“Nggak ah cakepan yang kanannya.. Lebi imut...”
“Ah nggak nurut gue cakepan yang kiri..”
Ini kebiasaan teman-temanku setiap jam istirahat ketiga pada hari Kamis. Kami, siswa-siswi SMA, pulang sekolah pukul 13.30 setiap harinya; sementara siswa-siswi SMP sudah mengakhiri pelajaran pada pukul 11.45, bertepatan dengan jam istirahat ketiga kami.
Setiap saat itulah, teman-temanku berdiri bersandar di balkon dan menonton siswa-siswi SMP sekolah kami yang sedang berjalan pulang sekolah. Seringkali mereka mengomentari siswi-siswi mana yang imut atau cantik, dan terutama yang menurut mereka memiliki tubuh yang seksi. Beberapa temanku bahkan sering bersiul pada mereka, atau menggoda mereka, hanya untuk menarik perhatian salah satu dari cewek-cewek SMP yang cantik-cantik itu. Hari ini pun begitu, sementara aku duduk di bangku panjang sambil mendengarkan iPod ku.
“Dit! Dit! Vany tuh!”
Nah, di antara semua cewek SMP yang lain, ada satu cewek yang paling menarik perhatian hampir semua temanku (dan sepertinya hampir semua cowok di SMA dan SMP, dan mungkin bahkan beberapa bapak guru). Cewek itu adalah Stevany, adik perempuanku. Stevany 4 tahun lebih muda dariku, dia duduk di kelas 2 SMP.
Sebenarnya Vany sama seperti cewek-cewek yang lain; dengan tinggi badan 153 cm dan berat 46 kg, Vany tergolong kecil mungil, tidak tinggi semampai. Rambutnya yang hitam pun hanya dipotong pendek sebatas leher. Memang wajahnya sangat imut dan kulitnya pun putih mulus tanpa cacat, tapi bukan itu yang membuat teman-temanku tergila-gila padanya.
“Duh gilak tuh anak cute banget sih!!”
“Sexy banget, maksud lu..!?”
Yap... Kontras dengan wajahnya yang sangat imut seperti anak kecil, Vany bisa dibilang sangat sexy. Alasan utamanya—dan aku yakin bagian inilah yang selalu dilihat oleh hampir semua cowok—Vany memiliki dada berukuran 34 C, yang termasuk sangat besar untuk anak seusianya. Bentuknya pun sangat bulat dan penuh.
“Duh gue ngaceng... Gede banget gilak...”
“Hus! Ada kakaknya tuh.. Ntar lu dibunuh... Hahaha”
Tiba-tiba teman-temanku ber “Oooh...!!” seru. Aku melongok ke arah lantai dasar, mencari tahu penyebab “Ooh..!!” tiba-tiba itu. Pantas, pikirku. Vany sedang berlari berkejar-kejaran dengan beberapa cewek lain. Aku tahu apa yang diperhatikan oleh teman-temanku: dada Vany yang berguncang-guncang menggiurkan saat ia berlari. Aku melirik ke arah teman-temanku, dan aku dapat melihat tonjolan-tonjolan tegang di bagian tengah celana panjang mereka.
“Heh! Udah! Adek gue bukan tontonan!” ujarku. Teman-temanku menoleh.
“Yee... Salahnya adek lu punya badan kayak gitu..” kata Martin, salah satu temanku.
“Toket kayak gitu, lebih tepatnya,” kata yang lain.
“Ah, udalah! Nyebelin...” kataku gusar. Aku berdiri dan berjalan pergi, meninggalkan teman-temanku yang menatapku gelisah.
Sebenarnya hal ini sudah membuatku gelisah beberapa waktu belakangan ini. Sejak adikku kelas 6 SD, entah kenapa seolah-olah dadanya seperti dipompa; pertumbuhannya pesat sekali! Hampir setiap pergantian semester, adikku ini mengeluh bra-nya sudah kesempitan, dan ternyata ukurannya sudah bertambah besar lagi. Di saat teman-teman seusianya masih belum mengenakan bra, Vany sudah mulai memilih bra mana yang harus dikenakannya, dan saat teman-temannya mulai merasakan pertumbuhan di dada mereka, milik Vany bahkan sudah jauh lebih besar dari milik ibuku.
Dan, yang paling membuatku khawatir, adalah kenyataan bahwa bagaimana pun, aku juga seorang cowok normal, yang juga bisa terangsang bila melihat sepasang dada yang bulat dan sangat besar seperti miliknya. Bahkan sudah beberapa lama ini aku menahan godaan untuk tidak melakukan sesuatu yang tidak sepantasnya dilakukan oleh seorang kakak pada adiknya
Sabtu, 7 Juni 2008 – 21.15
“Kaak... Deek... Turun sini!! Udah mulai nih upacaranya!”
“Iyaa... Bentar aku turun!!”
Ayahku memanggil. Beliau dan Ibuku sedang menonton upacara pembukaan Euro 2008 di ruang keluarga. Ayahku memang sangat menggemari sepak bola, begitu pula dengan aku dan Vany. Hanya ibuku yang tidak terlalu suka sepak bola, tapi karena dikeroyok 3 orang penggemar bola di rumah, akhirnya ibu menyerah dan ikut menonton. Toh, beliau ikut senang melihat upacara pembukaan yang meriah.
“Heeii bagus loh ini!!” suara ibuku yang memanggil kali ini.
“Yaya bentaarr!!! Nanggung!!” aku berteriak.
“Ngapain sih, kamu?”
Aku tak menjawab. Aku sedang melihat foto-foto liburan keluargaku yang terakhir ke Bali. Well, sebenarnya hanya foto Vany yang kulihat... Sudah beberapa minggu—mungkin beberapa bulan—terakhir ini aku sering menghabiskan malamku memelototi foto-foto Vany di komputerku. Makan apa sih kamu, aku sering berpikir begitu. Koq bisa jadi segede itu...
Aku sampai ke foto-foto kami di pantai... Vany mengenakan tank-top putih dan kain sarung Bali di foto itu.
Aku menekan tombol ‘next’, foto berikutnya. Vany sedang bermain air di pantai. Tank-topnya basah, samar-samar memperlihatkan bikininya yang berwarna biru muda, tampak kesulitan menahan dadanya yang besar. Celanaku mulai menyempit di bagian selangkangan.
‘Next’ lagi... Oh, ini video, batinku. Masih Vany yang bermain air. Tapi kali ini ia berlari kecil. Mataku terpaku pada dadanya yang berguncang-guncang. Sangat menggiurkan. Aku merasakan tonjolan di celanaku semakin membesar. Aku merogohkan tanganku ke dalam celana, dan perlahan mulai mengocok penisku yang sangat tegang.
Aku memejamkan mata, pikiranku mulai melayang...
“Heh! Kakak liat apa tuh sampe melotot gitu?!”
Aku melonjak kaget di kursiku. Astaga! Aku lupa mengunci pintu tembusan antara kamarku dan kamarnya! Vany berjalan mendekat. Cepat-cepat aku menarik tanganku keluar dari celana. Tapi aku tak tahu bagaimana menyembunyikan tonjolan besar dari balik celanaku ini! Vany sudah membungkuk di belakangku.
“Eeh... Nggak koq... Ini lagi ngeliat foto-video waktu kita ke Bali terakhir...” kataku gugup. Aku buru-buru menarik bantal kecil di ranjangku untuk menutupi selangkanganku.
“Hoo... Hm? Koq isinya fotoku semua?” katanya sambil menekan-nekan tombol next-next-next-next... Memang foto-fotonya sudah aku kelompokkan kedalam satu folder sendiri.
“Eeh? Eh... Mm... Biar gampang milihnya kakak kelompokin ke dalem satu folder gitu...”
Jantungku berdegup-degup kencang.
“Ooo... Yaya...” aku merasakan ada nada keraguan dibalik suaranya, “Yuk turun.. Udah mulai tuh! Lucu loh ada sapi-sapi segala!”
“Oke oke.. Yuk...”
Aku mematikan komputerku. Vany menggamit lenganku saat kami berjalan keluar kamar dan turun ke bawah. Kami duduk bersebelahan.
“Kak,” tiba-tiba dia berbisik. Sangat pelan.
“Hm?”
“Kakak ngaceng ya tadi waktu ngeliat fotoku? Dosa loh kaak... Hihihi...” bisiknya.
“HAH?! Eh... Ng... Nggak koq!” ujarku gelagapan.
“Aku liat koq kak tadi...” bisik Vany. Senyum jahil melintas di wajahnya yang imut.
“Eh...”
“Bilang mama aahh...” senyumnya semakin jahil.
“Ehh! Eh jangan Van!” bisikku panik.
“Hehehe nggak dehh...”
Kami terdiam... Tomas Ujfalusi dan Alexander Frei, kapten Swiss dan Ceko, berjalan memasuki lapangan. Pertandingan segera dimulai.
“Kak,” bisiknya lagi.
“Ya?”
“Punya kakak gede banget...”
Cepat-cepat aku menarik bantal.
Selasa, 10 Juni 2008 – 01.40
“Kak, bangun! Udah mau kick off tuh!”
“Mmm...”
“Aaa... Kak! Luca Toni tuh! Gattuso! Pirlo! Aaa... Buffon Kak!”
“Mmm....”
“Kaakk... BaanguuUnn...”
Pagi itu pertandingan grup C Euro 2008, Belanda vs Italia. Kami menonton di kamarku. Vany memang pendukung setia Italia, sedangkan aku pendukung baru Belanda. Sebenarnya aku pendukung setia timnas Inggris, tapi sayang sekali Inggris tidak lolos tahun ini, jadi aku beralih mendukung Belanda. Aku dengar tahun ini pelatih Van Basten membawa kejutan dalam timnas Oranye.
“KAAK! Udah kick off!!! Kak.... Kaaakkk.. Bangguunn..!!! Iih nyebelin!!” Vany habis kesabaran, mengguncang-guncangku hingga terbangun.
“Eeehhh... Eh... Ehh... Iya iya iya udah bangun ini!!” kataku mengantuk. Vany terus mengguncang-guncang badanku, tidak mempedulikan protesku. Tapi pemandangan yang aku lihat setelah itu benar-benar membuatku tidak mengantuk sama sekali.
Vany rupanya telah duduk mengangkang di atas perutku. Baju tidurnya yang putih-pink terlihat tipis sekali dini hari itu. Dadanya yang besar menggelayut, dan samar-samar aku melihat 2 tonjolan kecil di masing-masing ujungnya. Vany nggak pake bra?
“Bangun,” ulangnya, nyengir.
“I... Iya...” entah kenapa aku merasa mukaku terbakar. Rupanya Vany menyadarinya. Nyengirnya makin lebar.
“Kenapa mukanya merah, Kak...” suaranya pelan, menggoda. Vany mendekatkan wajahnya ke arahku, hingga hanya berjarak beberapa senti saja. Penisku mulai menegang. Aku menelan ludah, memberanikan diri.
“Van...”
“Hm?”
“Kamu... Kamu beneran liat kakak ngaceng waktu itu?” tanyaku gugup.
Vany mengangguk, tersenyum.
“Koq bisa gitu, Kak? Sampe setegang itu?”
“Yah... Eh...”
“Apa karena... Punyaku gede?” dia tidak menunggu jawabanku.
“Yah...” Aku mengangguk. “Iya... Jujur, iya...”
“Hmmm...” muka Vany memerah. Ia berkata pelan, “Emang segede itu ya?”
“Well... Buat anak seumuran kamu sih gede banget, Van...” kataku. “Kamu tau banyak cowok yang nafsu banget sama punyamu?”
“Iya...” katanya perlahan. “Kakak juga?”
Aku tak dapat menjawab. Aku merasa bersalah. Tapi Vany tersenyum.
“Gapapa, Kak...” ujarnya. “Aku gapapa koq kalo kakak yang nafsu... Hehee...”
Penisku semakin tegak berdiri.
“Be... Bener?” Ia mengangguk. Vany menunduk, mengecup pipiku. Dadanya menekan dadaku. Tepat saat itu tanpa sengaja pantatnya yang empuk menyenggol penisku yang sudah sangat tegang. Vany melonjak kaget.
“Kak... Kakak tegang lagi...” bisiknya perlahan. Ia berbalik, memunggungiku, menatap tonjolan besar di balik celana pendekku. “Be... Besar banget...”
Saat itu 2 hal bergejolak di dalam diriku: nafsu dan logika. Logikaku berkata aku ini kakaknya, dan sesexy apa pun Vany, dia adikku. Tapi nafsuku berkata, Vany itu cewek yang luar biasa sexy, yang sedang duduk di atas perutku menghadapi penisku yang tegang.
Nafsu memang selalu lebih kuat dari logika.
Aku mendudukkan diri, sehingga Vany merosot ke pangkuanku. Penisku benar-benar terjepit di antara kedua pahanya yang mulus sekarang. Aku merasakan penisku berdenyut-denyut tegang.
“Kak...?” bisik Vany.
Aku mulai mencium belakang telinganya dengan lembut, kemudian turun ke arah rahang belakangnya. Aku mencium perlahan tapi pasti, sesekali menjulurkan lidahku untuk menjilatnya lembut.
“Hhh... Ka...k...” Vany mendesah pelan.
Perlahan, lehernya kulumat. Vany menelengkan kepalanya, sehingga dapat dengan cukup mudah aku mencium lehernya. Nafasnya semakin berat.
“Mmhhh... Kak.. Kaakk... G... Ga boleh l...lohh... Mmhh...” desahnya perlahan, memperingatkanku. Aku tak peduli.
Vany mulai menggeliat keenakan, membuat penisku tergesek pahanya. Bahkan walaupun di dalam celana, aku merasakan nikmatnya. Tak tahan, aku menanyakan sesuatu padanya yang mungkin sangat ingin ditanyakan oleh hampir setiap cowok di sekolah.
“Van... Boleh kakak pegang toket kamu?”
Vany terdiam. Aku bisa merasakan pertentangan di dalam dirinya. Namun, sekali lagi, nafsu mengalahkan logika. Vany mengangguk lambat.
Tak menunggu disuruh dua kali, perlahan-lahan aku menjangkaukan tanganku di bawah ketiaknya, dan dengan lembut aku meremas kedua buah dadanya yang besar dan menggiurkan itu. Sensasi empuk dan bulat penuh memenuhi tanganku yang tak cukup besar untuk meremas buah dadanya secara keseluruhan. Aku bisa merasakan putingnya. Benar dia tidak memakai bra.
“Aahh... Kaak... Mmmhh... Pe... lan.. Pelan...” Vany mendesah nikmat. Kedua tangannya mencengkeram erat seprei di ranjangku.
Aku masih menjilati lehernya, kali ini cukup cepat. Kedua tanganku meremas-remas dadanya yang empuk dan besar, yang sudah menjadi kencang karena terangsang. Jari-jariku memainkan putingnya yang sudah tegang dan keras.
“Koq udah keras banget gini, Van?” bisikku menggodanya.
“Mmhh... Abisnya... Mmmhh...”
“Kalo diginiin jadi tambah keras nggak?” Aku menjepit kedua putingnya di antara jari telunjuk dan jempolku, kemudian memelintirnya perlahan-lahan.
“Aaahhh... Aaaahhh... Kaakkk..!!!”
Saat itu aku merasakan penisku tersiram sesuatu. Rupanya Vany sudah sangat basah sehingga cairannya ikut membasahi penisku. Aku meremas dadanya semakin kencang, sambil terus melumat leher dan belakang telinga Vany.
“Ooohh... Kakk... Kak.. Kalo gini teruss... Aku... Akku...”
“Kamu kenapaa?” Tangan kananku memainkan putingnya, sementara yang kiri meremas lebih kuat.
“Aku... Aaahhhh... Mmmhh... Kaakk... Mmhh...”
“Kenapa...”
“Ga... gapapa... Ooohh... Ka...k..”
Aku merasakan penisku semakin tegang, nafas Vany pun semakin tak karuan. Ia menggeliat-geliat keenakan, merangsang penisku semakin hebat.
“Van, pegang penis kakak donk...”
“Mmmhhh... Ga... Ga... Ga bo...leh ah, Kak... Hhhh...”
“Boleehh... Ayo... Gapapa koq...” aku membujuknya.
Ragu-ragu, Vany melepaskan cengkeraman tangan kananya, dan meletakkan jari telunjuknya di kepala penisku. Rasanya sudah mau kuledakkan saja spermaku saat itu.
“Van, digenggam aja...”
“G... Ga ah kak... Gini aja.... Mmhh...” Ia memainkan jari telunjukknya di sekitar tonjolan di balik celanaku itu. Itu saja cukup, pikirku. Aku meremas dadanya yang besar semakin liar, memainkan putingnya dan menjilati lehernya dengan ganas. Aku mulai menggosok-gosokkan penisku ke selangkangannya yang sudah sangat basah.
“Aaahhh... Kaakk... Kak... Aku... Aku bisa.. Aku bisa kelu...arr.. Mmmhhh...”
“Keluarin aja... Mmhhh... Gapapa...” Aku menggerakkan pahaku semakin kuat, rasanya aku sendiri sudah mendekati klimaks. Aku mengeluarkan penisku dari celanaku, membuatnya bergeletar liar menggesek selangkangan dan paha Vany. Remasanku semakin kencang dan liar. Aku benar-benar sudah mau keluar.
“Kaakkk... Kaakkk... Aku... Aku KELUAR... aaAAHHH... AAHHH!!!”
Slllsssrrrlsshhhhh.... Aku terkejut saat penisku tersemprot cairan vaginanya. Vany orgasme dan squirting, menyemprot penisku dengan sangat kuat. Tak butuh waktu lama untukku untuk mencapai giliranku.
“Ooohhh... VAAANNN!!! MMMMHH!!!”
Aku meledakkan spermaku satu, dua, empat, enam kali dalam jumlah besar, melumuri paha dan perutnya, bahkan ada yang menyemprot hingga dada dan wajahnya yang imut.
Vany terkulai ke ranjang. Ia terlentang, dadanya yang besar bergerak naik-turun mengatur nafas. Putingnya masih sangat tegang. Aku mengatur nafas. Penisku masih sangat tegang, mungkin karena hasrat yang sudah kupendam begitu lama untuk merasakan empuknya dada Vany yang besar. Aku siap untuk melangkah lebih jauh lagi.
Tapi saat itu logika kembali ke pikiranku. Tidak, batinku. Ini sudah cukup parah buat kakak-adik. Aku melirik Vany yang tergeletak lemas, celananya basah kuyup. Paha, perut, dadanya yang besar dan wajahnya berlumuran cairan putih kental milik kakaknya. Aku tersenyum.
“Thanks Van...” bisikku.
“Hhh... Hhh...” Vany masih terengah-engah. “I... Hhh... Iya... Sama-sama...”
Aku terdiam, terpaku menatap layar TV. Rafael van Der Vaart sedang bersiap mengambil tendangan bebas untuk Belanda.
“Kak...”
“Ya?”
“Jangan lagi ya... Dosa...” bisiknya lemah menegurku.
“Oke...”
Van der Vaart menendang bola lambung, tinggi ke arah tiang jauh. Buffon menepis.
“Van...”
“Hm?”
“Tapi...” terlintas pikiran jahil dalam benakku, “Enak nggak?”
Joris Matijsen mengambil bola muntah, mengopernya pada Wesley Sneijder. Aku menoleh, dan dalam gelap, aku melihat senyum mengembang di wajah Vany yang kelelahan.
“... Enak, Kak...” jawabnya. “Enak banget...”
Ruud van Nistelrooy meneruskan tendangan Sneijder ke gawang Buffon.
“Van...”
“Ya?”
“Belanda gol tuh...”
“APA?! KOQ BISA!!!!”
“Van... Ayolah...”
“Nggak, Kak...”
“Malem terakhir, Van... Pliis... Udah ga bisa lagi loh abis inii...”
“Aku tau... Tapi kan waktu itu uda janji kita...”
Hari ini adalah hari terakhirku di Jakarta. Esok hari, aku sudah harus pergi ke Singapura untuk melanjutkan pendidikanku. Aku diterima di salah satu universitas terkemuka di Negeri Singa itu dengan beasiswa. Cukup membanggakan bagi kedua orang tuaku, dan tentunya bagi diriku sendiri. Aku sudah siap untuk berangkat; dua koper besar telah selesai dipak, siap menemani hidupku yang baru di sana.
“Van...”
“Nggak, Kaak... Iih maksa mulu deh...” jawab Vany dengan suara tenang.
Aku menghela nafas. Sambil menggelengkan kepala, aku berjalan ke arah ranjang Vany dan merebahkan diriku di sana. Aku sedang berusaha membujuk Vany untuk ML lagi denganku, mungkin untuk terakhir kalinya.
Setelah ML untuk pertama kalinya sore hari tanggal 14 Juli yang lalu, kami menghabiskan seminggu penuh untuk terus menerus ML. Kami benar-benar melakukannya setiap hari; saat mandi pagi, sepulang sekolah Vany, saat mandi sore, setelah makan malam, sebelum tidur. Benar-benar terus menerus. Tubuh kami seakan tak pernah puas merasakan kenikmatannya. Aku tak pernah puas meremas dan mengulum dadanya yang luar biasa besar itu, dan Vany tak pernah puas menerima hujaman penisku, dilanjutkan dengan ledakan sperma berkali-kali di dalam rahimnya. Nafsu kami tak pernah habis.
Tapi, setelah lewat seminggu, kami seolah disadarkan bahwa apa yang kami lakukan ini amat sangat salah. Entah kenapa kami kembali sadar akan status kami sebagai saudara kandung. Kami pun memutuskan untuk menghentikan semuanya.
Dan, hampir 2 minggu sudah lewat tanpa sekali pun kami ML. Kami masih berciuman, dan Vany pun membolehkanku untuk meremas dadanya (yang entah kenapa aku memiliki perasaan bahwa sepertinya sudah bertambah besar lagi ukurannya dari 34C) kapan pun aku mau, tapi hanya sebatas dari luar bajunya. Aku harus mengakui Vany sangat hebat dalam menahan nafsunya. Aku pun merasa cukup bangga aku dapat menahan nafsuku untuk tidak ‘memperkosa’ adikku ini, dan hanya melampiaskan nafsuku dengan onani sambil membayangkannya.
Tapi, masih ada satu hal yang mengganjal dalam benakku. Aku belum sempat meng-anal pantat Vany yang montok itu. Sejak pertama kali ML dengannya, sudah ada keinginan dalam hatiku untuk menghujamkan penisku ke dalam anusnya, tapi sampai hari ini belum sekali pun aku mencobanya. Beberapa kali sudah kami ingin mencoba dalam seminggu masa gila-gilaan itu, tapi tak pernah berhasil (karena Vany selalu tegang dan menjadi kesakitan setiap kali aku mencoba memasukkan penisku ke dalam anusnya. Aku pun tak tega menyakiti adikku ini). Tapi malam ini sudah benar-benar malam terakhirku di sini, dan aku sudah sampai ke taraf amat sangat ingin. Membayangkan semua itu saja sudah membuat penisku tegang dari tadi.
“Van... Istirahat dulu lah... Dari tadi ngerjain PR terus ga capek ya...” kataku.
“Hahaha... Kalo aku istirahat sekarang sama Kakak ntar tambah capek...” jawabnya enteng, tanpa memalingkan kepalanya dari meja belajar. Vany sedang mengerjakan PRnya. Ia menjadi sangat sibuk sekarang. Maklum, Vany sudah masuk kelas 3 SMP, jadi sekolah memenuhinya dengan berbagai tugas dan ulangan untuk mempersiapkannya menghadapi ujian akhir.
Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum. Adikku ini benar-benar kuat dalam menahan nafsunya.
“.... Kakak juga ga capek ya ngebujuk aku... Udah tiga hari loh...” katanya setelah beberapa lama. Aku tertawa.
“Ya ga lah... Mengingat ini udah hari terakhir Kakak...” jawabku.
“Segitu pengennya kah?” katanya, menoleh untuk pertama kalinya. Aku mengangguk, bangkit dari ranjang, dan duduk di belakang kursi Vany. Aku memeluk pinggangnya.
“Yup... Segitu pengennya...” bisikku di telinganya. Vany tampak tidak terpengaruh. “Udah lama banget tau, Van...”
“Aku tau, Kak...” jawabnya lembut.
“Kamu ga pengen, apa?”
“Pengen lah... Tapi namanya waktu itu kan udah janji...”
Aku mencium bagian belakang telinganya dengan lembut. Vany bergetar sedikit.
“Kak... Jangan nakal...”
Aku tersenyum. Perlahan, tangan kananku bergerak naik, meremas dada kanannya dengan lembut. Vany mengenakan kaos biru yang agak longgar malam itu, tapi aku masih tetap dapat melihat 2 tonjolan sangat besar menyembul dari baliknya. Aku menjulurkan lidahku, menjilat belakang telinganya perlahan. Vany menarik nafas perlahan. Tubuhnya gemetar.
“Ka...ak.... Nakal ahh...” desahnya. Vany menggelengkan kepala, berusaha melepaskan diri, tapi pelukanku terlalu kuat. Ciumanku turun ke lehernya perlahan. Tangan kananku semakin kuat meremas-remas dadanya yang luar biasa empuk. Tangan kiriku menyibakkan rambut pendeknya, memberiku ruang yang lebih lebar untuk mencium leher adikku ini. Aku tau Vany sebenarnya sangat menikmati ini. Tanpa sadar, ia menelengkan kepalanya ke kiri sehingga aku semakin mudah melumat lehernya.
“Plis, Van... Terakhir banget kan ini...” bisikku.
“Hmmh... Kak....” desahnya pelan, jelas-jelas menikmati. “Kakak tuh paling pinter maksa orang...”
Vany berbalik, mencium bibirku. Lidahnya masuk, segera kubelit dengan lidahku. Vany sangat cepat belajar dan sekarang sudah dapat mencium dengan sangat baik dan ahli. Luar biasa. Vany mengulum lidahku, menjilat dan membelitnya.
“Mmh... Kak... Tau nggak...” katanya setelah ciuman terlepas.
“Hm?”
“Besok tuh pas 14 hari kita ga ML... Sayang tau... Rekor”
“Gapapa... Bagus donk!” ujarku sambil tersenyum. “Kamu tau kan angka favorit Kakak? Nomer punggung Kakak di tim Futsal? Tim Bola di SMP-SMA dulu?”
“Ya... 13,” jawabnya sambil nyengir menyerah. Ia menciumku lagi.
“Jadi... Perfect day...” bisikku. Vany menggelengkan kepalanya kalah.
“Iya deeh...” jawabnya sambil tersenyum. Aku tertawa lebar.
Kugendong adikku dari kursinya dan kubawa ia ke ranjang. Vany menurut saja. Kurebahkan diriku di atasnya, menciumnya dengan lembut. Vany membalas, menikmati. Jemariku bermain di atas dadanya yang besar, kedua tanganku meremasnya kuat-kuat. Luar biasa, empuk dan kenyal.
“Mmh... Kak.... Mmmm...” Vany berusaha berbicara di tengah ciuman. “Pelan-pelan kali.. Mmmhh...”
“Mmm... Biarin....” jawabku tak peduli. Vany mendengus geli.
“Kak... Bentar...” katanya setelah beberapa lama. Ia mendorongku hingga aku berguling ke sisinya. Vany naik, duduk di atas perutku. Tersenyum, ia berbalik, memunggungiku, menghadapi penisku yang telah tegang setegang-tegangnya.
“Masih inget ini nggak?” bisiknya.
Aku tersenyum. Tak mungkin aku lupa. Ini adalah posisi yang mengawali segalanya, malam itu, saat pertandingan Belanda vs Italia. Aku duduk, membuatnya merosot ke pangkuanku. Penisku terjepit di antara pahanya yang mulus.
Dengan lembut, kucium belakang telinganya. Vany memejamkan mata, menggeliat menikmati. Perlahan, ciumanku turun ke lehernya. Adikku menelengkan kepalanya lagi, memamerkan lehernya yang kurus, yang segera kulumat dengan nafsu. Tanganku merogoh melalui bawah ketiaknya, meremas dan memainkan kedua buah dada Vany yang luar biasa. Vany membalas dengan merogohkan tangannya ke dalam celana pendekku, menggenggam penisku dengan lembut, kemudian perlahan mengocoknya. Tangan mungil dan halus Vany bergerak, memijat, mengelus penis kakaknya.
Dalam hati, aku tersenyum. Vany telah sangat banyak berubah. Aku masih ingat saat posisi ini pertama kali kami lakukan bermalam-malam yang lalu, Vany tidak berani menyentuh penisku; ia hanya mau meletakkan ujung jari telunjuknya. Betapa sebulan sangat cepat mengubah orang.
Kocokan Vany semakin cepat. Ia mengeluarkan penisku dari celana pendekku, menggenggamnya dengan kedua tangannya dan mengocoknya kuat-kuat. Aku merasa tak tahan jika dibeginikan terus.
“Van... Stop... Kakak ga mau kuar sekarang...” kataku, masih sambil mencium dan menjilat leher dan rahangnya. Vany tertawa.
“Hahahaha... Iya ya... Simpen buat ntar ya...” katanya sambil melepas genggamannya. Aku mengangguk. Vany beranjak dari atasku. Ia bergerak turun, menghadapi penisku dan kembali menggenggamnya.
“Tapi, kalo diginiin masa masih gamau dikeluarin?” bisiknya menggoda. Tanpa aba-aba, tiba-tiba Vany memasukkan penisku ke dalam mulutnya dan menyedotnya kuat-kuat. Aku terkejut.
“V.. Van!! Ngghh...”
“Mmm.. N... Naba Kak? Mmm.. Sllrrppp...” katanya dengan mulut penuh.
“Ja... Ooh... Jangan tiba-tiba... Mmmhh... Jangan tiba-tiba gitu...”
Vany hanya mendengus tertawa. Ia melanjutkan menyedot, menjilat penisku. Ia memainkan lidahnya dengan ahli di bagian bawah penisku. Kepalanya bergerak-gerak naik-turun. Matanya terpejam.
“Van... Nnh.. Van kamu... Udah jago banget ya... Mmhhh... ssSekarang...” kataku tergagap. Memang enak sekali oralnya sekarang. Vany sangat cepat belajar. Tekniknya bahkan sudah hampir sehebat Grace, hanya minus bibir tebalnya.
“Mmhh... Sejara... Selama... Mmm... Semigu... Tiab hari... Mmmm... Sllrpp... gni... tlus... Mmmm...(Secara selama seminggu tiap hari gini terus),” jawabnya.
“Ya... Tapi.. Oohh... Van kamu cepet banget belajar... Nnnhhh... Enak banget...”
“Thanks... Sllrpp...”
Aku sudah menyerah dan akan meledak saja, tapi tiba-tiba Vany menghentikan sedotan dan kulumannya. Ia menegakkan diri, melepas kaosnya dengan perlahan dan seksi, lalu melemparnya ke sudut kamar. BH-nya yang putih berenda tampak sangat kesulitan menahan kedua gunungnya yang mulus dan luar biasa besar, bahkan nampak lebih sulit dari saat terakhir aku melihatnya.
“Van... Kamu tuh beneran tambah gede ya toketnya?” tanyaku. Vany mengangguk.
“Berapa ukurannya sekarang?” tanyaku lagi. Vany tertawa jahil.
“Mau tauuuu.. Ajaa...” ujarnya nakal.
“Aaahh... Vaann.. Kasih taulaah...” pintaku.
Vany nyengir, mengangkat bahu tak peduli. Dengan cuek, perlahan ia melepas BHnya. Dadanya jatuh berguncang bebas saat terlepas dari bekapan BH itu, menggiurkan sekali. Putingnya yang coklat muda sangat sempurna; areolanya kecil dan bulat, sementara putingnya tegak menantang.
Vany mendekatkan dadanya ke penisku, menjepitnya di antara kelembutan dan mulai menggosok dan memijit penisku perlahan di antara dadanya. Aku tak dapat melukiskan kenikmatan di titf*ck oleh Vany. Sungguh luar biasa. Mengetahui kenyataan bahwa ukurannya telah bertambah besar semakin menambah kenikmatannya.
“Ooohh... Vvaann... Ggiiilaa... Nnnhhhh...” suaraku tercekat. Enak sekali rasanya. Vany menggerakkan dadanya naik-turun, bergantian kiri, kanan, kiri, kanan. Setiap kali ia semakin mengencangkan jepitan dadanya. Luar biasa. Aku menunduk ke bawah, melihat kepala penisku yang telah merah membara hilang-timbul di dari belahan dadanya yang sangat besar. Vany menjulurkan lidahnya, menjilati kepala penisku. Aku tak tahan lagi, penisku serasa berdenyut-denyut. Vany mengetahuinya.
“Keluarin, Kak... Yang banyak...” bisiknya sambil mempercepat gosokan dan pijatan dadanya.
Aku tak menunggu disuruh dua kali. Kuledakkan spermaku berkali-kali, menyemprot muka adikku, melumuri leher, dada, tangannya. Vany memejamkan mata dan menahan nafas. Bulir demi bulir cairan putih kental itu melumuri wajah imutnya, sebagian bahkan mengenai poni rambut pendekknya.
Aku menghela nafas panjang. Enak sekali. Sudah sangat lama rasanya aku tidak merasakan kenikmatan seperti ini; tidak dapat dibandingkan dengan kenikmatan onani sehebat apa pun. Vany menjilat sisa sperma di sekitar mulutnya, menelannya. Seperti biasa, penisku membutuhkan lebih dari sekali keluar untuk puas menikmati tubuh adikku ini. Vany merebahkan kepalanya di pinggangku, mengelus penis kakaknya yang masih sangat tegang.
“Ayo Kak... Giliranku sekarang...” bisiknya.
Aku menurut, beranjak ke bagian bawahnya. Vany merangkak menaiki ranjang, kemudian berbaring terlentang, mengangkang lebar untuk kakaknya. Perlahan, kulepas celana pendeknya, menampakkan celana dalam... G-string!
“Heh! Sejak kapan kamu pake G-string?” tanyaku terkejut.
“Hehehe... Kakak suka, kan?” godanya sambil nyengir.
Aku menggeleng-gelengkan kepala sambil nyengir. Luar biasa. Vany sudah benar-benar berubah dari gadis kecil imut yang sangat polos menjadi cewek luar biasa seksi dan cenderung nakal. Kubuka simpul tali tipis yang mengikat celana dalam adikku di tempatnya, melepasnya. Vagina Vany masih sama mulus dan tembemnya, dengan bulu sangat tipis yang membuatnya semakin seksi. Cairan bening mengalir dari dalam vagina adikku, sudah basah.
“Kakk... Jangan diliatin teruss... Ayo donk...” pintanya. Aku nyengir, segera membenamkan wajahku di selangkangannya, menyedot dan menikmati vagina adikku. Aroma segarnya segera memelukku. Vany menggrunjal, mengejang, menggeliat menikmati.
“Aaah... Kakk... Koq sekarang rasanya.... Aaahh... Lebih enak sih??” desahnya.
“Mmm... Mungkin karena udah lama nggak...” jawabku.
“Ooh... Kakk...”
“Kalo... Diginiin lebih enak ga?” aku menjulurkan lidahku, memasukkannya ke dalam vagina adikku. Vany mengejang.
“AaaHhh... EnaaAAKK... Oohh... Kaakk...”
Aku tersenyum, memasukkan lidahku semakin ke dalam. Kugerakkan dan kumainkan di dalam vaginanya. Tiba-tiba lidahku seakan tersedot ke dalam, dan sambil menjerit kencang, Vany squirting sekuat-kuatnya, menyemprot mukaku dengan cairan dingin bening.
“Ooh... OooOoh... Udah lama banget ga squirting sekenceng ituu.... Mmmhh..” katanya lemas. Tubuhnya mengigil. Aku merangkak ke atasnya, penisku yang tegang sudah tak sabar, menunjuk tepat ke arah vaginanya yang basah kuyup. Kutatap mata adikku dalam-dalam.
“Siap? Langsung aja?” tanyaku lembut. Dengan keyakinan penuh, walaupun masih lemas, Vany mengangguk.
Aku menempelkan kepala penisku di mulut vaginanya. Sambil menatap matanya adikku, aku menghujamkan penisku ke dalam vaginanya dengan lembut. Vany mengerang, mengejang. Walaupun Vany sangat tenang kali ini, tidak seperti saat pertama kali aku ML dengannya, tapi sempitnya vagina adikku masih sama. Seolah seperti tidak ada pengaruhnya seminggu penuh ditusuk-tusuk penisku setiap hari. Tiba-tiba cengkeraman Vany di seprei mengencang; Vany squirting lagi. Terkejut, aku mencabut penisku. Aku tahu ia sendiri terkejut karena squirting tiba-tiba, padahal baru saja dimasuki.
“Ke... Kenapa koq tau-tau squirting lagi? Kakak bahkan belon mulai loh...” kataku terperangah. Vany terengah-engah.
“Nggak... Nggak tau... Tadi... Hhh... Tadi tau-tau kayak ada yang dorong dari dalem rasanya pengen keluar lagi... Gila...” jawabnya, kebingungan.
Kukecup bibir adikku, menenangkannya. Kembali aku memasukkan penisku ke dalam vaginanya. Perlahan, kutusukkan lebih dalam. Vany memjamkan matanya, merasakan penis kakaknya memenuhi vaginanya. Saat akhirnya kepala penisku menyentuh mulut rahimnya, Vany memeluk leherku erat, menarik wajahku kedekat wajahnya, mencium bibirku dengan nafsu. Aku menarik dan menghujamkan penisku, semakin lama semakin cepat. Kepala penisku menghantam-hantam mulut rahim Vany setiap kali kutusukkan penisku kuat-kuat.
“Aaahhh... YEESS... Oohh... Y... Aaahh... Kaakkk... Yeess... Mmmm!!!” desahan Vany memenuhi ruangan.
“Mmmhh.. Vaan... Kenapa kamu masih sesempit ini sii... Mmmhh....”
Malam itu AC berhembus dingin di kamar Vany, tapi kami sungguh tak merasa kedinginan walaupun bugil. Hawa panas seperti menguar dari tubuh kami. Aku dan Vany bergulat di ranjang. Kami berciuman dengan sangat panas; lidah kami saling membelit. Decak lidah kami terdengar seksi di kamar yang sepi. Keringat mengucur, menetes, membasahi tubuh kami. Pinggulku seakan tak mau berhenti bergerak, mengayun menghujam vagina adikku kuat-kuat. Vaginanya seakan semakin sempit setiap kali kumasukkan penisku ke dalam.
“Mmmhhh.... NnnnHHH!!! Kaakk... Ka... K... Kakak... Nabrak-nabrak rahimku.. Oohh.... oh... Ooh... Kerasa sampe... Perutt... Nnnyhh...” jerit dan desah Vany seirama hujaman penisku. Nafasnya tak karuan.
Kedua tanganku meremas-remas dada adikku yang montok dengan nafsu. Jari tangan kiriku memainkan putingnya kanannya yang tegang, sementara aku menyedot dan menjilat puting kiri Vany yang luar biasa sensitif. Aku menyedotnya kuat-kuat, masih dengan harapan kosong akan merasakan susu yang manis menyemprot dari dadanya yang empuk dan besar ke dalam mulutku.
“Kaak... Jangan... Aaahh... Kakak tambah gedeeeEE di dalem... aaahhh...” desahnya.
“Ka... Kamu yang tambah sempit ya... Mmmhhh....”
“Nnaah... Kaaak... aaa... Kaakk... Keluarr... lagggiiIII...”
Vany, tak kuasa menahan rangsangan yang begitu hebat, orgasme untuk ketiga kalinya. Tapi yang keempat segera menyusul bahkan hampir bersamaan. Vany squirting banyak-banyak untuk multiple orgasme nya... Luar biasa. Vaginanya seakan menyempit setiap kali ia menyemprotkan cairan keluar, membasahi penisku. Aku tak peduli, semakin mempercepat tusukkanku. Aku tahu sebentar lagi aku akan keluar.
“Van... Vaann... Yang ituu... J.. Jurus... Kammuu... Mmmhh...” pintaku.
‘Jurus’ Vany adalah kemampuan adikku yang luar biasa untuk memainkan otot-otot vaginanya sedemikian rupa sehingga menjepit penisku erat-erat, dan menimbulkan sensasi menyedot dan memijit bergelombang (baca episode 3). Aku tak pernah tahan untuk tidak meledakkan spermaku jika merasakannya. Sisi buruknya adalah karena saking tidak kuatnya aku, aku tak pernah sempat untuk menarik penisku keluar dan mengeluarkannya di luar; pasti selalu keluar di dalam tubuh adikku. Tapi aku sudah mulai tak peduli.
Vany menurut. Wajahnya berkonsentrasi. Sesaat kemudian, sensasi itu datang; penisku seperti disedot kuat-kuat ke dalam vaginanya yang sempit, disertai gelombang yang menyengatku. Aku tak pernah tahan.
“Vann... Mmhh... vaAAAANNNYYY!!!!”
“Di.. DI dalem Kakk.. NNnnHHH!!!”
Aku meledakkan spermaku tanpa berusaha menariknya keluar. Berkali-kali penisku menyemprotkan sperma ke dalam rahim adikku, seolah tak mau berhenti.
“Aahhh... Hhh... Kaak... Banyak bangett... Anget banget...” desah Vany.
Semprotanku berhenti. Aku dapat merasakan cairan hangat kental itu mengalir keluar dari dalam vagina Vany, melumuri bahkan penisku sendiri yang masih belum puas. Aku masih belum mencabut penisku dari dalam vaginanya.
Aku membenamkan kepalaku dalam empuk dan lembutnya dada Vany. Nyaman sekali rasanya. Vany membelai rambutku. Kami terdiam, terengah-engah, mengatur nafas. Keringat membanjiri tubuh kami.
“Belum puas ya Kak...” bisik Vany. Aku mengangguk, masih dalam dekapan dadanya. Kuangkat wajahku sedikit, kutatap mata adikku.
“Van...”
“Hm?”
“Mau coba lagi nggak?”
“Apa... Anal?” tebaknya dengan tepat. Aku mengangguk.
Vany terlihat ragu.
“Hmm... Waktu itu sakit kan, Kak...”
“Ya... Makanya kamu rileks aja... Pasti bisa lah...” kataku.
Vany masih tampak ragu, tapi ia tetap mengangguk perlahan. Ia berbalik hingga telungkup di ranjang. Dadanya yang besar tampak sangat menggiurkan menempel di ranjangnya. Tanpa kusuruh, ia mengangkat pantatnya, nungging. Spermaku masih menetes keluar dari vaginanya. Seksi sekali. Aku berlutut di belakangnya. Kuletakkan penisku di atas pantat Vany, sementara kedua tanganku membelai pantatnya.
“Tau nggak... Pantat kamu tuh hampir semontok pantat Cherry...”
“Aaa... Bohoongg... Cherry kan pantatnya hampir kayak pantatnya Kim Kardashian,” ujarnya. Aku tertawa. Kuremas pantat adikku dengan gemas.
“Tapi kamu juga montok, tau...”
Aku mulai dengan membuka belahan pantatnya menggunakan kedua jempolku. Anusnya tampak merah dan sempit. Aku tahu ini akan sulit, dan tentunya akan cukup sakit bagi Vany. Tapi aku benar-benar sangat ingin meng-anal adikku ini. Kuletakkan penisku di anusnya dan mulai mendorongnya. Sulit sekali, sangat keras.
“Van... Rileks ya.. Kalo kamu tegang jadi semakin sakit,” kataku lembut.
“Iya, Kak...” jawabnya. Tapi aku dapat menangkap nada tegang dalam suaranya.
Aku berusaha lebih kuat menusukkan penisku. Vany mengejang. Aku sadar bahwa butuh pelumas agar lebih mudah memasukkannya. Kutusukkan penisku ke dalam vaginanya. Vany terkejut.
“NnhhH?! Kak.. Aahh... Katanya mau anal?”
“Iya... Kakak butuh ngelicinin penis kakak dulu biar gampang...” jawabku. Vany mengangguk. Kuhujam-hujamkan penisku di dalam vaginanya yang sangat becek. Setelah aku merasa cukup basah, kutarik penisku keluar dan kembali aku berusaha menusukkannya ke dalam anus Vany. Jempolku berusaha menarik anusnya melebar lebih kuat. Masih belum bisa. Aku kembali memasukkan penisku ke dalam vaginanya, melumasinya dengan cairan adikku, kemudian menariknya keluar dan kembali menusukkannya.
Sekitar lima kali aku melakukan ini saat aku merasakan anus Vany mulai mengendur. Aku rasa lama kelamaan Vany sudah dapat rileks dan tidak terlalu merasakan sakitnya. Kepala penisku mulai dapat masuk sedikit.
“Aah... Kak... Kak... Kayaknya udah bisa... Nnhh...” desah Vany.
“Ya... Siap-siap ya... Ini bakal sakit...” kataku mempersiapkannya.
Tiba-tiba, lebih cepat dari yang aku harapkan, kepala penisku menghujam masuk ke dalam anusnya. Seperti ada barikade yang runtuh.
“MMMMMHHHHHHHHH!!!!!!! MMMMHHHHH!!!!!” Vany menjerit-jerit tertahan dari balik bantal. Aku tahu seperti apa sakitnya pertama kali di-anal.
“Vann.. Van... Sshh... Tenang dulu, sayang... Bentar lagi sakitnya ilang...” bujukku. Aku mendekatkan wajahku ke kepalanya, kucium pipi adikku. Wajah Vany merah padam menahan sakit. Air mata meleleh dari matanya.
“Ooh... Kak... Kak itu bener-bener sakit... Hhh...” bisiknya. Aku mengangguk. Kukecup lagi pipinya, berusaha menenangkannya. Saat itu, perlahan-lahan aku mendorong penisku lebih dalam lagi ke dalam anusnya. Ini bahkan lebih sempit dari vagina Vany.
“Van... Pantat kamu... Sempit banget gila...” bisikku di telinganya. Vany tersenyum lemah di balik kesakitannya. Tapi sekarang wajahnya mulai tidak semerah tadi, dan sepertinya sakitnya sudah mulai menghilang.
“Kak... Ayo lanjut...” pinta Vany akhirnya. Aku mengangguk.
Perlahan, aku mulai menggerakkan penisku; menariknya setengah jalan keluar dari anus Vany, kemudian menghujamkannya lagi, semakin lama semakin cepat. Sempitnya luar biasa. Vany sepertinya semakin lama juga semakin menikmati.
“Nnhh... Nnn... Mmmhhh.. Kak... Enak juga... Loh... aAahh..” desahnya.
“Iyakan... Mmmhh... Mmh.. Oh Van ini bener-bener sempit...”
“Iya... Aahh... Punya Kakak.. Aahh... Jadi kerasa lebih gede lagi...”
Aku sangat menikmati meng-anal Vany, akhirnya. Sensasi pantatnya yang empuk yang menepuk-nepuk pinggangku melengkapi sempit anusnya yang luar biasa membungkus penisku. Aku menghujamkan penisku semakin kuat. Suara ‘plek-plek-plek-plek’ pantatnya yang menepuk-nepuk pinggangku terdengar semakin keras memenuhi kamar Vany malam itu. Vany mulai mengencangkan jepitan anusnya (menurutku tanpa sadar).
“Kaak... Kakk... Kayaknya... Aaahhh.. Aku mau... Aahh.. aku mau keluarr...” desahnya setelah beberapa lama.
“Keluarin aja... Aaahh... Kakak terus masukin.. Aaahh... kan tetep... Mmmhh... Bisa... Nnhh...”
Vany tak menunggu lama. Sesaat kemudian ia semakin mengencangkan jepitannya. Ini luar biasa. Aku merasa hampir keluar juga.
“Vann... Van tunggu.. Mmhh... Tunggu jangan keluar dulu... Kakak bentar lagi kuar juga.. Tungg... Tunggu... Nnnhh... Aaahh...”
“Okkee.. Oke cepetan kak....aAaahhh... Aku udah... KAK AKU... Ga... GA TAHANN...” desahannya semakin cepat. Nafasnya semakin tak karuan.
“Ya... Yaa.. OKE... Vann.. VANNN... Tahan dikit lagii...” pintaku.
“Ga bisaa... Aaahh... Ga... TahaaaaaNNNNNN!!!!! AAAHHH!!!!”
“Oooh... VAAANNNN!!!!”
Kami mencapai orgasme di saat yang sama. Vany menyembur-nyemburkan cairannya kuat-kuat di saat yang sama aku meledakkan spermaku berkali-kali di dalam anusnya yang luar biasa sempit. Saat Vany squirting anusnya menjadi lebih sempit lagi, sehingga penisku seperti diperas untuk mengeluarkan sperma sebanyak-banyaknya.
“Vvvv... vvvaann... Mmmhh... Kakak... Ga bissa.. berenti kuaarr... Ooohh...” desahku dengan suara tercekat. Ini enak sekali. Aku mencabut penisku yang masih mengeluarkan sperma, dan menhujamkannya ke dalam vagina adikku. Vany tiba-tiba mengeluarkan jurus andalannya itu tanpa peringatan.
“VAANN!! UOOHH!!! VAANN... VV... VAN... Kakak... Keluar lagii...”
“KELUARIN KAAK... YANG BANYAK... Aaah... Yang banyaakkk... Buat terakhir kalinyaa....”
Aku meledakkan lagi spermaku berkali-kali ke dalam rahimnya bahkan sebelum ledakan sebelumnya berhenti. Benar-benar luar biasa. Gelombang demi gelombang melanda penisku. Vany seolah tak mau berhenti membuat kakaknya mengeluarkan spermanya hingga tetes terakhir di dalam tubuhnya.
Vany roboh, tertelungkup di ranjang. Spermaku mengalir keluar perlahan dari vagina dan anusnya, melumuri seprei ranjangnya. Aku beringsut ke sisinya, tergeletak lemas, terengah.
“Hh... Kak... Udah kan... Kesampean.... Hhh..” katanya lemas.
“Hh.. Iya.. Hh... Thank you...” aku tak dapat berkata banyak.
Selama beberapa lama, hanya desah nafas kami yang terdengar di ruangan itu. Aku menatap langit-langit kamar dengan puas. Sekarang aku dapat pergi tanpa beban.
“Kak...” kata Vany pelan setelah beberapa lama.
“Hm?”
“Aku pasti hamil kali ini...”
Aku tak dapat menjawab. Aku pun berpikir begitu. Sudah terlalu banyak aku mengeluarkan spermaku di dalam tubuhnya.
“... Kalo emang ternyata gitu gimana?” tanyaku setelah beberapa lama.
“Ya... Mau gimana lagi...”
“Kamu ikut Kakak pindah ke Singapore aja...”
Vany mendengus geli.
“... Mau deh...” jawabnya. Suaranya bergetar. Ia beringsut mendekatiku, memelukku erat. Vany mengecup pipi kakaknya dengan sayang. Aku menoleh, melumat bibirnya yang mungil. Saat ciuman kami terlepas, aku melihat air mata mengalir di pipinya. Mata Vany berkaca-kaca.
“Ke... Kenapa nangis, sayang?” tanyaku lembut.
“Aku... Hk... Aku... Aku bakal kangen Kakak...” jawabnya tersendat.
“Iya... Kakak juga bakal kangen kamu... Banget...”
Vany menangis di sisiku. Kata-kata seperti menghilang dari mulutku. Aku hanya dapat memeluknya, membelai rambut pendeknya.
“Aku... Hk... Kayaknya... Kayak... Ngerasa Kakak... Terlalu cepet... Hks.. Pergi...” bisik Vany dalam isaknya.
“Halah... Terlalu cepet apa... Udah hampir 15 taon barengan juga...” jawabku bercanda sambil tersenyum menatapnya.
“Aku.. Aku ga mau kehilangan Kakak... Aku... Kakak udah kayak cowokku...”
“Iya...” Kupeluk adikku erat. Air matanya mengalir membasahi pundakku.
Pagi itu kami sedang dalam perjalanan ke airport. Ayahku menyetir di depan, ibuku duduk di sebelahnya, sementara aku dan Vany duduk di kursi belakang. Vany terlelap, kepalanya terkulai di bahuku.
“Vany koq daritadi duduknya aneh ya...” kata ibuku.
“Hm? Aneh kenapa?” ayahku menimpali.
“Miring gitu...”
“Ya namanya tidur...”
Aku tersenyum, tapi diam saja. Vany memang duduknya aneh karena berusaha agar anusnya tidak menyentuh jok mobil. Pastinya masih sakit karena baru di anal untuk pertama kalinya malam sebelumnya.
Bandara Soekarno-Hatta cukup ramai hari Minggu pagi itu. Setelah check-in dan memasukkan bagasi, kami menunggu di sebuah restoran sambil mengecek apa-apa yang akan aku bawa, jangan sampai ada yang tertinggal. Ibuku menjadi cukup panik pagi itu, mungkin karena tegang anak sulungnya akan segera pergi.
Akhirnya, saat keberangkatan tiba. Aku berjalan ke arah pintu keberangkatan, bersiap untuk berpisah untuk waktu yang cukup lama dengan keluargaku. Perpisahan kami cukup emosional. Ayahku memelukku untuk waktu yang lama. Aku sungguh-sungguh berterima kasih atas semua didikan dan kebijaksanaannya selama ini. Setelah itu kupeluk dan kucium ibuku dengan sayang, yang dengan air mata bercucuran menyampaikan pesan-pesan dan wejangan bagi anak sulungnya yang akan hidup di negeri orang. Aku tak kuasa menahan haru. Saat itu aku merasa sangat berdosa di depan mereka, melakukan sesuatu yang⎯jika mereka tahu⎯pasti akan sangat memalukan mereka. Kupeluk kedua orang tuaku.
“Pah... Mah.. Maafin aku ya...” bisikku di telinga mereka. Aku tahu mungkin mereka tak paham untuk apa aku meminta maaf, tapi aku tak peduli. Aku menangis dalam pelukan mereka cukup lama.
Dan, tiba saatnya berpisah dengan Stevany, adikku. Kami bertatapan sangat lama. Vany benar-benar menangis saat memelukku.
“I love you so much, Hunny...”
Aku tersenyum. Vany memanggilku ‘Hunny’.
“I love you too, Van...” kataku sungguh-sungguh.
Kami berpelukan sangat erat. Aku benar-benar tak ingin melepas adikku.
“Jaga diri ya, kamu...” pesanku padanya.
“Ya... Kakak juga...” bisik Vany. “Jangan kebanyakan ML sama Cherry...”
Aku tertawa.
“Kamu tuh... Masih sempet-sempetnya mikir itu...”
“Hehehe... Tapi bener kan...”
“Iya... Kamu juga... Jangan ML sama cowok sembarangan...”
“Nggak...” jawabnya mantap. “Aku mau nunggu Kakak pulang...”
“Kuat apa?”
“Kuat... Kakak itu yang ga bakal kuat... Hehehe...”
Aku nyengir, mengecup pipinya. Sesaat sebelum melepas pelukan, Vany berbisik sangat perlahan di telingaku.
“Oya... Kakak masih pengen tau ukuran BHku yang sekarang?”
“Hahaha... Masih... Berapa?”
“32D...”
Aku merasa celana jeansku langsung menyempit sektika.“Dit! Jaga belakang!”
“DEFENSE! TAHAN ERIC!”
Eric berlari ke arahku, menggiring bola dengan lincah. Samuel mencoba menahannya, tapi ia terus berlari dengan lincah. Sekarang tinggal satu lawan satu denganku. Semua terserah padaku sekarang. Aku bergerak maju, membentangkan tanganku, menutup ruang geraknya. Eric menganyunkan kakinya, menendang. Aku menerkam…
BUAK!!!
Gelap…
“Dit… Dit lu gapapa?”
“Oi… Dit…”
Perlahan, aku membuka mataku… Wajah teman-temanku bergetar dan tampak kabur dalam pandanganku. Aku mengerjapkan mata, saat itulah aku merasakan linu yang amat sangat di selangkanganku. Sangat menyengat dan berdenyut-denyut rasanya. Eric juga menunduk di atasku. Wajahnya pucat pasi.
“Hei, man… Lu… Lu gapapa kan? Gue tadi ga sengaja… Abis…” katanya tergagap.
“Enak aja ga sengaja! Kan udah jelas dia bakal loncat ngambil bola! Kenapa lu tetep hajar sekenceng itu?!” Chris naik pitam, mendorong bahu Eric.
“Tapi… Gue emang ga sengaja!”
“Alaahhh…!!”
“Hei…”
Semua menoleh ke arahku.
“Chris, udalah… Gue gapapa koq. Tadi lengah juga… Ric, gapapa… Gue tau lu ga sengaja…” kataku menghibur. Mataku berair menahan sakit. Perutku mual. Teman-teman tim futsalku berusaha menolongku berdiri. Aku berdiri dan melangkah tertatih-tatih kea rah gawang. Sakit sekali rasanya. Eric benar-benar mengerahkan kemampuan penuhnya tadi.
Hari itu aku dan teman-teman tim futsalku sedang bertanding melawan tim dari kompleks lain. Lapangan futsal di dekat rumahku yang biasa kami sewa sedang mengadakan kejuaraan futsal. Hari itu pertandingan terakhir penyisihan grup. Sebenarnya kedua tim yang bertanding hari itu sudah pasti lolos; kami hanya memperebutkan posisi juara grup, karena bila kami mendapat posisi runner-up, lawannya adalah tim yang sangat jago dari grup lain. Terus terang, kami agak ngeri melawan tim itu.
Saat ini skor imbang 5-5… Pertandingan tinggal tersisa 2 menit lagi. Jika posisi tetap seperti ini, kamilah yang akan lolos sebagai juara grup. Tapi dalam 2 menit terakhir ini tim Eric terus memborbardir gawang yang kukawal.
“Hei… Lu gapapa? Masih bisa maen lagi? Tinggal 2 menit koq…”
Aku mengangguk, berusaha menegakkan badanku di bawah mistar gawang. Pandanganku agak kabur saat ini. Pertandingan dilanjutkan…
* * *
Aku berjalan perlahan-lahan ke arah rumahku. Selangkanganku masih sakit rasanya. Aku mengernyit, jengkel. Saat pertandingan tinggal tersisa 30 detik, sebuah umpan silang dari kanan kotak penalti timku diteruskan Eric dengan sebuah sundulan cantik. Aku benar-benar terkecoh. Akhirnya tim lawan menang 6-5, dan mereka menjadi juara grup.
Aku menggelengkan kepala. Susah sekali berkonsentrasi hari ini, apalagi setelah terkena tendangan bola futsal yang sangat keras tepat di penisku… Urgh!
Aku menggelengkan kepala lagi. Sebenarnya sudah sejak awal pertandingan aku sulit berkonsentrasi. Pikiranku terpaku pada adikku Vany… Terutama apa yang dilakukannya tadi pagi.
Tadi pagi, Vany harus berangkat ke sekolah karena ia menjadi ketua panitia MOS (Masa Orientasi Siswa) di sekolah. Hari ini para siswa-siswi SMP baru sudah harus masuk ke sekolah untuk menjalani masa orientasi, dan Vany harus menyiapkan segala sesuatunya dengan baik. Sebelum pergi, pagi-pagi sekali, Vany membangunkanku dengan ciuman nakal perlahan di leherku. Saat aku terbangun, aku melihat adik kecilku yang imut itu tersenyum manis, dengan kancing kemeja seragam sekolah yang tidak dikancingkan dan bra merah muda berenda yang diangkat. Dadanya yang besar menggelayut menggiurkan di hadapanku. Sekejap kemudian Vany sudah menjepit penisku dengan kedua dadanya yang empuk, memijat dan meremasnya perlahan. Aku yang terkejut hanya bisa menikmati sensasi luar biasanya. Tak butuh waktu lama bagiku untuk meledakkan sperma kentalku berkali-kali melumuri wajahnya yang imut. Setelah membersihkan wajahnya, Vany tersenyum puas, mengecup bibirku, kemudian pergi ke sekolah.
Bayangan akan apa yang terjadi pagi itu terus terngiang di kepalaku, bahkan saat pertandingan futsal sedang panas-panasnya sore itu. Mungkin itu yang membuatku dapat kebobolan hingga tujuh gol. Gila…
Lagipula… Sakit sekali... Bagaimana jika aku tidak dapat tegang lagi untuk seterusnya? Apa kata Vany? Grace? Cherry?
Langkahku gontai melintasi halaman rumah. Aku membuka pintu depan rumah. Sepi, kedua orang tuaku sedang menghadiri acara keluarga besarku di Semarang selama seminggu. Aku membanting sepatu futsalku di tempat sepatu, mendaki tangga dengan lemas menuju kamarku, membanting tas dan sarung tangan kiperku, melepas semua pakaianku, kemudian melangkah ke kamar mandi. Aku ingin cepat-cepat mandi air panas. Tanpa memperhatikan apa-apa, aku membuka pintu kamar mandi. Aku tertegun.
Vany sedang mandi dengan santainya. Tampaknya ia tak sadar aku membuka pintu kamar mandi. Vany bermain-main dengan air dari shower, menggosok lengan, leher, pantat, dan tentu saja dadanya yang besar menggiurkan.
“V… Van?”
Vany melonjak kaget. Ia berbalik, melihat kakaknya yang juga telanjang bulat berdiri di hadapannya.
“Eh… Kak? Koq ga ngetok dulu?” tanyanya gugup.
“Hah? Oh… Oh iya… Sory tadi kakak pikir ga ada orang…”
“Oh… Hahaha ya namanya kan kamar mandi bareng… Ketok dulu lah…” jawabnya santai. “Gimana futsalnya?”
“Kalah…6-5… Jadi runner up…” jawabku lemas. “Udah gitu punya kakak ketendang bola kenceng banget lagi… Jarak dekat…”
“Hah??! Oh ya?” ujar Vany terkejut. Ia memperhatikan penisku. “Tapi… Koq… Kayaknya gapapa ya…” lanjutnya. Aku menangkap nada geli dalam suara manisnya.
“Ya iyalah gapapa…. Dasar…” memang saat itu penisku sudah kembali tegang setegang-tegangnya. Segala pikiran tentang apakah aku dapat tegang lagi sirna sudah saat aku meihat tubuh Vany yang basah kuyup sedang mandi.
“Eh… Mm… Jadi…” kata Vany.
“Hah? Oh…” aku tersenyum. “Mau mandi bareng?”
Vany nyengir.
“Dasar nakal…” bisiknya. Tapi ia membukakan juga pintu kaca pembatas ruang shower. Aku masuk, dan seketika itu juga hangatnya air membasahi tubuhku. Damai dan tenang sekali rasanya.
Vany merapatkan dirinya ke arahku. Dadanya yang besar menekan tubuhku, kenyal dan empuk sekali rasanya. Vany mengusap perlahan punggungku.
“Mau aku sabunin, Kak?” tawarnya. Aku mengangguk.
Ia mengambil botol sabun cair, menuangnya ke atas telapak tangannya, kemudian mengusapnya perlahan di punggungku. Aku menunduk, memandang adikku. Vany mendongak, tersenyum. Kami saling bertatapan beberapa lama. Perlahan, Vany mendekatkan bibirnya ke arah bibirku. Aku menyambutnya lembut. Sangat perlahan, kami berciuman. Lidah Vany menusuk ke dalam mulutku dan membelit lidahku. Suara decak ciuman kami semakin lama semakin nyaring. Ciuman kami semakin panas, tapi masih dalam gerakan yang sangat perlahan.
Aku menjulurkan kedua tanganku, meremas pantatnya yang kencang dan bulat. Dalam benakku aku sungguh ingin meng-anal adikku ini suatu hari nanti. Vany menekankan dadanya semakin kencang ke arah tubuhku. Aku dapat merasakan putingnya yang mengeras, seksi sekali.
“Gimana MOS?” kataku saat ciuman kami terlepas. Aku bertanya sambil meremas-remas dadanya yang besar. Empuk dan kenyal sekali. Rasanya sungguh berbeda dengan dada cewek-cewek lain.
“Seru… Tapi anaknya pada susah diatur… Bandel-bandel…” katanya sambil memanyunkan bibir. Aku tertawa.
“Haha.. Bandel mana sama kamu? Hm?”
“Aah Kakak…” bisiknya manja. Tangan mungilnya sudah berpindah mengusap bagian depan tubuhku sekarang. Aku memainkan putingnya yang telah sangat keras. Kujilati putting kirinya yang sensitif, sementara tangan kiriku meremas dada kanannya dengan nafsu. Vany memejamkan menikmati. Perlahan, tangannya bergerak ke arah penisku yang sangat tegang. Vany jongkok, menghadapi penisku sambil mengusapnya perlahan dengan sabun.
“Aduh kacian… Kamu tadi kena bola ya?” Vany berbicara pada penisku, seolah berbicara pada anak kecil yang lucu. Ia mengusap-usapnya, mengocoknya perlahan. Enak sekali.
“Mmhh… Van… Tuh kan… Bandel kamu…” desahku.
Vany nyengir. Ia membiarkan air dari shower membilas sabun dari penisku hingga bersih. Ia menjilat-jilat penisku dengan perlahan, dari pangkal hingga ujungnya.
“Aku sedot ya, Kak? Biar ilang sakitnya…” katanya sambil mendongak memandangku. Aku mengangguk.
Vany segera memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Perlahan-lahan, ia menggerakkan kepalanya maju, memasukkan semakin banyak bagian dari penisku kedalam mulutnya.
“Van.. Mmhh… Van ati-ati keselek…”
Vany terus memajukan kepalanya. Aku melihat semakin lama ia semakin kesulitan. Saat ¾ bagian penisku sudah masuk, aku merasa kepala penisku telah menyentuh leher dalamnya. Vany memainkan lidahnya di bagian bawah penisku. Enak sekali.
“Aaahh… Vann.. Van.. Terus gitu… Mmmh…”
Vany menyedot semakin kencang. Gerakan kepalanya pun semakin cepat maju mundur. Lidahnya terus bergerak berputar-putar di bagian bawah penisku, menjilat pangkalnya. Aku tak tahan lagi.
“OOOHH.. VAANN… Ka… Kak mau… Keluarrr… MmmmHH!!!”
Aku meledakkan spermaku ke dalam mulutnya. Mulutnya yang mungil tak sanggup menahan semprotan yang begitu kencang. Vany melepaskan sedotannya, membuat semburanku beralih melumuri wajahnya dengan cairan putih kental.
“Ooh… Vaan… Van…” desahku keenakan.
Aku bersandar lemas ke tembok kamar mandi. Vany membiarkan semburan air dari shower membersihkan mukanya. Enak sekali rasanya. Penisku masih tegang, seperti 2 kali sebelumnya, tak cukup hanya sekali aku merasakan kenikmatan adik kecilku ini.
Vany memelukku. Dadanya yang empuk menekan tubuhku. Gejolak antara akal sehat dan nafsu kembali berkecambuk di benakku. Tapi memang nafsu selalu menang. Aku sudah melangkah sejauh ini… Aku rasa sudah terlambat untuk berputar kembali. Aku menunduk, menatap Vany yang balas menatapku. Dari sorot matanya, aku tahu bahwa nafsu juga telah menguasainya.
Tanpa sepatah kata pun, aku membalikkan badannya ke arah dinding kamar mandi. Seolah tahu apa yang hendak kulakukan, Vany meletakkan kedua tangannya pada tembok untuk bertumpu, berjinjit, mengangkat pinggulnya, menyerahkan sepenuhnya vaginyanya untukku.
Aku mengarahkan penisku, meletakkannya di belahan pantatnya yang montok. Sesaat, aku ingin mengawali semuanya dengan meng-anal Vany, tapi sesaat kemudian aku telah menggeser perlahan kepala penisku ke arah bibir vaginanya yang bersih tak berambut. Kumain-mainkan bibir vaginanya dengan kepala penisku; kuusap perlahan, lembut.
“Mmh… Kak… Masukin aja langsung…” pintanya.
Aku setuju. Kumasukkan perlahan kepala penisku. Vany berjengit pelan. Aku merasakan ketegangan mengaliri tubuh adikku.
“Kamu yakin, Van?” tanyaku.
Sekali lagi, logika berteriak-teriak di pikiranku. DIA INI ADIKMU! SADAR! Aku yakin suara yang sama juga berteriak, menggedor-gedor akal sehat Vany. Tapi saat itu kulihat anggukan perlahan tapi mantap dari adik kecilku ini. Keraguanku sirna.
Perlahan, tak ingin menyakiti, aku menusukkan penisku ke dalam vaginanya. Vany mengejang. Aku memasukkan semakin dalam, sudah masuk ¼ bagian sekarang. Sempit sekali… Agak sulit.
“Mmmhh… Aaahh… Aaa… Aaahhh Kak… S… ” Vany mendesah. Aku tahu pasti terasa agak sakit untuknya.
“Kalo sakit kasi tau Kakak ya…” bisikku. Vany mengangguk. Aku memasukkan semakin dalam. Kepala penisku menyentuh selaput tipis. Keperawanan Vany dipertaruhkan. Sekali lagi aku bertanya.
“Kamu bener-bener yakin…?”
Vany tidak menjawab. Tiba-tiba ia mendorongkan pantatnya ke arahku dengan kencang. Selaput daranya robek, penisku benar-benar masuk ke dalam vaginanya.
“AAAHHH….!!!!” Jeritnya kencang. Vany mengakhiri masa perawannya… Di usia 14 tahun. Aku melirik ke bawah, darah segar mengalir pelan dari arah selangkangannya, mengalir turun melalui pahanya.
“Oohh… Oohh… Masuk… Hh… Aku… Dimasukin… Ka…kak… Aaahh… Gede banget… Hhh…” desahnya, seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Wajah Vany merah padam. Nafasnya tersengal. Aku tahu betapa sakitnya saat pertama. Aku membelai rambut pendeknya perlahan.
“Kalo udah ga sakit bilang ya sayang…” bisikku lembut.
“…. Mmh… Terusin aja Kak…” pintanya. “Pelan-pelan…”
Aku memasukkan penisku semakin dalam perlahan-lahan. Luar biasa sempit dan hangat di dalam. Vagina Vany seolah menjepit penisku. Aku terus memasukkan penisku hingga kepalanya menyentuh ujung vagina Vany. Vany memiliki vagina yang sangat dalam untuk cewek semungil dia.
“Siap?” tanyaku. Vany tersenyum, mengangguk.
Kutarik penisku hingga setengah jalan, dan dengan kekuatan penuh aku menghujamkannya kembali ke dalam.
“Aaahh!!! Aaahh… Kakk!! Pelan… Pelaa… AANN!! Oohh… Aaahhh!!!” Vany menjerit-jerit keenakan. Aku menggerakkan pinggulku dengan kuat. Pikiranku semakin kabur. Realitas bahwa cewek yang sedang kusetubuhi sekaran adalah adikku sendiri sedikit demi sedikit hilang lenyap.
“Ooohh… Vaaannn… Kam…u… Sempit bangeeett… Aaah… Mmmhh!!” desahku. Aku menjangkau, meremas-remas dadanya yang menggelayut, berguncang-guncang seirama hantaman penisku.
“Kaa… Aaahhh… Kakak… punya… Aaahhh… Kakak punya yang… Mmmhh!! Kegede… ann… aahhh… Mhhh!!” jawabnya tak mau kalah.
Vany mengeratkan jepitan vaginanya. Enak sekali! Penisku seperti dipijat-pijat di dalam sana.
“Aaahh… Aaahhh… Mmmmhh!!! Mmmnn… Kaak… Ohh kakk…” desahnya setiap kali penisku menghujam ke dalam vaginanya. Pinggulku seakan bergerak otomatis, tak bisa berhenti. Sempit dan hangatnya vaginanya, dipadu dengan sensasi empuk pantatnya yang menghantam-hantam pinggangku sungguh tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.
Aku menggerakkan pinggulku semakin cepat. Kepala penisku menghantam-hantam mulut rahim Vany.
“Aaahhh!!! Kaakk… Kaa… Ooohh… Tambah… Gede… Aaahhh!!! Kakak tambah ged…eee… Lagi di… Aaahhh!!! Aaahhh!! Di dalem…MMMHHH!!! Kaaakkk!!!” Vany menjerit-jerit. Nafasnya sudah tak beraturan sekarang. Aku semakin kencang menggerakkan pinggulku. Suara pantatnya yang menghantam pinganggku menggema di kamar mandi.
“KAAKK!! KAA…KKK… LEPAS! LEPAS! LEPAAsss!! Aaakkuu… Mau… Kelu… AAARR!!!” Vany tiba-tiba berteriak. Aku terkejut, segera menarik lepas penisku dari vaginanya yang sempit. Seketika itu juga Vany menyembur-nyemburkan cairan vaginanya. Semprotannya kencang sekali dan berkali-kali. Vany merosot ke lantai, badannya gemetar hebat. Orgasme pertamanya sungguh dahsyat.
Tak menunggu lama, aku berlutut di belakangnya, kutunggingkan pantat Vany dengan kedua tanganku. Jempolku menarik bibir vaginanya lebar, dan penisku langsung menghujam dengan kuat untuk kedua kalinya ke dalam tubuh Vany. Lebih mudah sekarang, apalagi setelah squirting hebat tadi, vagina Vany menjadi sangat becek dan licin.
“Aaahhh!!! Kaaakkk… Kak! Kak… Kakk… Nnnhhh!!” Vany menjerit.
Buah pelirku menyenggol-nyenggol klitorisnya, membuat Vany semakin kegilaan menikmati seks pertamanya. Aku menggerakkan pinggulku dengan sangat cepat, menghantam bagian dalam vaginanya dengan kuat. Vany kembali mengencangkan vaginanya.
“Aah… aahhh… Aaahhh… aa… Kaak… Oohh… Ooohh… Enak… Bangett… Mmm… Nnnhh!!!” desahnya. Aku rasa saatku sudah semakin dekat.
“Ooohh... Vaaann... Kakak... Mau... Keluaarr... Mmmhhh... Mmmmhh... Aaahh...” kataku, tecekat. Vaginanya terasa begitu sempit dan nikmat.
“Aaahhh... Aaahhh... Kuarin... Di luar... Kaakk... Diluar kakk!!! Aaahh!!” pintanya.
“OOOHH!! VV... VVAANNN!!!!”
Aku mencabut penisku, menjepitkannya di antara kedua pantatnya yang kencang. Ccrroooottt!!! Crrooouuuttt!!! Crruuoottt!!!! Aku meledakkan spermaku berkali-kali dengan kencang, melumuri punggung dan pinggulnya, bahkan ada beberapa semprotan yang mengenai belakang kepalanya.
Vany terkulai, bernafas tersengal-sengal. Aku berlutut, melirik ke bawah dan terkejut. Penisku masih sangat tegang. Tubuhku seakan terus meminta tubuh Vany lagi dan lagi. Sebelum ini belum pernah aku masih tegang setelah dua kali keluar.
“Van… Lanjut di kamar aja yuk…” ajakku.
“Kakak... Hhh... Mas...Ih.. Bisa lagi?” tanyanya, tersengal. Aku mengangguk, dengan keheranan yang sama dengannya.
“Kamu masih kuat?”
Vany mengangguk lemas, masih terengah-engah dan gemetar.
Kumatikan shower. Aku mengambil handuk untuk mengeringkan badanku, kemudian kuselubungkan handuk itu ke tubuh mungil Vany yang gemetaran. Kubantu mengeringkan badannya.
Kuangkat, kugendong adikku ke kamarku. Kubaringkan ia dengan lembut di ranjangku. Aku naik ke ranjang, menunduk di atas tubuhnya. Nafas Vany sudah lebih teratur sekarang, ia menatap mataku. Dadanya yang besar bergerak naik-turun seiring tarikan nafasnya.
“Lanjutin Kak…” katanya sambil tersenyum. Tanpa kusuruh, ia mengangkat pahanya, mengangkang sangat lebar di hadapanku.
Aku mengarahkan penisku ke bibir vaginanya. Untuk ketiga kalinya, kumasukkan penisku ke dalam vaginanya yang sempit. Vaginanya yang semit seperti menyedot penisku ke dalam. Vany menggeliat, menggigit bibir bawahnya. Kedua tangannya mencengkeram seprei dengan erat.
Perlahan, kuhujam-hujamkan penisku ke dalam vaginanya. Tarik, masukkan, tarik, masukkan. Semakin lama semakin kuat, semakin lama semakin cepat.
“Aaahhh... AAHH!!! Teruss... Teruss...!! Terus kakk... Aaahhh!!! Ooohh Kaakk!!!” Vany mendesah liar. Matanya terpejam, menikmati.
Sambil terus menghujamkan penisku, aku meremas dadanya. Tak cukup, aku membenamkan wajahku di antara dua bantalan besar yang empuk itu. Jemariku memainkan puting-putingnya yang tegang.
“Kamu... Makan apa sih... Mmhh... Vann... Koq bisa... Mmmmhh... Gede gini?” tanyaku.
“Aaahh... Aaahhh... Gata...Uu... Mmm... Tau... Tau tau... Gede... Aaahhh...” jawabnya asal-asalan. Kujilati puting kirinya. Kusedot kuat-kuat, setengah berharap akan merasakan susu yang manis menyemprot dari dalam dadanya yang luar biasa itu. Vany meringis, cengkraman tangannya di seprei semakin erat.
“Aaahhhh!!! KaaKkk....!!! Maauu... Keluar... Lagggiiii!!! AAAHHH!!!” Vany berteriak. Squirting untuk kedua kalinya, penisku seperti disemprot cairan dingin. Aku tak peduli, kugerakkan pinggulku semakin cepat. Vany mengangkat pahanya, membantuku. Aku mencengkeram erat pinggangnya, menggerakkan tubuhnya seirama hantaman penisku. Vaginanya semakin mengencang.
Tiba-tiba, bagian dalam vagina Vany seperti bergerak memijat penisku kuat-kuat dengan bergelombang. Aku belum pernah merasakan sesuatu yang seperti ini! Terkejut, aku memperlambat genjotanku.
Aku mendongak, menatap wajah Vany yang merah padam. Dari sorot matanya aku tahu ia dengan sadar melakukan yang terakhir itu.
“Van... Va... Gimana... Yang... Ooohh yang tadi itu enak banget!!! Aahh...” kataku. Vany nyengir lemah. Dadanya mengayun-ayun mengikuti irama gerakan pinggulku.
“Kakak... Aaaahhh... Kak... Mau... Aaahhh... Mau lagi?” godanya. Aku mengangguk cepat-cepat. Vany nyengir semakin lebar.
“Tapi.. Tapi kalo kamu gitu lagi... Kakak bisa-bisa gak keburu ngeluarin di luar...” kataku, agak cemas.
“Gapapa Kak... Yang tadi itu... Mmmhh... Aku juga enak banget... Gapapa... Keluarin di dalem aja... Nnhh... ” katanya.
“Hah? Ntar... Ntar kamu...”
“...Gapapa...”
Aku tahu ini gila. Vany memintaku mengeluarkan spermaku di dalam tubuhnya. Bagaimana kalau dia hamil? Apa kata orangtuaku?
Tapi saat logika mulai merasuki pikiranku lagi, Vany menggerak-gerakkan pinggulnya. Aku seperti otomatis kembali menghujamkan penisku ke dalam vaginanya, menendang jauh-jauh logika.
Gerakan pinggulku semakin cepat dan cepat. Vany semakin mengencangkan vaginanya. Aku yakin tak lama lagi aku akan keluar jika seperti ini terus.
“Aaahhh.... AaahH!!!... Kak... Kaakk... Siaap? Aahhh... Aaa...” tanyanya. Aku mengangguk liar, semakin mempercepat genjotanku. Vany menegang, berkonsentrasi. Gerakanku semakin liar. Nafas kami memburu, tak beraturan.
Dan sensasi itu datang lagi! Vaginanya seakan menyedot penisku, dan gelombang yang sangat kuat berkali-kali datang memijat penisku. Aku tak tahan lagi, sensasi ini sungguh luar biasa!
“Vann!! OOH Vaannn!!! Kakak mau... Aaaahhh... Aaahh!!! VAANN!!! Ke...KELUAR!! Aaahh... Aaahhh!!!” pikiranku mengabur. Mataku berair.
“DI DALEM!! DI... AAHHH!!! Di daleemm...Keluarin di daleeemm!!!” jeritnya.
“VVVVVVAANN....VVAANNYY!!!!!!”
Aku meledakkan spermaku sekuat-kuatnya ke dalam rahim Vany. Aku keluar jauh lebih banyak dari yang sudah-sudah. Satu-dua-empat-enam... Penisku seakan tak mau berhenti meledakkan spermanya. Enak sekali, hangat sekali. Vagina sempit Vany tak cukup menahan muatan sperma kakaknya. Cairan putih itu mengalir keluar, melumuri bahkan penisku sendiri, mengalir membasahi sepreiku...
Aku mencabut penisku. Sudah lemas sekarang. Rasanya agak linu, keluar tiga kali berturut-turut. Cairan putih kental masih mengalir keluar dari vagina adikku, terlihat seksi sekali. Vany tergeletak lemas di ranjangku. Matanya separuh terpejam. Mulutnya menganga kecil. Keringat membanjiri tubuh kami.
Aku merebahkan diri di sebelahnya, terengah-engah.
“Van... Hhh... Thanks...”
“Iya... Aku yang thanks... Hhh...” bisiknya. “...Enak banget...”
Terdiam, hanya suara tarikan nafas terengah kami yang terdengar. Berapa lama kemudian, aku menoleh menatap adikku yang seksi ini.
“Van... Kalo kamu hamil gimana? Kakak keluar banyak banget loh tadi di dalem kamu...” tanyaku, cemas.
“Gapapa... Nanti menikah sama kakak...”
“Ngawur kamu...”
Vany tertawa. Terdiam lagi. Aku memejamkan mata, belum pernah aku merasakan seks seenak ini.
“Kamu belajar dari mana yang terakhir tadi itu?”
“Gatau... Tau-tau bisa aja...”
“Ohya? Itu enak banget...”
“Lebih enak dari Kak Grace?”
“Jauh...”
Kami terdiam.
“Kak...”
“Ya?”
“Mulai sekarang... Kalo kakak pas pengen ML... Kasi tau aku...” katanya. “Aku sepenuhnya milik kakak...”
Aku terdiam. Tak bisa menjawab. Dalam hati aku tahu kami sudah melanggar semua batas dan nilai yang normal. Tapi kenikmatan ini sungguh luar biasa.
“Papa-Mama kan pergi seminggu...” kataku. “...Banyak kesempatan...”
Vany tertawa.
“Ya...” katanya. “Ntar malem lagi?”
“Kalo kuat...”
“Besok?”
“Sepanjang hari...”
Vany tertawa lagi. Tawa yang renyah dan imut. Ia berguling, memeluk lenganku dengan sayang.
“Van...”
“Hm?”
“Kapan-kapan... Coba anal yuk...”
Vany nyengir.
“Yuk...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar