.
Hingga akhirnya ada yang kurasakan sangat mencekam saraf-saraf vaginaku.
Dengan kedutan-kedutan besar, serta dengan cengkeraman-cengkeraman pada
kisi-kisi ranjang yang bisa membuat tangan-tanganku terluka, dengan
keringatku yang mengucur membasahi dada, perut, rambutku maupun leherku,
kutekan habis-habisan hingga mentok ke pintu peranakanku setiap kontol
Rendi menusuk nonokku, terus kutekan, terus, hingga kurasakan ada
sesuatu yang tumpah dari lubang vaginaku.
Tumpahan-tumpahan dari lubang vaginaku itu rasanya mengalir tak
henti-hentinya, sangat nikmat. Aku terkulai sesaat. Sementara itu kontol
Rendi sama sekali belum menunjukkan akan selesai menggenjotku, bahkan
semakin mempercepat kocokannya. Aku pasrah saja. Walau sejenak setelah
ada yang tumpah dari liang vaginaku tadi segala kegatalanku tadi
langsung turun. Yang kurasakan sekarang adalah sedikit rasa pedih.
Kocokan kontol Rendi mungkin membawa serta rambut-rambut di tepi
vaginaku sehingga kemungkinan membuat bibir vaginaku terluka. Tetapi tak
apalah. Toh sebanding dengan apa yang bisa kuraih pagi ini.
Rupanya Rendi memang masih jauh dari tujuannya. Kontolnya yang besar
panjang dan kaku itu, walaupun posisi Rendi berada di punggungku, tak
ayal pula tetap saja ujungnya mampu menyentuh lubang peranakanku.
Bahkan, kini dia raih tubuhku ke atas tubuhnya. Aku menjadi telentang
menindih tubuhnya yang terus menancapkan dan menggejot nonokku. Kakunya
itu, pajangnya itu, besarnya itu membuat seakan tak ada celah yang
tersisa lagi dalam ruang kemaluanku yang memang menjadi sangat menyempit
dan terus menerus menggedor lubang peranakanku.
Rasanya Rendi memerlukan bantuanku. Aku berusaha bangkit untuk mencoba
membantunya. Mungkin dengan menggoyangkan pinggul dan pantatku akan
dapat mengimbangi genjotannya yang semakin menggila. Bahkan kemudian aku
bergerak bangun setengah menduduki selangkangannya dengan kedua
tanganku masih bertumpu pada dada gempal Rendi sehingga kontol Rendi
dapat sepenuhnya masuk dalam lahapan vaginaku dan kuikuti genjotannya
dengan menaikturunkan pantatku. Payudarahku ikut tergoncang-goncang.
Rambutku terhambur ke kanan maupun kiri. Sungguh edan kontol ini.
Hal yang sama sekali tidak kuperkirakan semula adalah, posisi yang
sedang aku lakoni ini justru menjadi bumerang yang berbalik dan
mendongkrak gelora birahiku kembali. Rasa gatal pada dinding vaginaku
datang kembali. Dorongan nafsu merenggut seluruh saraf-saraf pekaku
kembali. Dan rasa lemasku langsung lenyap diganti dengan semangat untuk
menggenjot kontol Rendi agar dapat lebih dalam merasuki vaginaku. Aku
kembali kesetanan. Kembali merintih dan mendesah. Kembali mencakar dan
meremas bukit-bukit gempal tubuh Rendi.
Dan akulah kini yang mempercepat keluar masuknya kontol itu ke nonokku.
Batang yang besar, panjang dan kerasnya bukan main itu membuatku bahkan
lebih terbakar daripada yang pertama tadi. Aku berteriak sebagai ganti
desahanku. Aku berteriak sebagai ganti rintihanku. Aku berteriak
menjemput nikmat tak terperikan ini. Dan saat itulah aku merasakannya
kembali.
Dari lubuk kedalaman nonokku, desakan ingin kencing kembali mengejar ke
depan gerbang vaginaku. Karena kini aku tahu betapa nikmatnya
menumpahkan desakan dari dalam tadi. Genjotan dan naik turun pantatku
kubuat semakin menggila. Kulihat sepasang payudaraku terlempar ke atas
ke bawah. Aku sudah semakin tidak peduli lagi pada rambutku. Gerbang
vaginaku telah sepenuhnya siap menyambut. Dan dengan teriakan yang
paling keras, orgasmeku kembali hadir.
Tiba-tiba ada rasa benci dan marah yang menyelinap di celah-celah
membanjirnya tumpahan vaginaku. Aku benci dan marah kepada suamiku. Aku
merasa dipecundangi selama 8 tahun perkawinanku dengannya. Aku merasa di
lecehkan. Aku tidak sepenuhnya percaya bahwa Mas Adit tidak mampu
memberikan kenikmatan sebagaimana yang kuterima dari Rendi hari ini. Aku
merasa bahwa Mas Adit tidak bersungguh-sungguh mengusahakan dan
memberikan kepuasan orgasme padaku istrinya. Saat itu pula aku meraung
menangis. Aku menangis sejadi-jadinya.
Dan Rendi yang belum menyadari keadaanku, yang mungkin juga tidak mau
tahu keadaanku, sementara kontolnya memang juga masih terus menggenjot
nonokku, kembali meraih tubuhku agar merapat ke tubuhnya. Ketiakku dia
serang habis-habisan. Payudaraku diremasnya habis-habisan. Aku tahu.
Rendi hampir mencapai puncak kenikmatan seksual. Pasti sperma Rendi
sudah merasuk ke batangnya untuk dimuncratkan ke dalam nonokku. Tetapi
aku meraskan sakit yang amat sangat.
Aku langsung berontak merasakan sakit yang amat sangat pada nonokku.
Genjotan Rendi yang tak habis-habisnya rasanya telah mengiris-iris
vaginaku. Aku tidak tahan lagi. Aku bangkit dan turun dari ranjangku.
Rupanya Rendi salah pengertian dengan sikapku ini. Dia berfikir bahwa
aku ingin mengubah posisiku. Teriakan kesakitanku tadi dianggapnya
sebagai teriakan kenikmatan. Begitu aku turun, dia langsung ikut
menyusul turun. Dia berdiri dan pundakku dicekalnya dan kemudian
menekannya agar aku berjongkok. Kemudian dia jaMbak rambutku dan
menengadahkan mukaku.
"Ayoo Mbak Marr, ayoo Mbak Aditt, telaann.. minuumm..", dia meracau.
Dia sodorkan kontol besarnya ke mulutku. Aku harus menghisapnya. Sperma
yang sudah dekat ke pintu keluarnya akan dia tumpahkan ke mulutku.
Karena rasa sakit pada nonokku itu, aku sudah tak mampu lagi berfikir
jernih. Pilihan ini akan lebih baik daripada nonokku harus jebol,
pikirku. Di samping itu, hati kecilku jadi terobsesi sejak aku
dipaksanya untuk mengulum kontolnya pada awal dia memasuki kamar tidurku
tadi. Hati kecilku ingin merasakan spermanya tumpah di mulutku. Hati
kecilku menginginkanku meminum air maninya. Hati kecilku ingin merasakan
tenggorokanku dihangati oleh lendir-lendir hangatnya. Hati kecilku
menginginkanku meminum sperma dari kontol Rendi yang telah memberikanku
kepuasan orgasme yang belum pernah seumur hidup kudapatkan. Dan hati
kecilku juga ingin aku membuktikan bahwa aku bisa memberikan kepuasan
yang dahsyat itu pula kepadanya.
Kuraih kontol Rendi dan melumatnya sepuas hatiku. Sepuas nafsuku. Sepuas
kehausan nafsuku. Kepalaku mengangguk-angguk memompa kontol itu dengan
mulutku. Dan akhirnya terdengar suara Rendi yang meregang. Desahan dan
rintihannya memenuhi ruang sempit kamar pengantinku. Entah sudah berapa
mililiter sperma Rendi tumpah ruah ke mulutku. Aku berusaha agar tak ada
setetespun yang tercecer. Kini aku terdorong berusaha menelan seluruh
air maninya.
Memang dulu pernah aku dipaksa Mas Adit suamiku, untuk mengulum
kontolnya dan meminum air maninya. Tetapi waktu itu reaksiku adalah
perasaan jijik. Aku langsung muntah-muntah saat lendir Mas Adit terasa
menyemprot dalam mulutku. Selanjutnya Mas Adit tidak lagi pernah
memaksa.
Tetapi pada Rendi ini, yang bukan suamiku, justru aku yang merasa
menginginkannya. Dan sama sekali tak ada rasa jijikku. Bahkan aku
merasakan kerakusan hewaniah saat tenggorokanku merasakan aliran lendir
yang disemprotkan terus menerus milik Rendi ini. Rasanya aku
menginginkannya lebih banyak lagi, lebih banyak lagi, lebih banyak lagi.
Dan akhirnya redalah semua prahara. Kami sama-sama tergolek kelelahan.
Kami telentang telanjang di ranjang. Kamar pengantinku dipenuhi
nafas-nafas memburu dari para ahli selingkuh pengejar nikmat nafsu
birahi ini. Sejenak kami terlena.
Aku sedikit gelagapan saat Rendi membangunkanku. Kulihat dia sudah rapi
untuk kembali ke kantornya. Tangannya masih menyempatkan untuk mengelus
dan memainkan jari-jarinya ke nonokku. Aku melenguh manja. Kami
berpelukan dan saling memagut sesaat. Sebelum dia pergi aku tanya pada
Rendi, kenapa dia begitu PD (percaya diri) dan yakin saat telanjang di
depanku pada awal berada di kamarku tadi. Dia tidak menjawab kecuali
menunjukkan senyumnya yang tipis. Apakah dia tidak khawatir aku akan
menggebuknya dengan sapu lidiku yang kebetulan berada di tanganku tadi.
Kembali dia tidak menjawab kecuali dengan senyumannya lagi.
Dan aku memang tidak terlalu menginginkan jawabannya. Aku juga meyakini,
90 diantara 100 perempuan, entah itu gadis, istri ataupun janda,
apabila dihadapkan pada pemandangan yang sedemikian spektakuler
sebagaimana tampilan kontol super besar dengan pria macho yang setengah
telanjang tadi, pasti akan langsung jatuh terduduk. Kekuatan sihir dari
penampilan Rendi dan kontolnya akan mampu menghempaskan harga diri
setiap wanita hingga di lantai yang paling bawah. Dan mereka akan
merelakan dirinya untuk dijadikan sekedar obyek pemuasan seperti tadi.
Demikian pulakah aku? Ah, persetan dan peduli amat, pokoknya hari ini
aku telah berhasil meraih orgasmeku yang pertama kali dalam hidupku.
Persetan, persetaann..
Kemudian aku bertanya pula, mengapa saat pertama kali datang dan turun
dari mobil sepertinya dia terkesan sangat sopan dan sama sekali tidak
menampakkan akan berlaku 'kurang ajar' seperti tadi? Kali ini dia mau
menjawab. Dia menceritakan pandangan teman-temannya bahwa di antara para
istri teman-teman satu kantor, yang paling cantik adalah istri Pak
Adit. Teman-teman bilang bahwa Bu Adit itu sangat sensual. Pakai busana
apa saja selalu nampak cantik. Dan secara berkelakar mereka bilang,
penampilan yang paling cantik dari istri Pak Adit tentu saja adalah saat
tanpa memakai busana sama sekali, alias saat telanjang. Ampuunn, deh.
Sudah lama sebenarnya Rendi mendengar perihal diriku dan kemudian banyak
memperhatikanku. Pada beberapa kali pertemuan atau hajatan antar teman
sekantor dia banyak mengamatiku. Naluri kelelakiannya mendorong untuk
selalu mencari kesempatan. Dan ketika kemarin Mas Adit menyuruhnya untuk
ke rumah mengambil file dari komputernya, dia tahu bahwa inilah
kesempatan emas baginya. Dengan sungguh-sungguh dia berancang-ancang dan
mempersiapkan dirinya. Dia akan berusaha tampil secara "low profile"
agar tidak mengundang kekhawatiran ataupun kecurigaanku, begitu
ceritanya. Dia juga berusaha untuk seakan-akan tidak mengambil perhatian
padaku. Kurang ajar juga kau Rendi, batinku.
Dia juga menceritakan bahwa wanita sepertiku pasti memiliki nafsu
seksual yang luar biasa. Rendi mengutarakan pendapatnya dengan gaya
bagai seorang pakar seksual. Posturku yang relatif kecil dengan pinggul,
bokong, gaya berdiri maupun sensual bibirku yang katanya persis bibir
Sarah Ashari, rambutku yang lurus yang juga dia katakan seperti rambut
Sarah Ashari, betisku yang mulus kencang dan segudang lagi pujian
gombalnya yang sepenuhnya mencitrakanku sebagai seorang perempuan yang
paling sempurna untuk diajak ke atas ranjang. Edan, beraninya kau
membicarakan daya tarik seksual istri temannya sendiri, kataku yang
disambutnya dengan tawa lepas. Aku tahu bahwa itu semua merupakan
dramatisasi Rendi sendiri.
Tetapi apapun yang terjadi, ucapan Rendi itu membuatku berbunga-bunga,
walaupun juga setengah malu-malu. Dan ada beberapa hal yang kuakui bahwa
ada benarnya omongan Rendi. Khususnya yang berkaitan dengan soal
ranjang tadi tidak terlampau meleset. Aku memang merasa selalu kehausan.
Apa lagi kalau sering kudengar dari teman atau tetangga, bagaimana
mereka mendapatkan kepuasan lahir batin dalam hubungan intimnya dengan
suami-suami mereka. Yang kurang ajar lagi, Rendi juga bilang bahwa
nonokku yang seperti nonok perawan, dan nonok seperti itu pasti belum
pernah merasakan kontol macam punyanya, katanya sambil melirikkan
matanya. Dia menyindirku rupanya.
Aku hanya tersenyum sebagaimana dia menjawab pertanyaanku tadi. Yang dia
maksudkan pasti bahwa kontol Mas Adit yang kecillah yang membuat
nonokku tetap sempit seperti nonok perawan. Aku tertawa nyengir saja
memikirkan semua itu.
Terus terang walaupun kenyataannya pahit, bagaimanapun apa-apa yang
disampaikan Rendi tadi membuatku sangat tersanjung rasanya. Aku jadi
semakin percaya diri. Pernyataan yang Rendi katakan itu juga sering
kudengar dari lelaki maupun perempuan lain di sekitarku. Kali ini aku
menjadi semakin percaya bahwa aku memiliki ciri-ciri sebagai perempuan
yang sangat cantik dan menarik.
"Besok aku telepon ya, Mbak. Pak Adit baru minggu depan khan pulangnya?!".
Aku tidak bilang "ya", tapi juga tidak bilang "tidak". Que sera sera..
Peristiwa air mani Rendi yang muncrat ke mulutku pada akhir selingkuh
hari ini tadi tiba-tiba terlintas dalam bayanganku dan membuat libidoku
kembali bergetar. Hari itu, hingga sore dan malam menjelang tidur,
nikmat selingkuh bersama Rendi tadi terus menerus membayang ke manapun
aku bergerak dalam rumahku. Rasa pedih dan perih sekaligus nikmatnya
nonokku ingin rasanya kuabadikan. Aku ingin selalu bisa mengenang dan
selalu berada dalam kenangan Rendi. Ini bukanlah peristiwa seperti
halnya jatuh cinta. Ini adalah peristiwa dimana pejantan bertemu betina.
Setiap kali berjumpa yang dipikirkan tidak lebih dari soal perselingkuh
mengejar pemuasan nafsu birahi.
Hampir sepanjang malam aku kesulitan tidur, gejolak libidoku dengan lembut terus membisiki telingaku.
"Lihatlah kontolnya, lihatlah belahan lubang kencing di kepalanya yang
sangat sensual itu, lihatlah batangnya yang seperti patung lilin Madame
Tussaud, lihatlah selangkangannya yang sangat mengundang lidah untuk
menjelajahinya, lihatlah dadanya yang mengundang bibir dan lidahku,
lihatlah ketiaknya, lembahnya, aromanya, bulu-bulu halusnya..".
Entah sudah pukul berapa saat teleponku berdering. Aku meloncat bak rusa
betina. Meradang dan menerjang. Hampir saja aku jatuh tersandung kaki
meja makanku. Hatiku seperti anak kecil yang sedang menunggu Papanya
pulang membawa mainan yang dijanjikannya. Dengan cepat kuraih gagang
telepon itu. Ah.., aneh.. aku kecewa. Ternyata hanya Mas Adit. Hanya..?
Hanya..?
Dia bilang bahwa ia akan pulang hari Senin minggu depan. Dia juga
bertanya apakah Rendi tidak kesulitan mengambil file dari komputernya.
Dia juga menanyakan hal-hal rutin lainnya. Terus terang aku telah
kehilangan semangat untuk menjawabnya. Semua kujawab seperlunya saja.
Juga saat dia bilang bahwa dia sudah membeli kain tenun asli Banjarmasin
untukku, yang memang dia janjikan sebelum pergi, rasanya aku menerima
kabar itu dengan biasa-biasa saja. Pagi ini yang kutunggu dengan
harap-harap cemas hanyalah telepon Rendi. Semalaman aku sudah kurang
tidur. Semalaman aku hanya mencoba mengingat-ingat bagaimana kontol
besar Rendi dengan 'kejam'-nya merobek-robek nonokku. Semalaman aku
hanya ingin kembali mengulangi kenikmatan tak terperikan itu. Kenikmatan
yang menghasilkan kepuasan tak terhingga sampai-sampai aku dapat
merasakan betapa nikmat dan penuh maknanya orgasme itu bagiku.
Saat ini aku sudah mempunyai niat, apabila Rendi jadi mengajakku keluar,
yang pasti akan berakhir di tempat tidur, aku akan berbuat lebih banyak
untuk menyalurkan nafsu birahiku yang sangat menyala-nyala ini. Aku
harus lebih siap. Aku punya banyak obsesi mengenai bagaimana melakukan
berbagai hal di atas ranjang. Dan aku merasa hal-hal itu hanya akan
terwujud dengan dan bersama Rendi.
Telepon yang kutunggu itu akhirnya berdering juga. Rendi minta agar kami
bertemu di Slizer American Steak di kawasan jalan Bitung, Menteng. Dia
mengajakku makan siang di situ. Aku sudah memikirkan baju apa yang akan
kupakai untuk pertemuan dengan Rendi hari ini. Aku akan memakai baju
yang menurut komentar teman-temanku saat aku memakai baju itu, paling
sensual. Rok terusan sampai di dada dengan tali kecil yang menggantung
ke bahu. Warnanya merah tua mawar. Bahannya sifon tipis, teman-teman
bilang busana itu akan membuat postur tubuhku nampak sangat seksi karena
efek dari bahan itu. Agar tidak menyolok saat aku keluar rumah, di
luarnya aku memakai blus lengan panjang dengan warna coklat muda.
Aku sendiri tidak begitu suka make up yang terlalu menyulitkan, aku
lebih senang kesan natural dan simplicity. Dan itulah yang membuatku
jadi nampak cantik alami. "Elegan simplicity", begitu kata temen-temenku
yang terpelajar.
Pukul 12.00 tepat aku turun dari taksi, dan kulihat Rendi sudah
menungguku di depan pintu. Dia keluar untuk turun menjemputku. Aku tahu
bahwa Rendi sangat terpesona penampilanku siang itu. Tidak banyak yang
bisa diceritakan saat makan siang itu, kecuali Rendi yang matanya terus
menerus mengagumi dan menikmati penampilanku.
"Mbak koq cantiknya luar biasa, kenapa sih. Dulunya makan apa koq sampai
bisa jadi cantik dan seksi banget. Kontolku jadi ngaceng berat nih,
lihat saja bahu Mbak Adit yang.. selangit deh", begitu terus menerus
Rendi mengeluarkan bisikan-bisikannya di tengah orang ramai di Slizer
American Resto itu.
Aku sangat tersanjung dibuatnya. Hari ini Rendi mengajakku ke Puncak.
Dia kebetulan mempunyai hak menempati villa yang dipinjamkan oleh
temannya. Aku "no comment" saja. Hatiku kembali tergetar. Aku ingin
sekali meraih kenikmatan yang seperti kemarin. Aku ingin sekali
merasakan orgasme yang seperti kemarin. Aku ingin sekali mewujudkan
berbagai obsesi ranjangku. Aku sangat bernafsu birahi. Tanganku meremas
keras-keras tangan Rendi sampai dia mengaduh.
Tepat pukul 1.15, dengan Honda Civic Rendi kami telah berada di gerbang
tol Jagorawi. Sepanjang jalan Rendi banyak bercanda. Aku sendiri kuakui,
agak merasa tegang. Aku terlampau serius hari ini. Aku akan mencoba
untuk bersikap lebih santai.
"Ren, aku tidak bisa tidur lho semalaman", kucoba katakan pada Rendi.
"Kenapa Mbak?".
"Ya ini nihh penyebabnya..", aku tekadkan saja untuh menjamah selangkangannya yang berada di belakang kemudi Honda Civicnya.
Rendi nampak senang atas inisiatifku.
"Ooo.. begitu.. boleh Mbak, kalau kangen mau ketemu adikku ini", canda Rendi.
Aku tidak menyahut tetapi terus saja mengelus selangkangannya itu.
Kurasakan tonjolannya semakin membesar dan mengeras. Sebentar-sebentar
Rendi memandangku dengan matanya yang tajam menusuk ke hatiku. Rasanya
aku semakin sayang saja padanya. Dia tarik handle kursinya hingga
posisinya menjauh dari kemudi dan selangkangannya lebih leluasa menerima
elusan-elusan tanganku.
"Keluarin saja Mbak, 'dia' khan juga ingin lihat Mbak", aku tertawa cekikikan.
Dan dengan tanpa menunggu perintah berikutnya, kuraih ikat pinggangnya
dan kubuka. Kancing-kancing celananya juga kubuka. Demikian juga dengan
resluitingnya. Dengan sedikit beringsut Rendi lebih mengendorkan
posisinya agar aku dapat lebih mudah merogoh kontolnya.
Tidak tahu, mengapa aku merasa tidak sabar sekali saat itu. Aku inginnya
buru-buru saja untuk meremas dan menyaksikan kontol penuh pesona itu.
Kontol yang habis-habisan telah menyihirku. Kontol yang membuatku tak
bisa tidur semalaman. Setelah merogoh-rogoh dan menyingkirkan
jepitan-jepitan celana dalamnya, kontol itu akhirnya muncul mencuat dari
selangkangan Rendi. Untuk kedua kalinya aku melihat pesona itu dengan
takjub. Dan baru sekarang aku berkesempatan mengamatinya dengan lebih
mendetail. Kueluskan jariku, kutoreh-toreh lubang kencingnya. Kontol itu
cepat sekali mengeras hingga berukuran maksimum.
Dan kini dapat kulihat apa yang sangat pantas menjadi incaran banyak
wanita itu. Indahnya, kepalanya mengkilat tegang. Dan belahan tempat
lubang kencingnya juga ikut menegang menantang menunggu jilatan. Aku
agak menahan diri untuk tidak bertindak terlalu jauh, khawatir akan
mengganggu Rendi yang sedang menyopir di lajunya jalan tol Jagorawi.
Tanganku dengan lembut mengelus kontol perkasa itu. Jari-jariku bermain
pada sembarang permukaannya. Aku rasa ukurannya mengingatkanku pada
pisang tanduk dari Bogor yang terkenal itu. Aku tak kuasa melepaskan
sedetikpun kekagumanku. Setiap kali aku menghela nafas. Rupanya Rendi
tahu. Dia memperlambat laju mobilnya dan menepi.
"Berhenti sebentar ya Mbak", aku tersenyum senang.
Setelah berhenti Rendi kembali memundurkan joknya dan lebih memiringkan
sandarannya. Tidak maksimum, karena dia juga harus sambil mengamati
jalanan, siapa tahu ada polisi jalan tol yang melakukan pengawasan pada
mobil-mobil yang nampak bermasalah. Sekarang baru aku punya kesempatan
untuk bermain. Aku dekatkan wajahku hingga hidungku bisa menangkap
baunya, aku jadi sangat horny. Aku tak tahan lagi. Akhirnya mulutku
mendekat dan mencaploknya. Mungkin tidak lebih dari 5 menit kuminta
Rendi untuk jalan lagi. Itu sudah cukup untuk sekedar melepas beban
keteganganku yang sejak pagi sudah kencang terus.
"Jalan lagi deh Ren. Rasanya aku kayak orang kehausan banget nih", Rendi tertawa.
Aku mungkin tertidur sekejap. Ternyata mobil Rendi sudah memasuki
halaman villa itu. Nampaknya lumayan. Satu rumah menyendiri dengan taman
dan pohon-pohon khas puncak yang dingin. Tak nampak ada seorangpun.
Rendi memakirkan mobilnya dan kami turun. Tak lama kemudian ada seorang
ibu yang kelihatannya orang setempat yang muncul dan mengucapkan salam.
Dia katakan bahwa Samin penjaga rumah sedang ke toko sebelah untuk
membeli rokok. Rendi tidak menanyakannya lebih jauh. Dia hanya
menunjukkan bahwa kunci rumah villa itu sudah ada di tangannya. Dia
menerimanya dari Pak Anggoro pemilik villa tersebut. Kemudian kami naik
ke rumah dan Rendi membuka pintu. Ibu itu kemudian meninggalkan kami
kembali ke rumahnya sendiri, bangunan kecil di bagian belakang rumah
besar yang kami pakai ini, sebagai bagian dari rumah villa tersebut.
Ternyata fasilitas villa ini cukup lengkap. Ada lemari es yang berisi
buah-buahan dan minuman dingin. Ada kompor dan lemari dapur yang lengkap
dengan sachet kopi, teh, coklat dan sebagainya. Kami memasuki kamar
tidur utama. Ruangannya lumayan besar dengan kamar mandi sendiri.
Sementara menunggu Samin si penjaga, kami saling berpagutan. Bibir dan
lidah kami langsung meliar. Saling menyedot dan menghisap bertukar
ludah.
Rendi memelukku keras hingga pinggangku tertekuk ke belakang. Dan aku
sambut dengan pelukan yang keras pula. Kami berpagut seakan telah seabad
lamanya tidak berjumpa. Kami berdua nampak bagai orang-orang yang
sangat kehausan. Dan aku, tanganku yang sudah tak sabar, langsung saja
mencengkeram dan meremas selangkangan Rendi.
"Eit.., entar kita sedang keasyikan, dia nongol lagi", kata Rendi yang menunggu Samin.
"Kalau begitu biar aku menyiapkan minuman panas saja dulu", ujarku.
Dengan teko listrik yang ada di situ, aku buat kopi untuk Rendi dan teh
panas manis untukku. Aku suguhkan pada Rendi kopinya, seakan aku
membuatkan kopi pada Mas Adit suamiku.
"Sedaapp", kata Rendi sambil mengangkat kakinya ke ujung meja.
Pak Samin akhirnya muncul. Rendi berbasa-basi. Dia perkenalkan aku
sebagai istrinya. Rendi bilang kami sekedar mampir dari perjalanan ke
Bandung, tidak untuk menginap. Pak Samin lantas pamit undur diri.
Sehabis meminum kopi, kami langsung masuk ke kamar tidur. Dan kali ini
aku yang mencoba untuk bersikap lebih tenang dan sabar. Aku merasa perlu
menciptakan suasana nyaman dulu, biar tidak seperti ayam, begitu jantan
melihat betinanya langsung saja diperkosa. Dengan penuh kelembutan bak
istri yang setia, aku berlutut di lantai dan meraih sepatu Rendi. Aku
bukain sepatu dan kaos kakinya satu per satu. Ah.. sungguh suatu
surprise untuk Rendi. Dia bilang istrinya tidak pernah melakukan seperti
ini. Dan aku juga bilang bahwa aku tak pernah melakukannya untuk
suamiku. Ucapan-ucapan terakhir kami ini membuat gelegak nafsu birahi
kami berdua melonjak. Rendi langsung turun dari kursinya dan memagut
leher, bahu dan kemudian bibirku.
Dan muncullah suasana itu. Rasa kedekatan, kemesraan, ketulusan dan
keintiman yang mengantarkan dan mengawali kenikmatan selingkuh seorang
istri dengan teman suaminya. Edan memang. Dan kemudian dengan mesra pula
Rendi menurunkan tali gaun sifonku sehingga busanaku yang tipis
selembut sutra ini langsung merosot ke bawah dan menunjukkan dadaku yang
indah terbungkus BH Animale-ku. Kembali bibirnya langsung memagut
bahuku yang putih mulus dengan penuh nafsu birahinya. Aku menggeliat.
Dengan tetap lesehan di lantai villa itu, Rendi melucuti seluruh
busanaku kecuali BH dan celana dalamku. Demikian pula aku terus
melanjutkan melepaskan celana panjang dan kemejanya. Dan kutinggalkan
pula celana dalamnya.
Rupanya kami memiliki keinginan yang sama. Saling melihat lawan
selingkuhnya tetap menggunakan pakaian dalamnya. Tentunya ini merupakan
salah satu konsep seni dalam bercinta. Dengan meneruskan bermain di
lantai, Rendi merebahkan dirinya dan menarik tubuhku menindih tubuhnya.
Kami kembali berpagut. Tetapi tak terlalu lama.
Kini aku mulai melaksanakan impianku. Bibirku kulepas dari bibirnya.
Dengan terus mencium dan menjilati mulutku dan kemudian merambat ke
dagunya, yang terasa kasar di bibir dan lidahku dikarenakan bulu-bulu
dagunya yang habis dicukur, terus merambat, merambah lehernya. Tercium
aromanya yang semerbak. Kusedot lehernya hingga Rendi menggelinjang dan
mendesah.
Dengan tanganku masih memeluk kedua lengannya dan kemudian turun ke arah
ketiak dan dadanya, bibir dan lidahku terus meluncur ke bukit gempal
dadanya. Aku sangat menikmati saat lidahku menjilat yang kemudian
diseling dengan bibirku yang menyedot untuk menyerap rasa asin keringat
tubuh Rendi. Saat aku menjilat puting-putingnya, tangan Rendi mengelus
rambutku. Dengan cara itu bangkitlah rasa saling sayang antara aku
dengan Rendi. Sesekali tangan Rendi menyibakkan rambut panjangku agar
tidak mengganggu kenikmatanku dalam menggigit dan menyedot kedua
putingnya itu.
Dari dada, bibir dan lidahku menyisir ke samping kanan kemudian kiri.
Sasaranku kini adalah menjilati dan membuat kuyup ketiak Rendi yang
nampak ditumbuhi bulu-bulu yang membuatnya nampak sangat seksi. Dan saat
hidungku sempat tenggelam dalam lembah ketiaknya, aku rasakan betapa
nikmat sedapnya ketiak lelaki ini. Aku menggoyangkan pantatku.
Kemudian setelah memuaskan diriku dengan ketiak Rendi, bibir dan lidahku
merambah perutnya. Kujilat dan kusedot pusarnya. Kujilati seluruh
permukaan perutnya. Kegelian yang nikmat pasti telah menyerang Rendi.
Dia mendesah dan mengaduh, dan badannya menggeliat-geliat menahan
perasan geli.
Turun dari pusarnya aku menemui bulu-bulu yang semakin turun semakin
merimbun. Tidak ada semilipun yang terlewat dari bibir dan lidahku.
Kembali aku beringsut untuk memposisikan tubuhku agar tepat mengarah ke
selangkangannya.
Dan saat sampai di sana, aku benamkan seluruh wajahku. Aku ciumi celana
dalamnya yang telah menampakkan tonjolan kontolnya yang besar dan
panjang. Disini aku menggigit dan mengisapnya hingga ludahku membasahi
celana dalamnya.
Sungguh nikmat bau selangkangan Rendi. Dengan celana dalamnya yang belum
dibuka, aku mendekatkan mukaku ke tempat luar biasa itu. Tangan Rendi
terus mengelus kepala dan rambutku. Dan sesekali menyibakkan rambut
panjangku agar tidak menggangu kenikmatan birahiku dan tentu saja demi
kenikmatan dia sendiri juga.
Aku menjadi sangat ketagihan menciumi bau selangkangannya. Di lipatan
paha dengan perut sebelah kanan dan kiri itu aku mendapatkan sensasi
erotik sendiri. Saat bibir dan lidahku menyedot dan menjilati lebih
turun lagi lipatan itu hingga mendekati lantai villa, tanganku
mengisyaratkan agar Rendi mengangkat kedua pahanya ke atas dan terus
melipatnya hingga lututnya menyentuh dadanya. Dan kini yang nampak
adalah akhir paling bawah celana dalamnya yang langsung menutupi pada
arah analnya. Inilah sasaran impianku. Menciumi wilayah anal Rendi yang
masih terbungkus celana dalamnya. Dan bau yang khas pada daerah itu
samar-samar mulai tertangkap hidungku. Dengan setengah menungging dan
dengan kedua tanganku memeluk kedua pangkal bokong dan pahanya itu,
seluruh wajahku terus menyungkup dan menciumi akhir celana dalam Rendi
itu.
"Mbak.. Mbak Marinii.. pinter banget sihh..".
Rendi mendapatkan kenikmatan yang luar biasa dariku, istri Mas Adit,
teman sekantor sekaligus atasannya. Dan kembali dengan isyarat tanganku
yang mendorong agar dia berbalik tengkurap, Rendi menurunkan lipatan
kakinya dan bergerak tengkurap. Tetapi saat dalam posisi setengah
menungging, dia kutahan. Bahkan kuangkat sedikit agar dia benar-benar
menungging. Rupanya Rendi tahu apa yang sangat kutunggu selama ini.
Dengan kepalanya yang berbantalkan lantai, dia kini benar-benar
menungging dengan menghadapkan pantatnya yang putih itu tepat di depan
mukaku. Dan itulah yang kumau.
Aku mendekatkan wajahku ke pantat itu. Sungguh menjadi sensasi erotik
yang baru pertama kudapatkan seumur hidupku. Kini aku siap menciumi
pantat Rendi. Dengan cepat bau anal Rendi menyergap hidungku. Kususurkan
kembali wajah, hidung, bibir dan lidahku ke belahan pantat Rendi.
Kubuat kuyup celana dalamnya dengan lidah dan ludahku. Kuhisap-hisap
basah tersebut dengan khayalan akan keringat dan serpihan dari duburnya
yang bisa kuraih, kukenyam-kenyam dan kutelan untuk membagi kenikmatan
pada tenggorokanku.
Kemudian dengan gigi, kucoba untuk menurunkan celana dalam Rendi dari
tempatnya. Kukuak sedikit demi sedikit. Dan pada setiap kuakan
kujulurkan lidahku untuk menjilati bukit pantat telanjangnya. Setiap
kali kuulangi hingga rona merah dengan kerutan-kerutan halus yang
mengarah ke titik pusat duburnya muncul terjangkau mata dan hidungku.
Baunya yang khas semakin menyengat. Bulu-bulu cukup rimbun tampak
mengitari lubang duburnya. Aku tidak tahan untuk menunda lidahku, aku
mulai melumati dubur Rendi.
Aku merasakan ada semacam cairan. Itulah cairan analnya. Bukan basah
tetapi juga tidak kering. Cairan itu agak terasa lengket-lengket, Dan
saat kujilat aku merasakan sepatnya. Aku menjadi sangat bernafsu. Dengan
liar hidung, bibir dan lidahku melahap kawasan pantat dan dubur Rendi.
Tanganku langsung menurunkan celana dalamnya hingga seluruh onggokan
pantat Rendi menjadi utuh telanjang sudah. Mukaku langsung kubenamkan
dalam-dalam ke celahan pantatnya itu. Hidung dan bibirku menjadi sibuk
menciuminya. Dan lidahku pun tak pernah berhenti menjilatinya.
Untuk pertama kalinya menjilati dubur, dan itu adalah dubur Rendi teman
suamiku sendiri, sungguh merupakan sensasi erotis bagiku. Dalam
menghadapi Rendi ini aku mendapatkan pengalaman erotis yang
sungguh-sungguh membuat segala perasaan ragu-ragu dan rasa jijikku saat
mengulum kontol, meminum sperma, menjilat pantat dan dubur lelaki
seperti Rendi ini hilang sudah. Aku sendiri heran juga. Koq bisa.
Sedangkan pada suamiku sendiri, membayangkannya saja bisa dipastikan aku
akan muntah-muntah.
Tetapi memang pantat dan dubur Rendi luar biasa. Dengan kulitnya yang
putih bersih, pantat dan dubur Rendi menjadi perangsang libidoku yang
hebat. Aku jadi seperti terkena narkoba. Aku mabuk kepayang. Mabuk dalam
nikmatnya nafsu birahi yang disebabkan tindakanku menjilati dubur
lelaki pasangan selingkuhku. Dan pada akhirnya Rendilah yang tidak
tahan. Rangsangan yang hebat dia rasakan dari setiap jilatan lidahku
pada duburnya itu. Lidahku yang terus menusuk pantatnya seakan ingin
menembusinya membuat Rendi berkelojotan sperti disentuh besi panas.
Dengan setengah histeris dia minta aku menghentikannya. Dan Rendi
buru-buru bangkit dari lantai sambil meraih dan mengangkat tubuhku
menuju ranjang.
Mulai dengan tubuhnya yang menindih tubuhku, kami langsung bergumul.
Saling sedot, saling jilat, saling gigit, saling isap. Dan kini dia
berganti posisi menjadi dominator. BH-ku dilepaskannya dengan mulutnya
yang menggigit tali-talinya dan menariknya hingga dadaku terbuka.
Payudaraku yang tampak langsung dia mainkan. Aktifitas bibir dan
lidahnya membuatku menjadi cacing yang kepanasan. Aku bergerak
menggelinjang dan menggeliat-geliat menahan hebatnya rangsangan seksual
saat puting susuku dikulumnya.
"Ampun Rendii, ampun Rendi, Renddiikuu sayangg.. ampunn..", aku terus meracau menahan nikmatnya.
Kemudian jilatan dan sedotannya turun ke perutku. Pusarku di lumatnya.
Terus meluncur lagi ke bawah pusar. Terus turun lagi. Celana dalamku dia
gigit dengan gemas. Dia tarik-tarik ke bawah dan diturunkannya hingga
ke lututku.
Dia benamkan wajahnya ke selangkanganku. Diciuminya bulu-bulu tipisku.
Karena pahaku belum terbuka sepenuhnya, dia kembali ke celana dalamku.
Di tariknya hingga lepas satu kaki dan ditinggalkannya pada kakiku
satunya. Sekarang dia bisa mengangkangkan pahaku untuk mendapatkan
selangkanganku yang terbuka.
Kembali dia benamkan wajahnya ke selangkanganku yang sangat wangi oleh
campuran keringat dan parfumku. Rendi benar-benar menjadi liar. Dia
mainkan terus celah-celah dan lipatan selangkanganku yang pasti baunya
sangat merangsangnya. Dan aku benar-benar telah melayang ke langit ke
tujuh. Aku menggoyang-goyangkan kepalaku ke kanan dan ke kiri menahan
kenikmatan itu. Aku juga terus menerus meracau dan mendesah-desah.
Kujambak rambut Rendi keras-keras. Pasti pedih akibatnya pada kulit
kepalanya. Tetapi rupanya itu juga menjadi kenikmatan tersendiri pula
baginya.
Kemudian, rasanya Rendi sudah tak mampu lagi menahan kontolnya yang
ingin segera menembus nonokku. Rendi lepaskan wajahnya dari
selangkanganku dan merangsek naik menindih tubuhku. Dengan memagut
bibirku kuat-kuat, tangannya memegang kontolnya yang aduhai itu,
mengarahkannya ke nonokku yang dengan cepat pula kuraih. Kontol itu
kutepatkan posisinya pada lubang vaginaku dan, bless.., Oohh.. legit
sekali. Kontol besar panjang nikmat bertemu dengan vagina yang basah
tetapi sempit. Aku terlempar kembali ke sejuta langit kenikmatan.
Kupeluk tubuh Rendi dengan penuh hangatnya birahi dan nafsuku. Pantatku
kugoyangkan untuk menenggelamkan sepenuhnya kontol Rendi ke dalam
vaginaku.
Dinding-dinding vaginaku langsung terasa menguncup meremasi batangan
kontol besar itu. Saraf-daraf pekaku bergerak menjepit dan melumat ketat
batangan itu seakan tidak akan dilepaskannya lagi. Dan saat Rendi
menariknya ke atas untuk kembali ditusukkannya, tak bisa kuhindarkan
lagi teriakan nikmatku. Aku mendengus-dengus seperti sapi betina.
Kuangkat kakiku untuk menjepit pinggul Rendi dan pantatku naik turun
dengan cepat menjemput dan menarik kontol Rendi dalam vaginaku. Seluruh
tubuhku bergetar dengan hebat.
Rendi langsung memompa dengan cepat dan keras. Batang kontolnya terasa
seperti batu panas yang terus naik turun dan keluar masuk dengan hebat
di vaginaku. Ciuman dan lumatan gilanya bersambut dengan lumatan gilaku
juga. Kami berdua tenggelam dalam gelombang kenikmatan yang
bertalu-talu. Akhirnya Rendi yang tak mampu bertahan lagi, memuntahkan
spermanya langsung ke dalam vaginaku. Aku sepenuhnya tidak keberatan.
Bahkan sangat merindukan untuk merasakan hangatnya semburan sperma Rendi
dalam vaginaku ini. Aku menyambutnya dengan terus menggoyang-goyang
pantatku dan vaginaku memerasnya hingga seluruh sperma Rendi habis.
Dan tepat pada saat tetes terakhir sperma Rendi, aku kembali merasakan
desakan nikmat seperti akan kencing seperti halnya yang kurasakan
kemarin di rumah. Aku akan meraih kembali orgasmeku yang sejak 15 jam
terakhir sungguh-sungguh kunantikan. Dan saat orgasme datang, aku sudah
tak sadar lagi, betapa emosiku yang langsung meledak oleh nafsu birahiku
dengan tak sadar telah menancapkan dan menggoreskan kukuku ke punggung
Rendi. Persetan. Rendi berteriak kesakitan atas goresan di punggungnya
itu. Tetapi dia teruskan saja kocokkan kontolnya dalam upaya membantuku
meraih kepuasan orgasmeku.
Begitu usai kami berdua langsung jatuh tergolek di kasur. Tangan-tangan
kami terentang untuk menghela nafas-nafas kami agar mudah menarik
oksigen villa Bogor yang sejuk ini. Aku dan Rendi terlelap beberapa
waktu. Saat aku terbangun jam sudah menunjukkan pukul 5.10 sore.
Kubangunkan Rendi. Rasanya masih enak untuk terus tidur. Tetapi kami
takut kemalaman sampai Jakarta. Hari ini kami harus cukup puas dengan
hanya sekali mendayung kenikmatan dalam lautan perselingkuhan yang
nikmat ini.
Dan aku langsung sepakat saat Rendi mengajakku untuk terus mengisi
hari-hari sebelum Mas Adit pulang untuk bersama mengarungi samudra
nikmatnya perselingkuhan ini. Besok dia akan kembali menunggu di suatu
tempat yang belum ditentukannya. Dia berjanji akan meneleponku besok
pagi.
Pukul 8 malam, dengan taksi Blue Bird aku sudah sampai di rumah kembali.
Aku turun dari taksi tanpa lupa kembali memakai blus lengan panjangku
untuk menyembunyikan gaun sensualku yang menampakkan bahu mulusku. Malam
itu aku tidur sangat nyenyak dengan mimpi-mimpi indahku. Setelah aku
meminum segelas besar juice tomat ditambah semangkuk sedang yoghurt
campur madu aku, langsung tertidur dan di jemput mimpiku.
Aku sepertinya sedang terbang di atas awan yang tinggi. Di bawah sana
kulihat Mas Adit berada di bukit yang luas dengan rumput yang sangat
hijau. Kulihat dia membawa kertas-kertas catatan dan blue print proyek.
Dengan topi helm proyeknya dia menengadah ke atas, melihatku dan
melambaikan tangannya. Aku datang dan kami langsung berpelukan. Lama
bibirnya melumat bibirku. Kemudian rasanya aku menerima roll meter
darinya. Aku berlari ke ujung bukit menarik roll meter itu mengukur
panjangnya halaman. Kemudian aku berlari kembali ke pelukannya.
Sesaat Mas Adit melepaskan pelukannya untuk beranjak menuju semak
rerumputan yang penuh bunga liar. Dia petik setangkai dan diciumnya.
Kemudian dia serahkan bunga itu kepadaku. Aku ikut menciumnya. Dia buka
blue print di tangannya. Itu adalah gambar rumah kami. Rumah mungil di
atas bukit. Ada burung-burung yang terbang bebas. Ada luncuran anak yang
berwarna biru. Ada tanaman cabai yang menjadi kesukaan kami berdua. Aku
terbangun karena suara teleponku yang berdering. Kulihat jam menujukkan
pukul 9.05 pagi. Aku telah tertidur lebih dari 10 jam. Aku turun dengan
dengan cepat dari ranjang menghampiri pesawat telepon dan kuraih. Di
ujung sana kudengar suara Mas Adit.
"Kemarin aku telepon berkali-kali seharian. Kamu ke mana?", agak geragapan juga aku menjawabnya.
"Ini Mas, aku ke Senen, nyarikan kado buat anaknya Pak Targo tetangga
kita yang berulang tahun. Terus aku antarkan dan yaa, jadinya ngobrol
sama ibunya sampai jam 8 malam", demikian lancarnya untuk aku yang tidak
pernah membohongi suamiku selama ini.
Mas Adit tidak lagi mempersoalkan hilangnya aku kemarin. Dia berkata
bahwa kemungkinan ia akan pulang pada hari Senin. Dan dia ulangi lagi
bahwa kain tenun yang kuimpikan juga sudah diperolehnya.
"Kini aku sudah tidak mengimpikan lagi kain tenun itu. Kini aku lebih
senang mengimpikan kontol Rendi yang besar, panjang dan kepalanya yang
mengkilap itu, Mass", ujarku (dalam hati, tentunya).
Saat aku mandi, kembali telepon berdering. Aku pastikan bahwa ini dari Rendi, dan ternyata memang benar.
"Kamu mau makan apa siang ini, Mbak?".
"Terserah Rendi saja".
"Mau Ribnya Tony Romas atau gado-gado pasar Blopo".
"Gado-gado? Boleh juga".
"Gado-gado saja Ren, lagian tidak terlalu jauh dari rumahku".
Hari ini aku memilih mengenakan celana jeans ketatku, dengan blus kaos
oblongku yang pendek modelnya, yang memang didesain untuk memperlihatkan
pusar pemakainya. Aku memang ingin menunjukkan pusarku pada Rendi agar
nafsu birahinya terbakar lebih hebat lagi.
Sesuai dengan janji, tepat pukul 12 aku sudah duduk di bangku warung
gado-gado Boplo yang sangat terkenal di seantero Jakarta itu. Harganya
selangit. Untuk seporsi gado-gadonya Rendi mesti membayar Rp. 25 ribu.
Bandingkan dengan tukang gado-gado di rumah, hanya Rp. 2,500 saja.
Sepuluh kalinya. Tiba-tiba saat menunggu pesanan, masuklah sebuah Lancer
sedan dan parkir tepat di samping mobil Rendi. Nampak Rendi terkejut.
Dia berkata bahwa itu adalah mobil teman kantornya.
Kemudian kulihat ada 2 orang turun dari mobil itu. Wow, cukup keren juga
mereka. Tampak Rendi menjadi gugup tetapi tidak bisa mengelak.
Teman-temannya itu langsung pula menatap dan mendatangi kami.
"Hai, ketemu di sini, nih.. asyik juga yaa..".
Dan mau tidak mau Rendi terpaksa memperkenalkan mereka padaku. Yang
bernama Burhan, cukup jangkung dengan kulitnya yang agak gelap. Yang
satunya bernama Wijaya, nampaknya keturunan chinese, tubuhnya berotot
seperti binaragawan. Mereka tersenyum ramah padaku. Saat Rendi
menyebutkan bahwa aku adalah Bu Adit mereka tidak terlalu terkeju. Hanya
nampak mata-mata mereka yang nakal seakan ingin melahap tubuhku.
"Kami pernah melihat Ibu di tempat Pak Anggoro, boss kami, saat ada
pesta tunangan putranya", begitu mereka menjelaskan mengenai kenalnya
mereka padaku.
Aku mencoba mengingat-ingatnya. Kemudian mereka mencari tempat duduk
yang agak berjauhan dari tempat duduk kami. Aku setuju saja saat Rendi
mengusulkan untuk kembali ke villa di Bogor itu. Dan kami segera
bergegas agar punya waktu lebih panjang untuk berasyik masyuk di sana.
Saat kami beranjak meninggalkan warung itu, kami melambaikan tangan
untuk teman-teman Rendi yang juga teman suamiku itu. Mereka membalasnya,
dan kulihat mata Burhan yang nakal mengernyitkan alisnya padaku dan
melepas senyumannya. Ah, dia nampak jantan juga. Dengan kulitnya yang
agak gelap, seperti apa ya kontolnya, pikiran gatalku lewat begitu saja.
Sepanjang jalan Rendi lebih banyak diam. Mungkin dia agak panik hingga
hilang "mood"nya. Tapi aku berusaha menenangkannya. Biasanya antar
lelaki tak akan membocorkan rahasia temannya. Kutepuk pundaknya supaya
tenang. Sepertinya dia ingin menunda kencan selingkuh ini, tetapi
tampaknya dia malu kalau akan dianggap sebagai pengecut olehku. Lagian
mana aku mau..!! Persetan dengan teman-teman Rendi yang juga teman
suamiku itu..
Jam 2 tepat kami sudah memasuki halaman villa. Pak Samin membukakan
pintu halaman. Rendi memakirkan mobilnya di tempat parkir kemarin. Kami
turun dari mobil dan aku menaiki tangga villa, sementara Rendi menemui
Pak Samin sebentar. Begitu memasuki kamar kembali, sebagaimana kami
memasuki kamar yang sama kemarin, kami langsung berpagutan. Kali ini
kami saling menikmati pagutan-pagutan kami cukup lama. Nampaknya Rendi
sudah tak lagi terpengaruh dengan teman-temannya tadi.
Aku buka saja ikat pinggangnya, kancing celananya, resluitingnya. Aku
lepaskan celananya dan kulemparkan ke bangku yang ada di kamar itu.
Begitu pula kemejanya hingga yang tertinggal hanya celana dalamnya. Hal
yang amat kusukai adalah melihat Rendi setengah telanjang seperti itu.
Sebelum aku sendiri melucuti kaos oblongku, Rendi menciumi pusarku yang
sejak tadi telah begitu menarik libidonya. Aku menikmati sepenuh
sanubariku. Kuelus-elus kepala Rendi yang bibrrnya sedang melumat
pusarku dengan lembut itu. Kemudian hanya dengan membuka blus dan BH-ku
sehingga nampak payudaraku yang lepas dan belum menanggalkan celana
jeansku, kudorong Rendi ke ranjang. Aku terobsesi mengulangi seperti
kemarin, menciumi lehernya, menjilati dan menggigit dadanya dan lembah
harum ketiaknya.
Rendi hanya pasrah dan membiarkanku menikmati apa yang ingin kunikmati
dari tubuhnya. Dia hanya mendesah dan setiap kali mengelus kepalaku
sambil menyibakkan rambutku agar tidak mengganggu kesenanganku.
Tiba-tiba terdengar pintu halaman villa berderit. Ada yang datang. Rendi
buru-buru bangkit. Kali ini kulihat dia sangat terkejut. Aku menyusul
bangkit untuk melihat siapa yang datang. Ternyata itu mobil Lancer
sedan. Rupanya Burhan dan Wijaya sengaja membuntuti kami. Rendi memukul
tangannya sendiri menahan kekesalannya. Aku sendiri berusaha untuk
tenang. Kulihat Burhan dan Wijaya turun dari mobil dan menaiki tangga
villa. Mereka langsung duduk di berandanya. Rendi yang sangat kesal
buru-buru berpakaian, tidak terlampau rapi dan dengan terpaksa dia
keluar. Dia menemui kedua temannya tersebut.
"Huh, kamu mbuntuti aku ya..", nada bicaranya nampak sangat tidak bersahabat.
"Ah, nggak kok, kami memang sering main ke villa Pak Anggoro ini. Ya
Wid, omong-omong bagi-bagi dong", Burhan menyahut sewotnya Rendi dan
dengan enteng menyampaikan keinginannya untuk ikut mendapatkan bagian
nikmat.
Aku tahu pasti yang dimaksud adalah minta kesempatan agar mereka juga
kebagian ikut menikmati tubuhku sementara suaminya yang teman mereka
sendiri sedang bertugas keluar kota. Hatiku sendiri berdesir mendengar
omongan mereka ini. Aku mencoba mengintip dari celah pintu. Nampak Rendi
sedang menempelkan jari telunjuknya di bibirnya, maksudnya agar tidak
terlampau keras bicara karena takut aku akan mendengarnya.
"Memangnya kenapa..? Mungkin dia suka juga lho kita main bertiga..", kurang ajar orang-orang ini.
Kuperhatikan mereka semuanya. Rupanya mereka semua ini adalah
serigala-serigala yang lapar. Lama mereka saling berbisik tanpa nampak
ada jalan keluar. Tiba-tiba ada yang menjalar dalam darahku. Sesuatu
yang sangat menggairahkan. Sesuatu yang mungkin akan memberikan sensasi
bagiku. Exciting dan sensasional yang akan membakar seluruh atom dalam
tubuhku. Aku membayangkan seandainya saja mereka bertiga ini telanjang
bulat, dengan kontol-kontol mereka yang ngaceng berat mengerumuniku yang
terjongkok di lantai, sambil tangan-tangan mereka mengocok kontolnya
masing-masing dan bersiap sewaktu-waktu sperma mereka muncrat menghujani
muka, rambut dan mulutku. Aku akan menganga selebar-lebarnya agar
sperma-sperma mereka tidak terbuang sia-sia. Aku jadi "horny" sekali.
Kutengok lagi mereka dari celah pintu. Mereka belum juga kunjung
mendapatkan solusi. Sementara libidoku mendesak nafsu birahiku yang
datang akibat bayanganku tentang mereka yang telanjang dan menyemprotku
dengan spermanya yang muncrat-muncrat. Aku tak lagi mampu sabar
menunggu. Aku kuakkan saja pintu kamar itu. Dan mereka semua, Rendi,
Burhan dan Wijaya serentak menengok ke pintu.
Aku, dengan dada yang telah terbuka langsung membuat mereka tertegun.
Entah kaget, entah heran entah bernafsu. Dan aku, sambil melepas
senyuman, kunikmati adegan saat para serigala lapar itu memelototkan
matanya kepadaku. Aku sama sekali tidak perlu berbicara. Aku diam saja
dengan senyumku sementara tanganku bergerak, jariku memilin-milin
sendiri putingku, aku sengaja mendesah keras agar mereka mendengar
desahanku dan terangsang.
"Mmass.. oohh..", aku merasa sangat kehausan.
Dan sangat menginginkan mereka bertiga segera melahapku. Aku merelakan
diri dan tubuhku untuk mereka kunyah-kunyah. Aku ingin sekali gigi
mereka segera menancap pada pahaku yang lembut, pada bokongku yang
menurut orang sangat sintal, pada buah dadaku yang ranum, pada puting
susuku. Aku heran juga, darimana munculnya sebuah keberanian dan
kenekadan yang -bukan main- telah kulakukan di depan teman-teman suamiku
ini. Aku heran juga akan hadirnya dengan tiba-tiba nafsu
"exhibitionist" ini. Kupertontonkan pada mereka bertiga dadaku yang
terbuka dengan payudaraku berikut puting-puting-nya yang sangat ranum
ini. Kudengar suara Rendi yang tersendat.
"Maarr..".
Tetapi juga suara-suara yang lain. Bukan pembicaraan. Itu adalah suara
dengusan Burhan atau Wijaya. Yang kemudian kulihat adalah Burhan
mendahului langkah Rendi mendekatiku. Dia meraihku dan menutup pintu
kamar tidur. Dia pagut bibirku. Dia pagut leher, pundak maupun
payudaraku dengan liar. Dia kesetanan tanpa kontrol. Dia dorong aku ke
ranjang. Aku di gumulinya. Dia remasinya bokongku, dia lumat-lumat
payudaraku berikut putingnya.
Kudengar pintu kamar digedor-gedor dan akhirnya terbuka. Wijaya masuk
kamar. Dia juga langsung merangsekku. Mungkin dia juga merasa bahwa
haknya sama dengan Burhan untuk juga menggelutiku saat ini. Aku sangat
menikmati keroyokan mereka. Untuk menyatakan "welcome"-ku, aku mendesis
dan mendesah sambil tanganku menggapai ikat pinggang Burhan dan
melepasnya. Kubuka celananya, kurogoh kontolnya. Demikian pula kulakukan
yang sama pada Wijaya. Mereka kini sudah setengah telanjang. Dan
selebihnya mereka sendiri yang melucuti dirinya hingga telanjang bulat.
Burhan dengan penuh ketidaksabaran melucuti celana jeansku. Dan Wijaya
turut membantu melepasnya dari kaki-kakiku. Dengan sekali renggut celana
dalamku juga langsung dilepas oleh Burhan. Ditariknya kakiku sehingga
tubuhku berposisi diagonal dengan pantatku berada di tepian ranjang.
Burhan berdiri di arah kakiku. Dia kuakkan selangkanganku dan dengan
jelasnya menyaksikan nonokku yang mestinya sangat menantang kontolnya.
Kemudian tangan kanannya meraih kaki kiriku, diangkatnya ke arah
pundaknya. Dan selanjutnya dengan ketangkasan yang dimilikinya dan
dengan serta merta dia meraih kontolnya yang telah ngaceng berat untuk
di masukkan ke liang kemaluanku.
Kusaksikan sebentar kontolnya yang hitam. Wow, ukurannya sama persis dengan besar dan panjangnya kontol Rendi.
Aku bergetar. Aku merindukan kontol seperti itu sejak meninggalkan
warung gado-gado tadi. Sayangnya kontol Rendi tak jadi menyerangku
karena adanya gangguan dari Burhan dan Wijaya ini. Tapi bagiku akhirnya
tak ada bedanya. Kontol Rendi atau kontol Burhan sama saja. Aku akan
memberikan kepuasan seksual untuk pemilik kontol-kontol indah ini.
Kontol Burhan baru saja menempel ke liang vaginaku ketika Wijaya yang
juga telah telanjang bulat naik ke ranjang dan mengangkangiku. Dia
berjongkok persis di atas dadaku. Dan kontolnya yang juga ternyata
sebesar para koleganya, si Rendi dan Burhan, sudah mengacung keras dan
kuat, berkilatan batang dan kepalanya tepat di depan wajahku. Sungguh
sangat menggairahkan dan sensasional. Telanjang bulat dikeroyok
teman-teman suamiku yang sama-sama berkontol besar, yang satu berusaha
menembus nonokku, yang lain minta dijilati dan diisap.
Aku tidak tahu di mana Rendi. Mungkin dia mengambek. Aku membayangkan
dia sedang bengong duduk di beranda. Aku sungguh merasa sangat
beruntung. Aneh juga, hal yang beberapa saat sebelumnya hanya dapat
kubayangkan, sekarang telah benar-benar kualami. Burhan menggenjot
nonokku. Kontolnya yang hitam besar dan sangat legit kurasakan saat
menembus vaginaku yang telah membasah sejak bersama Rendi tadi.
Sementara itu, Wijaya yang ngentot mulutku meracau.
"Ayoo, Bu Adit.. isepp Buu.. ayyoo isep Bu Aditt.. besar mana sama
kontol Pak Aditt heehh..", racauannya persis seperti orang kemasukkan
setan pohon randu di belakang kampung di desa kelahiranku.
Kontol Wijaya ini sangat lezat. Kujilati akarnya yang menggunung tepat
di bawah pangkal batang dan biji pelirnya. Dan dengan setengah
merangkak, Wijaya menusukkan kontol putih besarnya merangsek mulutku.
Dan pelan-pelan memompanya. Entah dimana aku saat ini. Yang dapat
kurasakan hanyalah kenikmatan yang melayang-layang akibat tusukan kontol
Burhan di vaginaku dan rangsekan kontol Wijaya di mulutku. Dan saat
lamat-lamat kudengar rintihan tak tertahankan dari mulut Burhan. Itu
pertanda bahwa tak lama lagi spermanya pasti muncrat. Dengan serta merta
kutarik tangan Burhan dan kuajak naik ke ranjang dan sementara
kulepaskan kuluman mulutku pada kontol Wijaya. Aku ingin agar Burhan
menumpahkan spermanya ke mulutku. Aku ingin meminum spermanya. Burhan
dan Wijaya secara berbarengan tahu apa yang kuinginkan dan mereka
melayaniku dengan baik. Wijaya turun menggantikan peran Burhan mengentot
memekku dan Burhan naik untuk mengocok kontolnya sendiri dan
memuncratkan spermanya ke mulutku.
Aku menjilat bibirku yang belepotan sperma Burhan yang kental yang yang
muncratnya tidak tepat ke mulutku. Ternyata rasa sperma itu
berbeda-beda. Walaupun sama sekali tidak mengurangi kenikmatannya, aku
merasakan sperma Burhan ini sangat pahit. Belakangan baru aku tahu dari
dokter Boyke, seorang pakar seks, bahwa berbagai rasa mungkin akan
berbeda dari sperma lelaki. Hal itu sangat dipengaruhi oleh makanan apa
yang telah dikonsumsinya dalam 24 jam terakhir. Ia juga menyatakan bahwa
sperma itu mengandung protein dan berbagai unsur vitamin lainnya.
Informasi itu membuatku semakin senang dan selalu kehausan muntuk
meminum sperma.
Burhan yang telah menumpahkan spermanya langsung telentang di kasur.
Sementara Wijaya semakin cepat memompa memekku. Dan juga mulai kurasakan
dan kulihat bagaimana wajah Wijaya yang menyeringai keenakan, pasti tak
akan lama lagi Wijaya juga akan menyemprotkan air maninya. Kembali
buru-buru kutarik Wijaya ke atas ranjang. Dan tanpa perlu kuminta lagi
dia langsung berjongkok dan menyodorkan kontolnya ke mulutku dan
langsung memompa kecil sementara mulutku mengulumnya.
Wijaya berteriak keras saat spermanya keluar. Kontolnya ditekankan ke
mulutku dalam-dalam hingga menyentuh tenggorokanku. Hampir saja aku
tersedak. Cairannya juga sangat kental dan hangat. Nikmat sekali
mengenyam cairan sperma milik Wijaya ini. Kali ini aku merasakan rasa
asin dan gurih. Sementara itu ternyata Burhan sudah kembali memasukkan
kontolnya kembali ke memekku. Rupanya melihatku mengulum kontol Wijaya
tadi, Burhan dengan cepat kembali horny dan ngaceng. Dia pompakan
kembali kontolnya ke memekku. Burhan memompanya semakin cepat. Di lain
pihak Wijaya masih belum bersedia mengangkat kontolnya dari mulutku.
Tampaknya dia masih sangat horny juga.
"Mbak, aku pengin terus-terusan, nih, lihat Mbak Adit yang ayu", ujarnya.
Aku tidak dapat menjawab dengan kontolnya yang masih menyumbat ke
mulutku. Aku hanya berkedip-kedip. Kemudian dia melepaskan kontolnya
dari mulutku. Beringsut dari atas dadaku menuju ke kanan tubuhku dan
menunduk. Bibirnya melumat bibirku dan tangannya meremas payudaraku
beserta putingnya. Ahh., nikmat sekali dikeroyok dua lelaki yang
hebat-hebat permainan seksnya.
Dan akhirnya Burhan berhasil mengisi lubang vaginaku dengan spermanya.
Kehangatan cairannya di liang vaginaku itu sungguh membuatku sedemikian
horny. Aku ingin mendapatkan orgasmeku dari mereka ini. Wijaya masih
terus melumat bibirku dan kini bergerak untuk melumat dada dan
payudaraku. Tanganku mencoba menggapai kontolnya. Sungguh hari yang luar
biasa bagiku. Kontol Wijaya masih sangat tegar. Rupanya satu kali
memuntahkan air maninya tidaklah cukup. Dia harus memuntahkannya lagi
untuk yang kedua kali.
Aku merasa ini merupakan jalan untuk mencapai orgasmeku.
"Wid, tolong Mbak Adit kamu entot di nonok, ya sayangg..", bisikku.
Tentu saja itu bukan hanya sekedar permintaan bagi Wijaya. Tetapi itu
lebih merupakan perintah mutlak yang dengan senang hati dia akan
laksanakan. Dan tanpa perlu perintah susulan, Wijaya langsung turun dari
ranjang menjemput nonokku. Kontolnya yang sudah ngaceng seperti tugu
Monas langsung dihunjamkannya ke lubang memekku.
Wijaya langsung bergerak memompakan kontolnya di lubang vaginaku.
Kenikmatan yang kuterima bukan main dahsyatnya. Kepalaku tak bisa diam,
meggeleng ke kanan dan ke kiri menahan nikmat itu. Aku merintih dan
mendesah. Kucari-cari tangan Burhan dan kutarik untuk agar rebah di
sampingku.
"Burhaann, cium akuu.. Burhaann.. cium akuu..".
Dan langsung kurasakan lumatan bibir Burhan meruyak mulutku. Ludahnya
kusedot. Kepalanya langsung kupeluk erat-erat agar aku dapat menciumnya
lebih intens untuk menahan kenikmatan kontol Wijaya yang sangat gencar
keluar dan masuk merobek-robek vaginaku. Dan saat rasa ingin kencing
mendesak dari dalam vaginaku, segera kulepaskan mulutku dari mulut
Burhan. Kupeluk tubuhnya hingga bibirku bisa kudaratkan pada bahunya.
Dan tanpa ampun lagi gigiku menghunjam tajam masuk ke daging bahu
Burhan.
Di tengah teriakan kesakitan dari mulut Burhan, memekku akhirnya
mendapatkan kepuasannya. Aku meraih orgasmeku. Dan pada saat bersamaan
pula, Wijaya juga mencengkeram kedua pahaku, pertanda dia telah
mendapatkan orgasmenya pula.
Aku terkapar, Wijaya terkapar, begitu juga Burhan terkapar. Kami bertiga
mendapatkan kepuasan tak terhingga. Sepi, kecuali tarikan nafas berat
dan panjang dari kami bertiga. Kulihat jam tanganku, sudah pukul 6 sore,
benar-benar lupa daratan.
Aku minta untuk cepat pulang. Mandi 5 menit, bersisir ala kadarnya,
berdandan ala kadarnya. Kemudian aku keluar menemui Rendi. Sepi. Kulihat
mobilnya sudah tidak ada. Ternyata dia benar-benar ngambek. Kedua
temannya mentertawakan ulah Rendi tersebut. Mereka akan bertanggung
jawab untukku hingga sampai di rumahku dengan selamat. Kami keluar dari
villa pukul 6.15 menit. Mampir dulu di restoran Sunda kesukaanku, kami
makan banyak sayuran dan sambal. Aku makan cukup banyak setelah kerja
keras melayani Burhan dan Wijaya.
Pukul 8.30 aku sudah sampai di rumahku. Aku tidak berkeberatan mereka
berdua mengantarku hingga sampai rumah. Tetangga tidak akan berfikir
negatif kalau melihatku pulang beramai-ramai dengan 2 atau 3 orang
teman. Aku sangat kelelahan hari itu. Pertama dan yang terutama aku
lelah karena pikiranku pada Rendi. Sikap Rendi yang kuanggap bukan sikap
lelaki. Hal itu sangat menyedot energiku. Yang kedua adalah karena
untuk meraih 4 kali orgasme sebagaimana yang kudapatkan selama 2 hari
berturut-turut ini ternyata memerlukan tenaga fisik dengan melayani 3
orang teman Mas Adit yang sangat menguras tenagaku.
Tetapi bagaimanapun aku merasakan kebahagiaan yang tak terhingga, bahwa
ternyata aku masih bisa meraih orgasme, walaupun tidak dari suamiku
sendiri. Aku sempatkan untuk mandi air panas sebelum tidur. Aku juga
menyiapkan juice tomat dan yoghurt campur madu kesukaanku. Aku akan
tidur istrirahat total malam ini. Aku sudah naik ke ranjang saat telepon
berdering. Jam menunjukkan pukul 10.12 menit. Siapa yang meneleponku
selarut ini? Mas Aditkah? Rendi? Atau siapa?
"Selamat Malam Bu Adit, saya Basri", kucoba mengingat siapa Basri.
"Saya yang suka nganter pulang Pak Adit Bu, saya Satpam kantor Pak Adit.
Nanti kalau Pak Adit sudah pulang dari Banjarmasin, saya juga yang
disuruh menjemput beliau di airport", begitu dia teruskan bicaranya
hingga langsung mengingatkanku pada seorang Satpam muda di kantor Mas
Adit.
"Maaf mengganggu Ibu malam-malam begini. Saya telepon Ibu tadi agak
sore, tapi rupanya Ibu belum pulang dari Bogor", lho koq tahu-tahunya
aku ke Bogor..?!
Pikiranku cepat berputar. Si Basri tahu kalau aku ke Bogor, tentunya
pasti ada yang memberi tahu. Dan pasti "tahu"-nya itu tidak sekedar tahu
begitu saja. Apakah Rendi..? Ah.. pasti dia. Rendi telah berbuat culas.
"Ya, kenapa Mas Basri..", tanyaku balik seakan tidak ada masalah apa-apa denganku.
"Begini Bu Adit, ntar hari Senin khan saya akan menjemput Pak Adit.
Kalau beliau tanya tentang Ibu, bagaimana saya mesti menjawabnya..?
Bahwa Bu Adit pergi ke Bogor, ke villa Pak Anggoro bersama Pak Burhan
dan Pak Wijaya..?".
Kurang ajar juga Satpam kampungan ini. Kurang ajar sekali si Rendi ini.
Aku terhenyak dengan ucapan Basri di telepon tadi. Aku masih terdiam
ketika.
"Bagaimana kalau kita bicarakan saja malam ini, Bu? Saya tunggu Ibu di
depan kompleks perumahan Ibu. Saya tunggu di Kijang saya. Saya tunggu
benar lho Bu Adit, atau..".
Klik, telepon dimatikan. Aku belum sempat menjawab tetapi Basri telah
memutuskan teleponnya. Dan menurutnya dalam telepon tadi, dia sekarang
sedang menunggu di depan kompleks perumahanku ini dengan mobil
Kijangnya. Ini pemerasan.. dia mau minta apa? Uang.. atau..? Aku tidak
berani meneruskan pemikiranku. Jangan-jangan dia memintaku tidur
dengannya.
Aku mencoba mengingat-ingat dan membayangkan postur si Basri ini. Aku
perkirakan usianya sekitar 30 tahunan. Kulitnya yang hitam karena banyak
terjemur, dibungkus dengan seragam putih dan celana birunya. Ada tali
peluit di kantongnya dan ikat pinggangnya yang keemasan karena rajin
dibraso. Sebagai Satpam di kantor suamiku, Basri dipilh dari banyak
calon yang memenuhi syarat. Antara lain penampilannya harus gagah, badan
sehat, tegas, pintar bela diri dan lain-lainnya. Dan postur seperti
Basri memang meyakinkan untuk menjadikannya sebagai satpam kantor. Aku
akan mendiamkannya saja. Biarlah pemerasan tinggal pemerasan. Dan
sungguh suatu hal yang sangat tidak mengenal perikemanusiaan untuk
memeras perempuan seperti aku di malam hari begini. Ah, persetan.
Kutunggu saja apa yang akan dikerjakan Basri selanjutnya.
Tetapi aku jadi tidak bisa tidur. Aku jadi merasa tertekan. Apa mau
Basri sebenarnya? Apa mau Rendi? Mungkinkah dia sengaja menghinaku?
Merendahkanku? Dasar serigala pengecut. Akan halnya Basri, memang dia
cukup berotot sebagai satpam, pantaslah. Dan bagaimana jika dia
memerasku dengan memintanya untuk tidur dengannya? Akan kuturutikah?
Keterlaluan, bagaimana pula kata orang nanti? Bagaimana kata Rendi yang
pengecut itu nanti? Dan lagi, bagaimana mungkin aku keluar rumah pada
malam-malam begini? Apa kata tetangga nanti? Kemudian kalau ini adalah
memang hasil pemikiran Rendi, akankah hal ini akan dapat diselesaikan
cukup dengan satu orang seperti Basri ini? Karena nanti pasti dia juga
akan menyebarkannya kepada orang lain.
Aku semakin bingung ketika telepon kembali berdering.
"Bagaimana Bu..? Saya sudah tidak sabar nih..", nadanya jelas-jelas mengancam.
"Pak Basri mau ngapain? Ini khan udah malam, aku tidak enak sama
tetangga. Dan terus terang aku takut malam-malam begini. Besok saja
telepon lagi!", telepon aku banting.
Ganti aku sekarang yang memutuskan telepon. Agar dia tahu bahwa aku
tidak bisa diperas seenaknya. Telepon langsung berdering kembali.
"Kalau Ibu berani ke Bogor, terang-terangan di gilir bertiga selama dua
hari berturut-turut, kenapa sekarang takut keluar rumah. Ini Jakarta Bu,
jam 10 malam itu masih sore untuk orang Jakarta".
Wah, benar-benar sudah nekat rupanya si Basri. Aku tidak menjawabnya dan langsung kututup kembali.
Kembali dering itu terdengar lagi, mukaku sudah memerah karena amarah yang sangat.
"Kalau Ibu tidak mau pergi sama saya sekarang, saya tidak bisa apa-apa
kalau Pak Adit nanti tanya soal Ibu di Bogor itu. Terus terang Bu, saya
juga ingin merasakan tidur dengan Ibu. Dan saya yakin bisa memberikan
kepuasan pada Ibu lebih dari tiga orang teman Pak Adit itu. Ayolah Bu..,
kasih kesempatan saya. Atau saya jemput Ibu ke rumah saja?".
"Terserah..!, kubanting lagi telepon itu untuk yang ketiga kalinya.
Tetapi jawabanku terserah itu? Apakah aku memang berniat memenuhi
permintaannya? Aku jadi bingung. Ini semua memang rekayasa Rendi yang
gila itu. Aku jadi pasrah. Aku tak biasa ditekan macam begini. Aku cepat
menyerah. Aku mau apa lagi? Dan itu dia, datanglah si Basri brengsek
itu. Yang kini terpikir olehku sekarang adalah, bagaimana caraku agar
hal ini tidak mencolok pada pandangan tetangga kanan-kiriku. Bagaimana
aku harus bersandiwara. Aku harus mengajak si Basri juga untuk
bersandiwara. Sialan kamu Rendi..!
Aku bergerak bangkit. Kunyalakan terang-terang semua lampu rumah. Lampu
halaman, lampu beranda, lampu ruang tamu, lampu ruang makan. Semuanya
jadi terang benderang saat Basri datang dan masuk rumah. Perhitunganku
adalah dengan cara itu, akan mengurangi kecurigaan tetangga bahwa di
malam hari begini aku menerima lelaki asing dalam suasana remang-remang.
Kusambut Basri dengan ramah di depan pintu, untuk memberikan kesan
bahwa yang datang adalah sanak familiku hingga Basri sendiri heran.
Dan kubuka lebar-lebar ruang tamu di mana Basri kupersilakan duduk saat
akan masuk rumah. Dan aku sendiri juga menemaninya duduk layaknya
seseorang menerima tamu keluarganya. Aku juga berbicara keras-keras dan
tertawa-tawa, sambil mengisyaratkan kedipan mataku pada Basri untuk juga
mengikuti sandiwara ini. Basri tahu, dan cepat menyesuaikan diri. Dia
berlagak bebas di rumahku, berdiri, jalan sana-sini, melihat fotoku
bersama Mas Adit di tembok dan sebagainya.
Aku mulai secara khusus memperhatikan pria yang ingin tidur denganku
ini. Kali ini dia datang tanpa seragam satpamnya. Wow, ternyata kharisma
kelelakiannya tak kalah dari penampilan Rendi maupun Burhan dan Wijaya.
Dengan T-shirt Polo (mungkin merk imitasi) dan celana Valentinonya
(barangkali juga imitasinya), di mataku Basri jadi tampak sangat tampan.
Posturnya yang di atas 175 cm, membuatku hanya setinggi bahunya.
Kekesalanku akan teleponnya tadi seketika lenyap. Bahkan kelelahanku
dari perjalanan ke Bogorpun ikut lenyap. Dan untuk tetangga-tetangga
sekitar yang kemungkinan usil karena aku telah menerima tamu pria di
malam hari sementara suamiku berada di luar kota, persetan! Tidak akan
semudah itu menuduhku berbuat macam-macam.
Dengan membiarkan semua pintu tetap terbuka lebar-lebar, pelan-pelan aku
mengajak Basri menuju ruang makan yang tak nampak dari halaman depan
dan jalanan. Di situ Basri langsung menubrukku. Dia langsung mencium
kudukku dan tangannya memeluk dadaku, meremas payudaraku. Berani benar
dia, batinku. Dan terus terang aku jadi sangat bernafsu menjalani
sandiwara ini. Ini merupakan skandal terbesar sejak aku selingkuh dengan
Rendi. Ini merupakan pertaruhan dengan risiko terbesar selama aku
berani berkhianat pada Mas Adit, suamiku. Darahku terasa menggelegak.
Jantungku berdegup keras. Aku gemetar sejadi-jadinya. Perasaan birahi
yang menggelegak campur aduk dengan rasa takut tertangkap orang di
kampungku, bercampur aduk.
"Bu Adit, kita keluar yuk".
"Nggak, ah. Di sini saja. Aman, deh. Tenang saja..", aku menjawab sambil tersenyum dan mendekatkan bibirku ke bibirnya.
Kami berpagutan dengan penuh nafsu. Aku sudah tidak tahan untuk tidak
meraba selangkangannya. Aku mendesah. Tangan kiri Basri memeluk
pinggangku, sementara tangan kanannya mulai bermain meremas-remas
payudaraku yang masih terbungkus dalam blusku. Kuraba selangkangan itu.
"Waduuhh.. pentungan Satpam benaran nih..", batinku.
Aku meraba daging panas yang sangat besar dan panjang di balik
celananya. Kuremas. Pantat Basri langsung menekan tanganku menahan
gelinjang kontolnya.
"Jangan lebih dari 1 jam yang Mas Basri",
"Uuhh, cukup Bu, cukup Bu, cc.. cukkupp.. Bb.. Bu.. Jangan-jangan Ibu
yang kurang nanti", mendengar jawabannya yang nakal aku tertawa geli
sambil mencubit pantatnya.
Dia mengaduh, manis. Cukup lama kami saling berpagut dan meremas apa
saja. Kubimbing Basri menuju kamar tidur pengantinku, tempat yang
biasanya hanya aku dan Mas Adit -bossnya- yang tidur di atasnya.
Dan saat sampai di tepi ranjang, kudorong tubuhnya hingga telentang di
ranjang. Aku menyusul menindihnya. Kami bergulingan. Dan dengan penuh
ketidaksabaran kami saling melucuti pakaian. Aku melucuti pakaiannya,
dia melucuti pakaianku. Kami telah siap untuk langsung menuju kenikmatan
tak terhingga. Aku telentang di kasur dengan pahaku yang terbuka
menjepit tubuhnya. Dia bergerak sedikit mengangkat pantatnya, tangan
kirinya menggenggam kontolnya untuk diarahkannya ke memekku. Aku lebih
melebarkan pahaku untuk bersiap menerima kontol itu menembus kemaluanku.
Saat bibir vaginaku tersentuh ujung kontol yang mirip pentungan itu, aku
langsung memejamkan mataku dan jiwaku seakan melayang ke langit. Aku
bergetar. Pantatku kuangkat-angkat sedikit kerena sangat merindukan
kontol itu untuk secepatnya terbenam ke kemaluanku.
Seperti biasanya, Basri sangat ahli, ujung kontol itu dimainkan terlebih
dulu di gerbang vaginaku untuk memancing cairan birahiku. Tetapi tak
perlu memakan waktu lama, karena cairan itu sebenarnya telah mulai
keluar sejak aku meremas celananya tadi. Dan tak ayal lagi, kurasakan
betapa batangan besar dan hangat itu akhirnya tertelan seluruhnya hingga
ke akar-akarnya, masuk dan menembus vaginaku. Seketika itu pula
saraf-saraf peka pada dinding vaginaku bekerja menyambut batang itu.
Diremas-remasnya kontol Basri. Mengencang dan mengendor bergantian.
"Dduhh, Ibuu.. Bu Aditt.. ennhakk bBHhaanngett.. Bbuu..".
Basri langsung memompakan kontolnya, suara pelirnya yang terayun-ayun
memukuli akar kontolnya sendiri, akibat dari ayunan pompa kontol
besarnya itu ke lubang memekku. Dan aku sendiri yang mendapat landa
kenikmatan tak terhingga ini hanya bisa mendesah dan merintih sambil
kepalaku bergoyang ke kanan dan ke kiri, seperti menggeleng-geleng,
karena nikmat yang tak mampu kutahan itu.
Kami bersanggama penuh irama dan improvisasi yang mengalir. Sungguh
hebat si Basri ini. Tubuhnya di jatuhkan miring. Tanpa mencabut
kontolnya, dia angkat kaki kiriku melintasi tubuhnya dan tetap dipegang
dengan tangan kirinya. Aku dientotnya dari arah belakang punggungku.
Kemudian dengan posisi strategis itu yang membuat ketiakku tepat berada
di dekat wajahnya, dia peluk tubuhku dengan tangan kanannya dan lebih
didekatkannya ketiakku dan di ciuminya.
Paduan entotan pada vaginaku dan ciuman pada ketiakku ini benar-benar
membuatku terlempar jauh melayang dalam gelombang nikmat tak terperikan.
Pantatku langsung bergoyang-goyang untuk mempercepat tusukan kontol
nikmat milik Basri itu. Aku berteriak kecil dan merintih.
"Mas Basrii.. Mas Basrrii.. Mas Bassrrii..", tidak tahu lagi aku mesti bicara apa.
Setelah posisi itu kami nikmati beberapa saat, Basri membisiki telingaku.
"Bu, nungging donk..", dan segera kurespon.
Aku bergerak menungging, mulai dengan tengkurap, kemudian pelan-pelan
kunaikkan pantatku, kemudian lututku mengambil alih peran sebagai
tumpuan pantatku. Hebatnya si Basri tetap tidak mau melepaskan kontolnya
yang telah menancap pada vaginaku. Itu berarti dia harus mendukung
tubuhnya hanya pada dengkulnya. Dan saat akhirnya sepenuhnya aku
berhasil menungging, Basri sudah setengah bangkit, seperti anjing
jantan, kontolnya masih menancap pada betinanya. Wow..
Kurasakan posisi ini membuat kontol Basri main merangsek dan meruyak
kedalaman vaginaku. Titik-titik saraf peka birahiku mengelinjang. Ujung
kontol itu mendesak gerbang rahimku. Aku, dengan kepalaku yang bertumpu
pada bantal, jari-jari tanganku meremasi tepian bantal-bantalku. Aku
merasakan kenikmatan itu seakan air bah yang menghanyutkan seluruh
haribaanku. Kenikmatan ini sungguh tak bertara.
Aku mulai merasakan ada desakan ingin kencing dari dalam vaginaku. Ini
bukan lagi untuk yang pertama kalinya. Sejak dua hari yang lalu aku
sudah merasakan hal seperti ini 4 kali. Dan ini adalah untuk yang ke
lima kalinya. Aku akan menyongsong kenikmatan tertinggi seorang wanita
dari sanggamanya. Aku akan meraih orgasmeku.
"Acchh.. Mass Basrii.. tolonng akuu.. Basrii.. tolongg..".
Kontol Basri makin cepat memompa. Pantatku berusaha bergoyang untuk
menangkap nikmat pompaan Basri. Kami mulai merasakan berada di gerbang
kenikmatan puncak. Basri melepas payudaraku yang sejak aku menungging
tadi diremas-remasnya. Kini dia bangkit dengan tangannya menekan
pinggulku. Itu artinya nafsu Basri sudah tak mungkin dia bendung lagi.
Kocokan kontolnya makin cepat, "in & out" ke lubang vaginaku. Aku
sendiri tak mampu menahan keinginan rasa ingin kencingku. Aku
menggoyang-goyangkan pantatku dengan memepertegas desahan dan rintihanku
untuk memacu nafsu Basri.
Dan akhirnya.. Bertetes-tetes sperma Basri terasa menghangatkan memekku.
Sedetik berikutnya, orgasmeku datang. Cairan birahiku membanjir.
Pompaan kontol Basri tidak langsung berhenti saat menembak lubang
vaginaku dengan spermanya. Dan akibatnya dari celah ketat antara batang
kontol dan bibir vaginaku nampak busa-busa cairan birahiku bercampur
sperma Basri muncrat dan meleleh setiap kali kontol Basri masuk maupun
keluar dari lubang kemaluanku.
Kemudian lama-lama melambat dan akhirnya diam. Kami bersama-sama rebah
di ranjang. Kecuali nafas-nafas panjang yang terdengar, yang lainnya
sepi. Terdengar anjing tetangga menyalak, seakan ada yang lewat.
Terdengar kucing mengejar betinanya di genting. Terdengar tukang mie
menawarkan dagangannya. Aku melirik ke Basri dan saling bertemu pandang.
Kami masing-masing meraih kepuasan. Untuk sementara rasa penasaran
Basri telah reda.
Jam menunjukkan pukul 10.40 malam. Basri bangkit dari ranjang dan turun
ke kamar mandi. Kubiarkan saja dia, mungkin dia perlu buang air kecil.
Aku masih menginginkan ada lanjutannya. Aku selalu belum tuntas kalau
mulutku belum dientot lelaki yang mengencaniku. Dan Basri harus
menyelesaikannya. Aku yakin dia akan menyelesaikannya dengan baik dan
aku akan meraih kepuasan darinya untuk yang kedua kalinya.
Ternyata memang sekembalinya dari kamar mandi, kontolnya sudah terlihat
tegak kembali. Aku yakin, lelaki seperti Basri ini tidak akan cukup
dengan hanya sekali spermanya muncrat pada setiap bersetubuh dengan
perempuan. Dia kembali mendekat ke ranjang. Aku cepat meraih kontolnya
yang sebesar pentungan satpamnya. Kuelus dengan jari-jariku dan kulihat
wajahnya. Dia menutup matanya menikmati sentuhan jari-jari lembutku. Aku
senang dia menutup matanya itu. Bibirku mendekat, kuulurkan lidahku ke
belahan lubang kencingnya. Kurasakan, lidahku merasakan sebagian air
kencingnya yang masih tertinggal di belahan lubang itu. Aromanya
mendekati bir yang baru terbuka botolnya. Keras dan ada sedikit
pesingnya. Kujilati hingga bersih dari sisa-sisa tetesan air kencingnya.
Aku sangat menikmati kesempatan langka ini.
Kulihat kembali wajahnya. Ternyata dia telah membuka matanya dan memperhatikan lidahku yang sedang menjilat-jilat.
"Bu Adit, enak banget ketika bibir Bu Adit menyentuh kontol saya. Dan
ketika lidah Ibu menjilat.. aku tidak pernah membayangkan ada wanita
secantik Ibu mau menjilat kontol saya. Bahkan sisa-sisa kencing saya,
Bu", kata Basri sambil tangannya mengelus rambutku yang terurai panjang.
Mendengar pembicaraannya itu, terbit kenakalanku. Aku ingin melihatnya
benar-benar blingsatan, ingin mendengar rintihan nikmatnya yang luar
biasa, ingin melihat bagaimana jika tubuhnya menggeliat-geliat dengan
penuh gelinjang karena merasakan jilatan dan kuluman nikmat dari
mulutku. Kugenggam kontolnya, kunaikkan dan kupepetkan ke perutnya. Wow,
panjangnya adalah hingga ujungnya menyentuh pusarnya.
Saat itu pelirnya berada tepat di depan bibirku. Tentu saja lidahku
langsung bekerja dipadu dengan bibirku yang menyedot-nyedot biji
pelirnya itu. Dia mulai gelisah. Pantatnya bergoyang, ingin menekankan
pada mulutku. Kemudian aku mengubah posisi dengan turun dari ranjang.
Dan Basri kudorong hingga telentang di kasur dengan kedua kakinya tetap
terjuntai ke lantai. Kini aku sepenuhnya memegang 'komando'. Dengan
tetap kugenggam kontolnya, lidahku mulai menjilat selangkangannya.
Bau keringatnya yang sangat alami karena telah seharian terjemur dalam
tugasnya, sangat merangsang libidoku. Bau alami seperti ini terkadang
jauh lebih merangsang dari pada para pria pesolek seperti Rendi dan
teman-temannya yang suka dengan parfum, bedak atau pewangi lainnya.
Benar juga. Lidahku di selangkangannya membuat Basri seperti orang
tenggelam di laut, gelagapan dengan nafasnya yang terputus-putus
memburu. Tangannya terus mengacak-ngacak rambutku yang istri bossnya
ini.
Saat aku menjilat lebih ke bawah lagi dan mengarah ke anusnya, pantatnya
dia angkat-angkat sambil kakinya di tekankan ke pinggiran ranjang
menahan kegelian yang amat sangat. Ah, tanggung.. kubalik saja badannya
hingga posisinya tengkurap, kemudian tanganku memberi isyarat agar Basri
sedikit menungging. Dia patuh. Dengan lututnya sebagai tumpuan dia
bukan lagi sedikit, tetapi benar-benar menungging. Inilah saatnya Basri
akan merasakan bagaimana aku, istri Pak Adit atasannya akan menjilati
duburnya.
Kusapu dulu bukit pantatnya dengan lidahku sambil hidungku berusaha
menangkap aroma anusnya. Wow, dia langsung menggelinjang dengan suara
rintihan yang menimbulkan rasa horny. Tangannya menggapai-gapai untuk
berusaha meraih kembali rambutku. Dan lidahku tak lagi berputar-putar,
tetapi langsung kubenamkan pada analnya. Basri benar-benar blingsatan.
Kini tangannya yang telah meraih rambutku menariknya kencang-kencang
hingga kulit kepalaku terasa pedih. Aku sangat menikmati hal ini. Aku
semakin bersemangat menjilat dan menyedot-sedot pantatnya, sementara
tangan kiriku meraba dan kemudian meraih kontolnya yang bergelantungan
di bawah perutnya dalam keadaan ngaceng berat. Tanganku mengocok lembut
kontol itu.
Setelah beberapa saat hal itu berlangsung, terdengar desahan dan
rintihan Basri yang menandakan bahwa spermanya akan muncrat. Cepat
kudorong kembali tubuhnya untuk telentang. Kucaplok kontolnya, kukulum
dan kupompa dengan mulutku. Basri ingin aku memompa dengan cepat. Dan
dengan lolongan seperti serigala di malam hari, Basri menjerit kecil
dengan disertai tumpahnya sperma ke mulutku. Aku merasakan kehangatan
adanya lendir-lendir yang menyemprot dan memenuhi mulutku. Aku kecap
sperma Basri dan kutelan. Tak setetespun yang tercecer. Kami kembali
rubuh ke kasur. Aku teramat sangat lelah. Ini mungkin adalah akumulasi
kelelahan yang tak begitu kurasakan sejak kepergianku dari Bogor tadi.
Aku terlena sesaat.
Saat Basri membangunkanku untuk pamit pulang, kulihat dia sudah rapi
dengan pakaiannya kembali. Aku bergegas berpakaian. Aku sengaja tidak ke
kamar mandi dulu. Nanti saja. Ada kenikmatan erotis tersendiri untuk
menahan sperma yang masih mencemari tubuhku. Kuantarkan Basri ke pintu.
Dia harus cepat pergi dari rumahku. Saat telah siap semuanya, aku
mendekat dan memagutnya dalam-dalam. Sesaat kami saling bertukar ludah
dan lidah.
"Mas Basri, ntar kita cari waktu lagi, ya. Aku ingin dientot terus
menerus sama Mas Basri. Kontolmu ini sangat membuatku mabuk. Aku masih
belum puas".
Kontol Basri yang masih kugenggam langsung berdiri kembali. Aku tahu,
kalau saja kutahan dia, Basri akan dengan senang hati tinggal. Mungkin
sampai pagi. Tetapi kubimbing saja dia ke pintu, karena dia memang harus
pergi dari rumahku sekarang. Tepat pada pukul 11.10 Kijang Basri sudah
meninggalkan rumahku. Aku tidak langsung mematikan lampu-lampu. Bahkan
aku masih sempat berjalan-jalan di taman rumahku, seakan-akan
memperhatikan tanaman-tanaman bungaku yang memang setiap hari kurawat
dengan penuh kecintaan.
Tetanggaku, Pak Taslim baru saja lewat bersama anaknya dari warung
sebelah. Setelah pintu halaman kukunci, pada pukul 11.30 malam baru aku
masuk rumah. Pintu utama kututup dan kukunci. Lampu-lampu yang tidak
penting kumatikan. Baru aku menuju peraduan dengan masih menyimpan
sperma Basri dalam nonokku dan sebagian sperma kering yang masih
belepotan di sekitar mulutku. Aku nikmati terus agar selalu merasa dekat
dengannya. Selama 2 hari berselingkuh dengan 4 lelaki teman kantor
suamiku, aku baru merasakan bahwa hanya dengan Basrilah aku mendapatkan
keaslian sifatnya. Bayangkan, dengan pendidikannya yang hanya dapat
membuatnya menjadi satpam, dia berani melakukan sesuatu loncatan keluar
jauh dari 'orbit'-nya, dia entoti aku yang merupakan istrinya bossnya di
kantor, Mas Adit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar