"Nggak, Mbak Surti. Baru juga selesai keliling. Duduk dulu Mbak, aku
mandi sebentar" sahut Jamal, salesman keliling yang setiap mampir ke
kota ini selalu memanggilku untuk memijatnya. Ini kali yang keempat aku
dipanggilnya. Jamal masuk ke kamar mandi sementara aku duduk di kursi
melepas penat. Kuseka sekitar leher yang berkeringat, kurapikan baju dan
rok. Tak lama kemudian Jamal keluar berbalut handuk. Tinggi tubuhnya
sekitar 170 cm lumayan kekar dan berotot.
"Saya permisi cuci tangan ya, Mas," pintaku sambil menuju ke kamar mandi.
"Silahkan, Mbak."
Selesai cuci tangan kudapati Jamal sudah tengkurap di ranjang tanpa melepas handuknya. Aku mendekat ke bagian kakinya.
"Tumben pakai handuk, Mas?" Tanyaku. Biasanya Jamal pakai celana pendek atau CD.
"Anu Mbak, celanaku kotor semua. Tiga hari keliling belum sempat nyuci
Eee, biar lebih gampang mijatnya, naik ke ranjang aja, Mbak" kata Jamal.
Ranjangnya memang agak besar sehingga susah dapat memijat dengan enak
kalau tidak naik. Aku naik ke ranjang dan berlutut di kiri Jamal. Mulai
memijat telapak kaki, terus naik ke arah betis hingga paha. Ikatan
handuk Jamal yang agak kencang menutupi paha agak menyulitkan memijat
bagian itu.
"Maaf Mas, handuknya tolong dilonggarkan"
Jamal mengangkat perutnya dan membuka simpul handuknya sehingga handuk
itu sekarang jadi longgar bahkan disisihkannya ke samping kiri-kanan
hingga seperti selimut yang menutup pantat. Aku dapat merasakan di balik
handuk itu tidak ada apa-apa lagi yang dikenakan Jamal. Jantungku,
janda 40 tahunan ini, jadi berdegup agak keras. Tapi aku coba tidak
berpikir buruk karena pernah tiga kali memijat Jamal dan pria itu selalu
sopan. Agak hati-hati kupijat bagian paha dan pantatnya. Beberapa kali
handuk itu tergeser sampai kadang-kadang tak mampu lagi menutupi.
Beberapa kali pula kubetulkan letaknya namun sempat pula terlihat pantat
Jamal, bahkan ceruk hitam di antara pangkal pahanya. Dadaku jadi
berdesir. Bagian pantat ke bawah selesai, lalu kupijit bagian pinggang
ke atas. Ia menggeser lututnya.
"Kelihatannya cape sekali, Mas?" sapaku mencairkan suasana diam.
"Iya Mbak. Sudah cape keliling, ordernya tambah sedikit aja. Dagangan sekarang lagi sepi Mbak," jawab Jamal.
"Dagangan batik, Mbak sendiri gimana?"
"Sama saja, Mas. Sepi banget. Kalau nggak sepi nggak bakalan saya jadi tukang pijit"
"Tapi pijitan Mbak enak lho"
"Ala Mas ini menghina. Saya kan cuma belajar dari teman-teman"
"Bener lo Mbak, kalau nggak masak aku jadi langganan Mbak Kalau malam sampai jam berapa, Mbak?"
"Saya nggak terima pijit malam Mas. Pokoknya sebelum maghrib sudah harus
sampai rumah. Saya nggak mau anak-anak saya tahu pekerjaan sampingan
ibunya. Mereka hanya tahu saya jualan batik di pasar"
"Ooo kenapa mesti malu, Mbak?"
"Saya sih nggak malu, tapi kasihan kan kalau anak-anak saya ketahuan
teman-temannya punya ibu tukang pijit? Sudah, sekarang balik Mas"
Jamal memutar tubuhnya, tentu saja handuknya ikut terlibat pantatnya
sehingga nampaklah bagian depannya yang polos. Beberapa saat sempat
kulihat zakar Jamal yang mulai tegang. Buru-buru kubantu Jamal
menutupinya, namun tetap saja tonjolan itu membentuk pemandangan yang
bikin dadaku berdesir. Bagaimana pun aku tetap wanita yang beberapa
tahun silam pernah melihat hal demikian pada diri suamiku yang telah
tiada. Dadaku berdegup semakin cepat, tubuhku agak gemetar. Buru-buru
kukonsentrasikan pijatan pada kaki Jamal.
"Maaf, Mbak, adikku nggak mau tidur. Kalau lagi dipijat wanita memang selalu gitu sih Mbak"
"Ah, nggak apa, Mas. Biasa laki-laki" Aku coba bergurau.
Pemandangan demikian buat tukang pijit perempuan memang bukan hal aneh
lagi. Malah kadang beberapa pria yang sudah tak bisa menahan nafsu
memegang tanganku dan menempelkan pada batangannya. Tapi dengan halus
aku berusaha mengelak. Satu dua kali kuremas benda di balik celana dalam
itu tapi setelah itu kulepaskan lagi.
"Waktu mijit apa pernah dijahilin laki-laki Mbak?"
"Kadang-kadang ada sih Mas laki-laki yang nakal"
"Nakal gimana, Mbak?"
"Yah, maunya tidak sekedar dipijit tapi juga mijit hihihi"
"Lalu Mbak juga mau hehehe..?"
"Ah, enggaklah Mas, nggak baik. Takut"
"Apa ada yang pernah maksa Mbak?"
"Iya sih, kasar sekali orang itu. Aku dipeluk-peluknya Ya aku marah dong"
"Apa dia sampai meng anu Mbak?"
"Nggak sampailah, Mas Saya buru-buru keluar kamar"
Pijitanku sampai ke paha Jamal. Mau tak mau bagian handuk yang menonjol
itu selalu terpampang di depan mataku. Malah kadang tonjolan itu seperti
sengaja digerak-gerakkan Jamal. Lebih-lebih sewaktu tanganku bergerak
di sekitar paha dalamnya dan mengenai rambut-rambut lebat di situ.
"Ufhh maaf, ya Mbak terus terang aku jadi terangsang lo setiap dipijit
Mbak, Adikku jadi bangun terus" Jamal berterus terang tapi dengan nada
bergurau.
Hal ini membuatku tersenyum. Aku percaya pria ini tidak bakal berbuat
macam-macam, toh sudah tiga kali kupijat tanpa kejadian luar biasa.
"Nggak apa, Mas. Asal bisa menahan diri saja. Eh, maaf" tanpa sengaja
tanganku menyenggol telur dan sebagian penis Jamal sehingga pria itu
mendesis sambil mengangkat pantat dan menegakkan adiknya sehingga
handuknya tergelincir ke arah perut. Batang keras kaku itu segera saja
membuat mataku agak terbelalak karena ukuran panjang dan besarnya yang
agak luar biasa. Mungkin sekitar 20 cm dengan diameter 3 cm. Cepat
kututup dengan handuk namun bayangan benda itu di benakku tak kunjung
hilang.
"Kalau aku nggak bisa nahan diri gimana, Mbak?"
"Jangan bikin saya takut ah, Mas" Aku menekan dada Jamal dan mulai
memijat ke arah pundak. Mata kami bertatapan dan Jamal tersenyum. Aku
buru-buru menunduk.
"Sebenarnya Mbak nggak cocok jadi tukang pijit lo"
"Kan sudah saya bilang ini terpaksa Mas, karena dagang batik tambah sepi"
"Eh, Mbak, aku tanya serius nih, tapi maaf ya sebelumnya"
"Tanya apa Mas?"
"Kalau Mbak lagi mijit laki-laki yang sedang terangsang kayak aku gini, apa Mbak nggak ikut terangsang?"
"Ah eh oh Mas ini kok tanya itu sih"
"Aku serius pingin tahu lho Mbak Soalnya Mbak kan juga wanita yang masih
butuh seks kan? Apalagi Mbak sudah menjanda beberapa tahun"
"Sudah ah Mas, jangan tanya soal itu"
"Jujur sajalah Mbak Aku nggak yakin Mbak sudah mati rasa sama seks. Iya
kan?" Aku diam saja, cuma pipiku terasa panas. Pijatanku di bagian dada
jadi melemah dan tanganku bergeser turun ke perut Jamal.
"Iya kan, Mbak?" Mendadak Jamal semakin berani dengan memegang kedua
tanganku yang sedang memijit perutnya. Kuangkat kepala dan coba
menentang tatapan Jamal sambil berusaha menarik tangannya. Tapi pegangan
Jamal begitu kuat, jadi aku pilih diam.
"Akh aku malu Mas.."
"Malu kenapa Mbak?"
"Masak soal gituan dibicarakan sama Mas?"
"Nggak apa kan Mbak. Kita kan sudah sama-sama dewasa." Jamal tetap
memegangi tangan. Aku diam saja dengan wajah menunduk. Pada dasarnya aku
memang pemalu.
"Mbak lihat sini dong"
"Kenapa, Mas?"
"Terus terang nih ya, aku pingin memeluk Mbak, boleh nggak?"
Aku terjengak mendengar permintaan Jamal. Tak mampu bersuara. Perlahan
Jamal bangun dan duduk mendekatiku, dipegangnya punggungku.
Katanya, "Sudah sejak pertama ketemu dulu aku ingin sekali memeluk. Boleh kan, Mbak?"
Tanpa menunggu jawaban, Jamal semakin kuat memeluk punggungku dan
menarik ke arah dirinya. Aku yang dalam posisi bersedeku jadi kurang
kuat bertahan sehingga mau tak mau tubuhku tertarik ke tubuh Jamal.
Hanya tanganku saja yang coba menahan supaya tubuh tidak terhempas ke
tubuh Jamal.
"Jangan, Mas" Tapi aku tak berdaya menahan ambruk tubuhku ketika Jamal
kembali menjatuhkan tubuhnya ke ranjang sambil tetap memeluk. Tubuhku
menimpa tubuhnya yang segera menguncikan pelukan ke tubuh sintalku
tambah ketat. Wajah kami demikian dekat.
"Aku hanya ingin pelukan begini kok Mbak," Jamal berbisik dan ia memang
tidak melakukan apa-apa lagi selain memeluk tubuhku di atasnya. Aku jadi
bingung, mau berontak atau tidak?
"Ah, biarkan saja dulu, toh dia tidak melakukan apapun selain memeluk"
pikirku sambil berusaha lebih santai. Toh aku pernah mengalami
perlakukan lebih kasar dari ini. Aku pernah ditindih pria yang kupijat
dan diremas-remas tetekku. Beberapa lagi malah memaksaku mengonani
sampai pria itu terjelepak lemas setelah ejakulasi. Perlakuan Jamal yang
sekarang ini hanya memelukku termasuk lembut. Entah kenapa dengan pria
ini aku tak banyak memberontak. Apa karena aku diperlakukan dengan
halus? Atau karena aku menyukai Jamal? Atau? Ah, tiba-tiba aku merasakan
bibirku dingin karena menyentuh sesuatu. Kubuka mata dan ternyata Jamal
tengah mencium bibirku.
Ufh aku segera menggelengkan kepala menghindari bibir Jamal. Namun bibir
pria itu dengan gigih mengejar, bahkan tangan kanannya ikut membantu
menahan kepalaku hingga tak bisa menggeleng lagi. Aku pilih mengatupkan
mulut dan mata rapat-rapat ketika bibir Jamal menggerayangi. Lidah pria
itu berupaya menerobos masuk, tapi kutahan dengan katupan gigi.
"Buka bibirnya dong, Mbak" bisik Jamal. Aku menggeleng sambil berusaha
mendorong tubuhnya ke atas. Namun Jamal menahan tubuhku dengan kuat
malah sekarang kakinya ikut melibat pahaku dan tubuhnya bangun mendorong
tubuh kenyalku sampai terbalik. Sekarang gantian aku telentang
sementara tubuh polos Jamal di atasku. Bibir Jamal terus memburu
bibirku. Dengan posisi di bawah ruang gerakku semakin sempit. Kecapaian
membuat perlawananku kendor.
"Jangan, Mas" bisikku lemah.
"Nggak apa-apa, Mbak, aku cuma ingin ciuman" Desis Jamal sambil bibirnya
terus memaksa bibirku membuka, sementara lidahnya pun menembus katup
gigiku. Rasa takut, malu, marah dan bingung melandaku. Aku takut Jamal
memaksa, memperkosaku. Aku juga malu karena sebagai janda tidak
seharusnya diperlakukan begini. Aku ingin marah namun tak berdaya
dibanding tenaga Jamal. Aku jadi bingung mau bertindak apa. Dadaku yang
membusung pun jadi sesak ditindih tubuh kekar Jamal. Dengan nafas agak
memburu, aku akhirnya tak mampu lagi mempertahakan katupan gigi.
Kubiarkan lidah Jamal menerobos menjilati langit-langit mulutku. Bibir
kami berpagutan semakin ketat. Air liur dan ludah pun membanjir dan mau
tak mau ada yang tertelan. Jamal benar-benar menggila dengan ciumannya.
Sepuluh menit lebih ia mencium, menjilat, menyedot lidahku tanpa lepas.
Akibatnya, aku jadi ikut terbawa iramanya. Aku yang janda ini
lama-kelamaan ikut mengimbangi tingkah Jamal. Ya, aku yang melihat Jamal
tidak melakukan hal lain kecuali mencium, akhirnya membalas ciuman hot
Jamal.
"Ah, biarlah, toh Jamal hanya pingin berciuman. Tidak lebih" pikirku
sambil lidahku memasuki rongga mulut Jamal, dan mendadak disedot dengan
kuat oleh Jamal seperti hendak ditelan.aku jadi gelagapan.
Agak lama barulah Jamal melepaskan lidahku, lalu beralih menciumi
sekujur wajahku. Dari mata, hidung, pipi, dahi, telinga, sekitar leher,
dagu sampai akhirnya balik lagi ke bibir manisku. Selama setengah jam
lebih aku hanya manda saja diciumi pria yang menurutku tidak berniat
buruk ini. Ya, dibanding pria-pria lain yang pernah memaksaku, Jamal
tergolong lembut. Dan entah kenapa, ada rasa suka dengannya. Apa karena
kegantengannya, apa karena usianya yang masih muda, atau karena aku
memang butuh sentuhan lelaki setelah beberapa tahun ini tak lagi
kurasakan?Bahkan, aku hanya mendesah "Jangan, mas" ketika merasakan
jemari Jamal mulai meremasi payudaraku yang masih menantang ini. Namun
aku tak berusaha memberontak. Toh Jamal hanya meremas dari luar,
pikirku. Sementara bibir pria itu terus melumati bibirku. Tangan itu
terus bergerilya, satu persatu kancing bajuku dilepasnya.
"Jangan, mas" Desisku lagi tanpa menolak dengan serius.
Toh, aku masih pakai BH, pikirku. Ugh, BH itupun diremas tangan Jamal
berkali-kali. Kadang membuatku sakit, namun juga memberi rasa lain yang
nikmat. Mataku malah terpejam erat ketika jemari Jamal bergerilya di
bawah BH dan menggapai putingku.
"Egh jangan, mas" Aduuh nikmatnya. Toh, dia hanya memainkan payudaraku,
tak apa-apa, pikirku semakin menikmati. Aku justru hampir tak merasa
ketika baju dan behaku sudah dilempar Jamal entah kemana.
Yang terasa kemudian adalah payudaraku kiri-kanan bergantian diremas dan
dihisap Jamal. Digigit-gigit, dikemot, disedot, "dimakan", dimainkan
putingnya oleh lidah yang lihai dan tubuhku semakin tergial-gial ketika
perut pun ditelusuri lidah berbisa Jamal.
"Aduh, aku tak tahan. Tak apa, toh Jamal hanya menjilati perutku" pikirku lagi menerima perlakuan nikmat itu.
Malah tanganku kini ikut meremasi kepala Jamal yang terus turun dan
turun mencapai pusarku. Menjilati pusarku yang berlubang kecil, kemudian
meluncur turun lagi, membuat geli sekaligus nikmat.
"Jangan, mas" lagi-lagi aku hanya mampu mendesiskan kata itu ketika terasa rok panjangku perlahan tertarik ke bawah.
Karet elastis di bagian perut tak mampu menahan tarikan itu, apalagi aku berpikir,
"Biar saja, toh aku masih pakai celana dalam"
Sekarang tinggal segitiga pengaman melekati tubuh polosku. Terasa pahaku
dikangkangkan dan sesuatu terasa mengelus-elus daerah vitalku. Sesaat
kemudian aku kembali merasa tubuhku ditindih Jamal yang menekan-nekankan
penisnya ke CD-ku. Mulut kami berpagutan lagi. Tangan Jamal
meremas-remas payudara lagi.
"Aduh aku tak tahan lagi" Kubalas perlakuannya yang liar dan aku tak
mampu lagi mendesis, "Jangan, mas" ketika dengan cepat tangan Jamal
menyabet CD hitamku dan melorotkannya ke bawah terus melepasnya dari
kakiku.
Lalu sejurus kemudian kurasakan sesuatu yang panjang besar memasuki gua
garbaku. Mula-mula perlahan dan agak sulit, menyakitkan. Namun lama-lama
semakin dalam, lalu semakin cepat dan cepat keluar masuk, naik turun.
Disertai lonjakan-lonjakan tubuh kekar di atasku yang memaksa pahaku
terkangkang selebar-lebarnya. Rasa sakit pun berubah jadi nikmat.
Aku lupa segalanya, tak ingat siapa pria yang sedang menyetubuhiku.
Jamal, salesman keliling, yang katanya berasal dari Bandung kubiarkan
menyebadani, menggauli, menyenggamai, menembus, mengocok dan menggumuli
tubuhku. Aku terlena dan yang ada hanya rasa nikmat yang harus kunikmati
sepuasnya. Mumpung ada kesempatan, mumpung ada yang memberi, mumpung
aku butuh, mumpung aku haus, mumpung ada yang memuasiku. Tubuhku masih
butuh seks, libidoku masih tinggi, bibirku masih butuh diciumi,
payudaraku butuh disedot-sedot, vulvaku butuh penis yang tegar panjang
perkasa. Aku masih punya nafsu seks yang harus dipenuhi. Aku tak mau
hidup gersang.
Dan, aku pun masih bisa orgasme ketika hunjaman zakar Jamal yang
bertubi-tubi mencapai klimaks. Genjotan pantatnya begitu kuat membuat
penis itu terbenam dalam-dalam di vulvaku yang sempit. Nikmat bertemu
nikmat dan jreet jreet jreet kurasakan sperma Jamal menyemprot,
sementara hampir bersamaan aku cepat-cepat menggamit paha Jamal sambil
mengejan menumpahkan mani. Tubuh kami terkejang-kejang kelojotan sambil
mengejan menggelegakkan sperma dan mani bertubi-tubi. Kedua kelamin kami
yang bertemu saling berdenyut-denyut, meninggalkan kesan mendalam
sehingga kami lama tidak melepaskannya. Kubiarkan burung Jamal itu tetap
mendekam di sarangku meski lendir membasahi di mana-mana.
"Maaf ya, mbak, aku lupa diri," bisik Jamal.
Aku diam memejam, nafasku tersengal-sengal menahan beban tubuh polos di
atasku. Sementara penis Jamal masih terbenam, aku hanya bisa kangkangkan
paha dan merasakan denyut-denyutnya yang masih tersisa.
"Mengapa ini terjadi?"
Aku membatin tak habis mengerti bagaimana persetubuhan ini berlangsung
begitu saja, padahal selama jadi pemijat aku selalu menghindarinya. Ya,
selama ini ada cap bahwa setiap wanita pemijat pasti bisa diajak main
seks. Aku berusaha keras menepis sebutan itu, namun akhirnya bobol juga
hari ini. Justru dengan Jamal, pria yang sudah jadi langganan.
"Kalau sudah begini, apa bedanya aku dengan pelacur?"
Aku masih terbengong-bengong dengan pemikiranku, ketika kembali terasa
tubuh Jamal menekan-nekanku. Zakar pria itu pun kembali membesar panjang
mengaduk-aduk vulvaku. Ya, ternyata Jamal dengan cepat bangkit birahiya
lagi dan bangunlah "adik"nya yang perkasa itu, kembali menikam-nikamku
yang perlahan-lahan kembali terbawa arus kenikmatan. Malah ikut
mengerang ketika nikmat bersebadan itu menyeruak di vaginaku. Tak ingat
lagi, apakah aku pelacur atau bukan. Yang penting saat ini aku butuh
nikmat! Persenggamaan pun terulang lagi, kali ini malah lebih lama.
Hampir satu jam Jamal menusuk-nusukku, menghunjamiku dengan super
torpedonya. Kadang pantatku diangkatnya atau aku yang mengangkatnya
secara refleks karena terbawa nikmat tiada tara setelah beberapa tahun
aku tak merasakannya. Sepertinya aku ingin memuntahkan seluruh kerinduan
persetubuhan.
Aku kembali menggapit paha Jamal, ini kali yang ketiga aku orgasme.
Tubuhku mengejang terlonjak-lonjak. Jamal sendiri memang tahan lama dan
baru beberapa menit kemudian melenguh mengeluarkan energi terakhirnya
menyemprotkan sperma. Sampai kurasakan hangat cairan itu memasuki perut.
Kami benar-benar habis-habisan. Untuk berdiri pun harus menunggu
beberapa menit setelah deru nafas mereda.
Jam enam kurang sedikit kutinggalkan hotel Melati. Jalanku seperti
melayang, tak peduli dua lembar ratusan ribu yang baru saja masuk ke
dompet, pemberian Jamal. Aku tak bisa menolak, tapi "Semoga Jamal tidak
menganggapku pelacur murahan" pikirku.
"Kami melakukannya suka sama suka"
Kupanggil becak untuk mengantar ke rumah.
Itulah yang menjadi awal kisahku selanjutnya yang lebih mengejutkan
karena aku kemudian terperosok ke jurang perzinahan yang lebih dalam
dengan orang-orang yang semestinya kupeluk dengan kasih sayang. Namun,
sebaliknya, justru merekalah yang akhirnya memelukku dengan nafsu.
*****
"Sampai malam begini, Laris bu?" sambut Bari, bungsuku yang kelas 3 SMU, ketika aku tiba di rumah.
"Lumayan" jawabku.
"Ini Ibu bawakan gorengan" kuberikan sebungkus makanan lalu terus berjalan ke kamar.
Banu, kakak Bari, mengangkat bungkusan batikku dan menaruhnya di atas
lemari. Ia sudah empat bulan ini dipehaka dari pabrik sepatu di
Tangerang bersama Basuki kakaknya. Jadilah tiga pemuda tanggung anakku
sekarang jadi pengangguran dan kembali bergantung padaku di rumah. Ya,
semuanya terjadi gara-gara krisis di negeri ini. Banyak perusahaan
gulung tikar, pehaka terjadi dimana-mana. Cari pekerjaan pengganti juga
sulit bukan main. Mau usaha sendiri, tak ada modal. Hanya kadang mereka
jadi makelar jual-beli motor tapi inipun hasilnya cuma cukup buat jajan.
Seusai mandi dan makan, aku ingin cepat-cepat tidur. Tubuh cape sekali
setelah tadi bertempur habis-habisan dengan Jamal di Hotel Melati.
"Ibu tidur dulu ya" kataku pada ketiga anakku yang sedang asyik main kartu.
Aku masuk ke kamar belakang. Rumah itu memang hanya memiliki dua kamar.
Sejak dua anakku dipehaka maka satu kamar depan untuk Banu dan Basuki
dan satunya di belakang untukku dan Bari. Kumatikan lampu lalu
kubaringkan diri melepas penat.
Bayangan pergumulanku dengan Jamal ternyata tak kunjung hilang dari
benak. Setengahnya ada rasa penyesalan, namun sebagian lain justru rasa
nikmat itu terus bergelenyar di dadaku, di peruku, di kulitku, di
vulvaku. Tak lama kemudian aku pun terlelap, ada seulas senyum di
bibirku. Akankah di mimpi aku berjumpa Jamal lagi?
Ya, ternyata harapanku jadi kenyataan. Jamal muncul lagi di mimpiku.
Kami bercumbu bagai sepasang kekasih yang lama tak bertemu. Tubuh
telanjangku dibaringkannya di ranjang, kemudian dia merangkak di atasku.
Menjilati sekujur tubuh dari perut naik terus hingga bibirku dan
akhirnya agh, terasa sesuatu menusuk bawah perutku dengan keras dan
tubuhku ditekannya dengan keras. Tubuhnya terasa semakin berat, berat,
berat dan argghh!
Aku terbangun, dan.. mendapati sesosok tubuh sedang menindihku.
Kurasakan selangkanganku telah ngangkang dan sesuatu memasukinya. Kubuka
mata memperhatikan dan dalam sinar lampu yang masuk dari ventilasi
terlihat Bari sedang menyetubuhiku! Gila!!
"Bar! Bari! Ini aku, ibumu, Bar!" protesku pada bungsuku yang masih 18
tahun sambil mendorong tubuhnya sampai terjengkang ke luar ranjang.
Sekilas terasa penisnya yang tegang keluar dari vaginaku. Aku segera
duduk di ranjang dan kututup tubuh telanjangku dengan selimut sambil
memperhatikan Bari yang nampak ketakutan.
"Kenapa kau lakukan ini, Bar?" tanyaku emosi.
"Ttt ta tadi Ibu sendiri yang mulai"
"Apa? Ibu yang mulai?!" aku tambah sewot tapi tidak berani teriak keras-keras takut dua anakku yang lain terbangun.
"Bukankah Ibu tadi sudah tidur?"
"I..iya Bu tapi Ibu seperti mengigau lalu memelukku" bisik Bari.
Aku yang mendengar penjelasannya jadi mendelong. Sekilas aku ingat mimpiku bersama Jamal.
"Ibu terus memelukku dan ak aku jadi terangsang, bu.." Bari terus terang
sambil menunduk. Sementara aku masih bertanya-tanya benarkah itu?
"Ceritakan apa yang sudah kulakukan padamu, Bar?" Sambil kutarik
tangannya ke atas ranjang. Bari menurut sambil menutupi penisnya dengan
sarungnya. Kududukkan ia di sebelahku.
"Waktu aku tidur, kudengar Ibu mengigau seperti orang gelisah dan tubuh
Ibu bergerak-gerak. Lalu mendadak Ibu memelukku dan" Bari diam, aku
pingin tahu kelanjutannya.
"Lalu?"
"Ibu menciumi aku"
"Apa benar?"
"Sumpah, bu." Jawabnya, membuatku jadi salah tingkah.
"Sebenarnya aku sudah berusaha membangunkan Ibu tapi gagal. Malah aku
jadi terangsang Apalagi daster Ibu juga tak karuan lagi letaknya sampai
paha Ibu terbuka"
"Aku tambah terangsang waktu tersenggol payudara Ibu berkali-kali dan
terangsang untuk meremasnya Aku tambah berani ketika Ibu hanya mendesis
waktu kuremas, sampai akhirnya pelan-pelan, maaf, Ibu kutelanjangi. Maaf
Bu, nafsuku, sudah sampai ke kepala sampai aku menyetubuhi Ibu" cerita
Bari sambil menunduk.
Aku terdiam, tak percaya apa yang kulakukan di dalam mimpi ternyata jadi
kenyataan. Sialnya, aku telah bersetubuh dengan darah dagingku sendiri.
Akhirnya akupun menerima penjelasan Bari.
"Baiklah, Bari. Ini jadi rahasia kita berdua saja. Sekarang tidurlah kembali," pesanku.
Bari segera melingkar di bawah sarungnya.
Akupun kembali berbaring sambil berselimut. Kami berdiam diri saling
memunggungi. Begitu mengejutkan peristiwa tadi sampai aku tak ingat
untuk memakai dasterku lagi yang entah dilempar kemana. Begitu pula Bari
hanya bertelanjang di dalam sarungnya. Namun rasa capai mempercepat
tidurku. Dan, mungkin, inilah salahku karena menganggap sepele peristiwa
ini. Aku menganggap ini peristiwa kecil dan sudah berakhir, namun tidak
demikian dengan Bari. Pemuda tanggung ini ternyata tetap memendam
hasrat. Kuceritakan yang berikut ini berdasarkan pengakuannya setelah
segala sesuatunya terjadi.
Malam masih panjang. Aku telah tidur kembali. Sementara itu, Bari justru
tetap nyalang matanya. Tak ada lagi kantuk di benaknya. Yang ada justru
ingatan bagaimana tadi dia baru saja menyetubuhi ibunya. Sayang, belum
tuntas. Namun, kesempatan itu kayaknya masih terbuka, karena tubuh yang
barusan digelutinya itu masih tergolek di sisinya. Telanjang dan hanya
berselimut lurik. Andai saja selimut itu bisa dilepas, pasti bisa tuntas
hasratku, pikir Bari.
Setelah terdengar dengkur halus ibunya, Bari mulai berani membalikkan
tubuhnya sampai telentang. Diliriknya tubuh di samping kirinya dan tubuh
Bari bergetar ketika melihat sebagian punggung atas ibunya tidak
tertutup selimut. Sementara kain sarungnya sendiri yang hanya menutupi
sekitar perut dan paha tak mampu menyembunyikan gejolak syahwat yang
membuat zakarnya tegang berdiri. Dengan tak sabar dilemparnya sarung ke
bawah ranjang hingga dirinya bugil, lalu perlahan berguling lagi sampai
ia kini menghadap punggung ibunya. Didekatinya tubuh bungkuk udang
ibunya dari belakang sampai bau wanita itu tercium kian
merangsangnyaIngatannya saat bagaimana dia meremas tetek ibunya tadi
membuatnya berani menarik ke bawah selimut yang menutupi punggung mulus
itu. Perlahan punggung itu sekarang terbuka sampai ke pinggang dan
otomatis pasti bagian depannya pun terbuka polos pula. Teringat
bagaimana tadi ia memeluk ibunya, perlahan Bari melingkarkan tangan
memeluk ibunya dan merapatkan zakar ke pantatnya. Kulit dadanya bertemu
kulit punggung ibunya, tangan kanannya memeluk perut ibunya dan perlahan
jemarinya merambat ke atas. Menggapai dua gunung kembar yang membusung
itu.
Sementara itu kaki Bari tak tinggal diam membantu menarik selimut ibunya
ke bawah. Terus ke bawah sampai paha-paha mulus gempal itu tak tertutup
lagi. Maka bugillah kedua ibu dan anak itu. Tidur berdekapan. Satu
terlelap, satunya bernafsu.
Tak sabar, Bari mulai mengelus dan meremas pelan payudara montok mulus
itu. Tangannya agak gemetar ketika menyentuh puting dengan ibu jari dan
telunjuknya. Ditempelkan zakar ke pantat ibunya yang cukup besar.
Dibiarkannya posisi itu bertahan hampir 30 menit. Dan ketika ibunya
tetap lelap tertidur, Bari semakin berani. Sambil pura-pura menggeliat,
perlahan ditariknya bahu dan paha ibunya sampai tubuh wanita itu
telentang. Kemudian dengan penuh nafsu buah dada yang menggunduk itu
dijilatinya. Dikuaknya selangkangan si ibu lalu perlahan mengarahkan
zakar ke gua nikmat itu. Tak mau gegabah dan terlalu kasar seperti tadi,
kini Bari melakukannya dengan halus.
"Bleess" ditancapkan zakar dalam-dalam ke vagina ibunya lalu pantatnya
diam. Tidak menekan terlalu keras. Malah lidahnya mulai menyusuri tetek
dan dada ibunya sampai mencapai bibir dan menciuminya sambil tangannya
meremasi susu montok itu. Aneh benar, Surti, ibunya, tetap tertidur,
seolah tak merasakan apa-apa. Mungkin ia terlalu penat karena cape
bergelut dengan Jamal tadi siang dan tidur yang terpotong barusan.
"Eeehhghh.." Surti mendesis lirih ketika lidah Bari memasuki mulutnya,
namun matanya tetap terpejam. Hanya tubuhnya saja bergeser kecil dan
Bari memberinya ruang dengan sedikit mengangkat badannya sehingga tidak
terlalu memberati Surti. Setelah ibunya tenang, kembali Bari
menumpangkan badan di atas tubuh bugil Surti. Perlahan ia mulai
memompakan zakarnya.
"Shleeb.. shlebb.. jleeb.. jleebb.." berhenti lalu sambil menekankan zakarnya di kemutnya puting Surti.
"Egghh eggh..," desis Surti sambil menggerakkan tubuhnya sedikit namun tetap tidur.
Anehnya lagi, Bari merasa zakarnya seperti ada yang menghisap-hisap.
Nikmaat dan membuatnya cepat mencapai puncak. Buru-buru Bari memompa
lagi cepat-cepat, dan kini ia tak peduli kalau ibunya bakal bangun
karena gerakan kasarnya.
"Heeh.. heeh.. heeh.." nafas Bari memburu ketika ia menggerakkan
pantatnya dengan gencar naik turun keluar masuk menusuk-nusuk lahan
Surti sambil memeluki ketat tubuh ibunya itu dan mencium ketat bibirnya
yang menggairahkan. Otomatis diperlakukan demikian Surti terbangun,
namun terlambat Dalam keadaan belum sadar benar, mendadak Surti
merasakan tubuh di atasnya mengejang-ngejang belasan kali dan terasa
*an-*an sperma di rahimnya. Barulah tubuh itu terjelepak layu
menindihnya.
Surti segera mendorong tubuh itu dan ia segera sadar bahwa Bari telah berhasil menuntaskan nafsu di atas tubuhnya.
"Ooh Bari.. Bari kenapa kamu tega menodai ibu?" ratap Surti sambil
menangis dan memukuli tubuh Bari yang hanya diam membisu memunggunginya.
Beruntung suasana kamar gelap sehingga mereka tidak dapat melihat
kondisi masing-masing. Bayangkan betapa malu bila mereka saling
bertatapan mata.
"Ma.. maafkan saya, bu. Sss..saya benar-benar khilaf tidak bisa menahan
nafsu" jawab Bari lirih. Pelan ia berbalik dan menyelimuti tubuh
telanjang Surti. Kemudian turun dari ranjang, memakai sarungnya dan
melangkah keluar kamar. Dicarinya air dingin di dapur.
Surti sendiri dalam isak tangisnya kembali merebahkan diri. Tak tahu
harus berbuat apa pada anak bungsunya itu. Mau dimarahi? Toh ini sudah
terlanjur terjadi. Mau diusir dari rumah? Ia tak tega. Ia menyesali
dirinya telah tertidur begitu pulas sampai tak merasa sedang disetubuhi
anak kandungnya sendiri. Kenapa ia tadi begitu ceroboh dan menganggap
sepele kejadian perkosaan yang pertama? Sampai tak memperhitungkan bahwa
Bari ternyata nafsunya tetap berkobar-kobar. Pemuda seumur Bari memang
sedang panas-panasnya. Nafsunya cepat naik. Apakah sebaiknya mereka
tidak tidur seranjang? Bari biar tidur dengan kakaknya saja. Tapi
ranjang kamar depan terlalu sempit untuk bertiga. Apakah ia perlu tukar
tempat dengan Banu?
Namun setelah memikirkan bahwa Banu pun mungkin juga akan terangsang
nafsunya bila tidur bersamanya (ini nampak dari bahasa tubuh Banu dan
Basuki, si sulung, yang selama dirantau menurut dugaan Surti pasti
pernah berhubungan dengan wanita) maka Surti memutuskan tetap tidur
sekamar dengan Bari. Biarlah kejadian ini hanya kami berdua yang tahu,
pikirnya. Setengahnya ia juga menyalahkan diri karena telah merangsang
Bari secara tak sengaja ketika tadi mimpi bersetubuh dengan Jamal.
Sambil merenung-renung kejadian yang menimpa dirinya dan Bari, Surti
mulai bisa memaklumi tindakan Bari. Ternyata anak bungsuku sudah dewasa
dan mampu melakukan kewajibannya sebagai lelaki, bathinnya. Perlahan
mata Surti kembali terkantuk-kantuk. Masih sekitar jam 2 dini hari.
Sementara itu Bari yang usai minum air dingin duduk melamun di dapur,
mengenang apa yang baru saja dilakukan atas tubuh ibunya. Barusan ia
juga telah mencuci zakarnya dengan air dingin sampai benda lunak itu
mengkerut lagi. Rasa kantuk yang menyerang membuatnya beranjak kembali
ke kamar tidur.
"Biarlah kalau ibu mau marah lagi," pikirnya pasrah.
Perlahan Bari membuka pintu, masuk lalu menutupnya lagi. Ternyata Surti
telah tidur kembali. Kali ini ia malah telentang dan lagi-lagi hanya
berselimut lurik. Bari mengambil sedikit tempat di pinggir untuk
merebahkan tubuhnya. Sekilas diliriknya wajah ibunya dalam gelap, hanya
nampak siluet wajah seorang wanita yang belum tua benar. Namun tetap
menarik.
Bari coba memejamkan mata dan tidur. Tanpa sadar ternyata ia juga tidur
hanya berbalut sarung yang melingkari bagian perut ke bawah.Cukup lama
pemuda tanggung ini berusaha tidur sewaktu tanpa diduga Surti mengerang
dan menggeliat ke arah dirinya. Bari gelagapan ketika tangan Surti
justru memeluknya.
Dan tubuh Bari kembali berdesir karena dada montok ibunya menekan
dadanya meski masih terhalang selimut. Ini merupakan rangsangan hebat
buat Bari, namun ia tak mau gegabah seperti tadi. Ia tak mau kejadian
tadi terulang. Maka ia harus mampu menahan nafsunya. Kami boleh pelukan
tapi zakarku tak boleh tegang, bathinnya. Dengan prinsip itu akhirnya
Bari memberanikan diri balas memeluk ibunya. Malah lebih dari itu,
lagi-lagi Bari melempar sarungnya yang mengganggu gerakan paha dan
kakinya sampai bugil. Perlahan ia masuk ke dalam selimut ibunya dan
balas memeluk tubuh bugil montok semok itu. Ibu dan anak itu pun tidur
berpelukan. Kali ini Bari hanya menempelkan zakarnya di paha Surti dan
bertahan sekuat tenaga supaya tidak ereksi. Beruntung matanya terasa
sangat berat sehingga tak lama kemudian ia pun tertidur berpelukan
dengan ibunya.
Udara panas dini hari itu membuat tubuh mereka berkeringat. Sekitar
pukul empat pagi, seperti kebiasaannya, Surti terbangun. Lagi-lagi ia
hampir terkejut mendapati dirinya telanjang berpelukan dengan Bari yang
bugil. Selimutnya tak cukup lebar menutupi tubuh mereka berdua hingga
yang tertutup praktis hanya sekitar pinggul saja, sedangkan bagian lain
benar-benar terbuka. Surti ingin mendorong tubuh Bari, namun ia segera
menyadari bahwa Bari saat itu sedang tidur nyenyak. Ia jadi tak tega
sehingga dibiarkannya posisi tubuhnya yang telentang sementara Bari
menindih sambil memelukkan tangan dan satu kakinya berada di sela-sela
paha Surti. Surti agak tenang karena tidak merasakan zakar Bari ereksi.
Yang menggelisahkan justru tangan Bari yang menelangkupi buah dada
kirinya serta ketelanjangan mereka. Bagaimanapun ia masih normal dan
gesekan kulit dengan kulit demikian malah menimbulkan rangsangan yang
perlahan menggelitikinya syahwatnya. Surti semakin tak tahan dan
berusaha menggeser tangan serta menjauhkan tubuh Bari perlahan agar ia
tak bangun.
"Eee," terdengar suara erangan Bari yang merasa tidurnya terganggu.
Ia malah tak mau melepaskan pelukannya, justru sedikit meremas buah dada Surti, membuat Surti mendesis.
"Bari, lepaskan Ibu mau bangun" bisik Surti ke telinga Bari sambil mendorong lebih kuat.
"Eee.. sebentar, Bu" desis Bari sambil mempererat pelukannya, menaikkan tubuhnya dan mengulum puting Surti.
"Sudahlah, Bari jangan diulang kejadian semalam" Surti menjangkau kepala
Bari sambil menggigit bibir menahan gejolak syahwat yang berputar di
pusarnya.
"Ibu tidak marah?" desis Bari lagi dengan mata masih setengah terpejam.
"Tidak, Bar sekarang sudahlah, nanti kamu terangsang lagi" Perlahan Bari
menggeser tubuhnya menjauhi ibunya. Ia melanjutkan tidurnya, sementara
Surti segera bangun, mencari dasternya yang tercecer di lantai dan
mengenakannya sebelum beranjak keluar kamar. Sekilas diliriknya tubuh
bugil Bari.
"Ia ternyata sudah dewasa" bathinnya.
Dan, sejak itulah saat-saat tidur bersama seranjang dengan Bari mulai
memasuki babak baru. Surti tak mampu menolak manakala Bari dengan manja
memeluknya, menindihnya, bahkan dengan nakal meremasi teteknya atau
malah memaksa Surti membuka dasternya dan menetek seperti anak kecil.
Bagi Surti sendiri pelukan, tindihan, kuluman dan hisapan-hisapan Bari
di sekujur tubuh dan buah dadanya sungguh merupakan rangsangan yang
sulit dihindari. Ia tak mampu menolak itu semua, bahkan seolah memberi
izin Bari melakukannya setiap malam. Ya, setiap malam kini ia harus
menerima perlakukan seksual Bari yang tak kenal lelah. Pemuda tanggung
yang tengah panas-panasnya ini seperti mendapat mainan baru yang
menggairahkan.
Kini Bari tak segan lagi bertelanjang di depan ibunya, bahkan seringkali
ia ikut menelanjangi Surti hingga hanya tersisa CD. Bari tak segan lagi
menyuruh Surti memegang zakarnya dan mengocoknya. Sementara tangannya
sibuk memerah tetek Surti bahkan tak jarang coba mengelus-elus lubang
nikmat Surti meski dari luar CD. Merasa sudah kepalang basah, Surti pun
menikmati permainan seksual itu meski ia masih menjaga agar gua garbanya
tak lagi ditembus zakar Bari. Ia menjepit zakar Bari dengan pahanya dan
membiarkan sperma perjaka itu muncrat di luar atau di perutnya. Bahkan
akhirnya Bari memaksa Surti mengulum zakar tegang itu dan menerima
muntahan lahar panas. Mula-mula dimuntahkannya tapi lama-lama justru
dinikmati dan ditelannya. Ibu dan anak ini akhirnya saling belajar
memuasi dan dipuasi.
Tak tahan, Surti mulai mengajari Bari memuasi dirinya pakai tangan dan
akhirnya pakai lidah. Bari yang semula jijik, lama-lama terbiasa juga
menjilati lubang sempit bergelambir milik Surti. Biji kelentit dan
daerah G-spot merupakan kenikmatan tersendiri bagi Surti. Sampai ia
kadang orgasme. Mereka berdua kemudian malah setiap malam tidur
telanjang berpelukan, dan akhirnya Surti juga mengizinkan Bari
menancapkan zakar ke vaginanya. Bari sudah cukup bisa menahan diri untuk
tidak mengeluarkan sperma di dalam vagina Surti setelah diberitahu
kemungkinan kehamilan bila spermanya masuk ke rahim. Ya, selama beberapa
minggu, tanpa sepengetahuan siapapun, mereka bagai dua pengantin baru
yang asyik dilanda nafsu. Berpacu mengumbar birahi, tak peduli merupakan
hubungan incest. Bari yang masih muda begitu semangat dengan kegiatan
seksual mereka sementara Surti yang sudah lama tidak merasakan belaian
laki-laki ingin kerinduannya dipuasi. Nafsunya belum padam. Berbagai
gaya mereka lakukan, dari yang konvensional sampai gaya anjing kimpoi,
69, sambil duduk berhadapan atau Surti di pangkuan Bari dan seterusnya.
Pokoknya nikmat dan uenaak tenaanSampai di suatu pagi sekitar jam 6 pagi
Surti merasa tubuhnya sedang digerayangi Bari, padahal ia merasa masih
sangat mengantuk setelah semalaman bertempur seru sampai dini hari.
Dibiarkannya Bari merenggangkan pahanya dan untuk kesekian kalinya
menelusupkan zakar tegangnya lalu mulai mengocoknya. Keras, cepat dan
semakin cepat seperti terburu-buru Bari mengayun pantatnya. Ia ingin
menyalurkan nafsunya yang muncul di pagi hari, sementara jam tujuh ia
juga harus masuk sekolah. Genjotan Bari yang sedemikian keras lambat
laun juga merangsang Surti menggapai nikmat di pagi itu. Sayangnya
selagi Surti baru mencapai tahap pemanasan, mendadak tubuh Bari sudah
terkejang-kejang lalu buru-buru ia mencabut penisnya dari lubang nikmat
ibunya serta merta menyemprotkan sperma dengan deras ke perut ibunya.
Disusul mengoser-oserkan zakar tegang itu ke seluruh dada hingga
berakhir di jepitan tetek Surti.
Vagina Surti masih berdenyut-denyut ingin dipuasi ketika Bari sudah
meloncat keluar kamar untuk bersiap ke sekolah. Tinggallah Surti sendiri
kecewa sambil mengelus-elus vagina dan meremasi teteknya sendiri.
Nafsunya belum tuntas! Bari egois, hanya mau memuasi dirinya saja, tak
peduli ibunya kelojotan menahan nafsu. Baru sekitar jam tujuh pagi Surti
bangkit mengelap noda-noda di badan dengan CD-nya lalu mengenakan
dasternya dan merapikan ranjang yang hampir tiap hari harus ganti sprei
karena penuh bercak sperma dan mani mereka. Dibawanya sprei dan pakaian
kotor ke tempat cucian, direndamnya dan ditaburi deterjen bubuk.
Terdengar ada yang sedang mandi, pasti Banu pikir Surti. Banu, kakak
Bari, termasuk rajin cari tambahan penghasilan. Meski kadang pulang
dengan tangan hampa tapi ia selalu rajin bangun pagi, mandi lalu pergi
entah kemana. Cari obyekan, katanya setiap ditanya.
Pintu kamar mandi terbuka, Banu muncul.
"Mau kemana Nu?" tanya Surti.
"Cari motor, Bu. Kemarin ada teman cari motor bekas yang murah-murahan. Moga-moga motor Pak Panut belum dijual."
"Rumah Pak Panut agak masuk ke desa kan?"
"Iya, Bu, saya tahu. Paling nanti sampai sore baru pulang"
Sementara Surti menjemur pakaian, terdengar Banu pamit mau pergi.
"Saya pergi ya, Bu!" serunya.
"Ati-ati ya Eh, Basuki dimana?"
"Biasa, belum bangun, Bu" jawab Banu sambil keluar rumah. Pintu rumah
ditutupnya. Selesai menjemur pakaian, Surti lalu mandi, dicucinya
sekalian daster yang dipakainya. Seusai mandi ia hanya berbalut handuk
menutupi payudara hingga pahanya, menjemur pakaiannya. Melangkah masuk
ke rumah, dilihatnya Basuki duduk bersarung dan telanjang dada di kursi
makan, melamun. Pandangannya kosong. Surti kasihan juga melihat
sulungnya yang 25 tahun itu tak juga kunjung bekerja lagi.
"Sudahlah Bas, jangan melamun terus" bujuk Surti sambil mengambilkan segelas teh.
Diangsurkannya teh itu kepada Basuki, kemudian dijangkaunya kepala
Basuki dan dielus-elusnya seperti kebiasaannya waktu kecil dulu. Basuki
memejamkan mata dan mendadak tubuhnya seperti menggigil.
"Kamu kenapa Bas?" tanya Surti heran melihat putranya.
Dan lebih terkejut lagi ketika tiba-tiba Basuki bangkit dan berbalik memeluki dirinya seperti orang kesetanan.
"Bu.. tolong aku.. Bu" desisnya membuat Surti tambah panik.
"Bas, Bas! Kamu kenapa?" Surti bingung dan berusaha melepaskan diri.
Tapi tenaga dan tubuhnya yang hanya setinggi pundak Basuki tak mampu
menahan ketika perlahan namun pasti Basuki mendorongnya ke kamar. Bahkan
pergulatan mereka serta gesekan dengan kulit dada Basuki membuat
handuknya terlepas dan sarung Basuki melorot. Surti geragapan ketika
tubuh bugilnya diangkat Basuki ke atas ranjang dan digeluti.
"Bas! Bas! Gila kamu.. ini aku ibumu!" Surti terus berontak sambil mendorong dan memukuli. Namun Basuki terus menggelutinya.
"Bu tolong Bu, aku pingin sekali aku butuh." dan sadarlah Surti bahwa
saat itu Basuki sedang dilanda birahi. Ia pasti pernah merasakan tubuh
wanita dan sekarang, setelah lama puasa, butuh penyaluran.
"Apakah aku harus memenuhi hasratnya?" pikir Surti cepat.
"Bas Bas jangan Ibu kau jadikan pelampiasan Ugh" Surti tak menyelesaikan
kata-katanya karena putingnya dihisap keras sementara tangan Basuki
menggosok-gosok dan memasukkan jemari ke vaginanya dengan ganas.
Mengaduk-aduknya. Surti tergerinjal, nafsunya yang tadi belum
dituntaskan Bari kembali bangkit.
"Ah, kenapa lagi-lagi aku dinodai anakku?" jerit hati Surti.
Tenaganya melemah.
"Bas egh jangan Bas," lemah suara Surti ketika melihat zakar Basuki
tegang panjang memerah dengan urat-urat kehitaman di sekelilingnya.
"Aku tidak tahan lagi, Bu" Basuki menempatkan pantatnya di antara paha
Surti, mengarahkan pedang tumpulnya ke lubang nikmat ibunya lalu.
"Sleepp sleep bless bless" Surti sampai terangkat pantatnya ketika zakar
panjang nan tegar milik Basuki mencapai rahimnya dan menyentuh-nyentuh
pusat kenikmatannya. Kemudian dengan cepat menusuk-nusuk dan memompanya
bertubi-tubi.
"Shh shh sudah Bas.. cukup stop Ibu nggak tahan" bibir Surti bergumam
menolak tapi entah kenapa tangannya justru merangkul erat leher Basuki
dan membuka pahanya semakin lebar. Basuki tak peduli, terus bergoyang
dan bergerak naik turun.
"Hshh hshh cukup Bas jangan kamu keluarkan spermamu di dalam Ibu bisa
hamil" Surti semakin terhanyut oleh gerakan Basuki yang jauh lebih lihai
dibanding Bari.
Tanpa sadar ia mulai mengimbangi dengan putaran pantatnya Basuki sendiri
seperti tak mendengar suara Surti dan benar saja beberapa menit
kemudian, dengan zakar tetap menancap, tubuhnya mulai terkejang-kejang
berkejat-kejat lalu
"croott croott.." bersamaan dengan tekanan pantat ke vagina ibunya
sekeras-kerasnya muncratlah sperma membanjiri rahim Surti. Gilanya Surti
justru menggapitkan pahanya erat-erat ke pantat Basuki serta memeluk
punggungnya erat-erat dan maninya pun mengalir deras. Basuki ejakulasi.
Surti orgasme. Bareng.
Sejurus kemudian dua tubuh layu yang berpelukan erat itu saling
melepaskan diri. Terjelepak kelelahan, terbaring telentang. Dada mereka
naik turun ngos-ngosan. Masing-masing dengan pikiran melayang-layang.
Basuki dengan kesadaran sudah menyetubuhi Ibu kandungnya dengan nafsu
sebagaimana ia dulu sering salurkan ke wanita bayaran. Sementara Surti
sadar bahwa lagi-lagi ia telah bersetubuh dengan anak kandungnya.
Lagi-lagi ia jadi pelampiasan nafsu anaknya. Tapi bukankah ia juga ikut
menikmati lampiasan nafsu itu? Malah seperti membuka pintu kesempatan
untuk terjadinya seks incest itu?
"Kamu sudah puas, Bas?" tanya Surti berusaha tegar, "kalau belum cepat
lampiaskan lagi hasratmu ke tubuh Ibumu ini biar tuntas sekalian biar
kamu tidak melamun yang tidak-tidak lagi" entah keberanian dari mana
Surti mengucapkan tantangan ini.
Tentu saja Basuki terkejut. Perlahan ia memiringkan tubuhnya dan
dipandanginya wajah wanita setengah baya yang adalah Ibu kandungnya itu.
Wanita yang tubuhnya bugil telentang itu matanya terpejam. Mengingatkan
Basuki pada seorang wanita sebaya yang dulu pertama kali merenggut
perjakanya di rantau. Ya, Basuki ingat benar bagaimana ia melepas
perjakanya di atas tubuh istri majikannya yang kesepian karena sering
ditinggal suaminya pergi bisnis. Beberapa bulan mereka berhubungan. Dan
entah kenapa sejak itu Basuki selalu menyukai berhubungan badan dengan
wanita yang lebih tua, baik wanita bayaran atau yang sekedar cari teman
bersebadan.
Kini, setelah berbulan-bulan puasa, Basuki tak tahan untuk meletupkan
hasrat syahwatnya. Untuk mencari wanita bayaran ia tak lagi punya modal,
untuk mencari istri-istri kesepian tak lagi semudah di kota besar dulu.
Akhirnya diam-diam ia memendam hasrat nafsu pada Surti, yang semula
ditahan-tahannya karena bagaimanapun dia adalah Ibu kandungnya. Namun
bendungan itu jebol pagi ini ketika nafsu telah merasuk sampai di
ubun-ubun Basuki dan kesempatan terbuka manakala rumah sepi dan Surti
seperti menantangnya dengan hanya berbalut handuk. Sama seperti wanita
yang dulu memperjakainya juga hanya berbalut handuk ketika menyeretnya
ke ranjang nikmat.
Demi mendengar tantangan ibunya, percaya nggak percaya Basuki
mendekatkan wajah ke muka Surti. Namun mata Surti terus terpejam, seolah
menanti aksi Basuki selanjutnya. Pandangan Basuki menyapu seluruh wajah
lalu menurun ke payudara montok meski agak kendor, perut yang masih
langsing lalu bukit rimbun di bawahnya yang masih tersisa lengket cairan
mereka tadi. Antara sadar dan tidak Basuki menggerayangkan tangan ke
sekujur tubuh ibunya. Tubuh Surti jadi merinding. Digigitnya bibir
bawah, coba bertahan dari rangsangan itu. Namun sulit sekali, terlebih
manakala Basuki dengan piawainya mulai menggunakan lidahnya menggantikan
tangan. Seperti lintah, lidah itu bergerak menelusuri wajah, leher,
payudara, perut, pusar hingga akhirnya bermuara di kerimbunan
semak-semak lebat Surti. Dikangkangkannya paha Surti lalu. dengan ganas
lidah Basuki menyapu, menelusup dan menjilat-jilat liar lubang nikmat
Surti. Menimbulkan rangsangan hebat yang membuat Surti refleks memegang
kepala Basuki dan menekannya seolah ingin memasukkan seluruhnya ke
lubang vaginanya.
Sekejap saja Surti telah orgasme dan sekejap itu pula Basuki
membersihkan seluruh mani yang keluar dengan lidahnya, diminumnya. Lalu
lidah itu terus mengerjai vagina Surti, kadang kasar kadang halus.
Sampai beberapa menit kemudian Surti kembali harus mengejan
berkejat-kejat mengeluarkan maninya lagi. Orgasme lagi. Lagi dan lagi
Entah sudah berapa kali Surti kelojotan orgasme tapi Basuki tetap segar
menggarap lubang nikmat itu dengan lidahnya.
"Agh.. am.. ampun Bas cukup Ibu tak tahan lagi Ibu lemes banget" desis
Surti sambil terus meremasi rambut kepala Basuki setelah orgasmenya yang
ketujuh atau delapan.
Tulangnya seperti dilolosi. Sementara lidah Basuki masih mempermainkan
klitnya, menggigit-gigit kecil, menarik-nariknya. Ibu dan anak sudah tak
ingat lagi hubungan darah di antara mereka. Yang penting gejolak nafsu
terpenuhi.
Surti tak mampu menggerakkan tubuh lagi ketika Basuki merayapi tubuhnya
lalu sekali lagi menancapkan zakar tegarnya ke lubang vagina Surti
menggantikan lidahnya.
"Jangan keras-keras, Bas" pinta Surti yang merasa ngilu di vaginanya.
Rupanya Basuki tahu itu dan ia menggerakkan pantatnya dengan santai,
tidak tergesa-gesa. Justru kini ia lebih mementingkan pagutan bibir dan
lidahnya memasuki mulut Surti. Saling belit, saling sedot, sambil
tangannya meremas-remas gundukan gunung kembar Surti hingga puting itu
jadi keras.
Sampai berjam-jam lamanya Basuki memperlakukan ibunya seperti itu tanpa
sekalipun ia ejakulasi. Sementara Surti entah sudah berapa belas kali
orgasme, rasanya habis seluruh maninya. Setelah hampir tiga jam, Basuki
berbisik, "Ak aku mau keluar, Bu"
"Jangan di dalam, Bas Ibu bisa hamil"
"Keluar di luar tidak enak, Bu" Basuki meneruskan genjotannya.
Cepat, cepat dan semakin cepat. Surti ikut terlonjak-lonjak mengikuti
irama tarikan zakar Basuki. Tak mampu menolak kemauannya sampai akhirnya
Basuki kejang-kejang sambil menyemprotkan sperma berliter-liter.
"Creett.. Cruutt.." belasan kali bagai air bah. Lalu tubuh kekar itu
diam menelungkupi Surti tanpa mengeluarkan zakarnya dari vagina.
Denyut-denyutnya masih dirasakan Surti. Gila benar ini anak bisa tahan
sedemikian lama.
Kelelahan membuat mereka tidur berpelukan. Surti tak ingat lagi untuk
pergi ke pasar. Sudah terlalu siang setelah empat jam pergumulan tadi.
Justru yang terbayang kini adalah kejadian yang bakal dilaluinya di
hari-hari berikut, yakni harus melayani kebutuhan seks si sulung dan
bungsu bergantian. Si bungsu di malam hari, dan si sulung di siang hari.
Mereka tidak boleh saling tahu.
Namun, bagaimana dengan Banu, anak kedua. Apakah ia juga akan minta
jatah untuk menyetubuhinya? Kuatkah Surti menghadapi tiga "pejantan" ini
setiap hari? Bagaimana kalau suatu ketika ia digarap mereka bertiga
ramai-ramai? Atau sepanjang hari digilir mereka? Surti tak mampu
membayangkan itu semua.
Beberapa minggu setelah kejadian pertama dengan Basuki, aku telah
berpikir. Aku rasa anakku yang kedua, Banu, juga harus mendapatkan jatah
seperti kedua saudaranya. Tidak adil rasanya jika dia tidak
mendapatkannya. Lagipula, semua yang aku lakukan sudah telanjur jauh.
Mengapa tidak aku teruskan saja. Hanya saja aku belum mendapatkan cara
yang tepat untuk meminta anakku Banu. Mungkin aku sudah terkena penyakit
kelainan sex karena aku sangat menikmati hubunganku dengan anak-anakku
sendiri. Tapi biarlah, daripada harus menjajakan diri, aku pikir lebih
baik begitu. Kesempatan untuk bersetubuh dengan Banu akhirnya datang
ketika kedua Saudaranya sedang tidak ada di rumah.
Bari sedang ke rumah temannya, sedangkan Basuki pergi ke kota lain
selama beberapa hari. Jadi otomatis aku tidak mendapatkan kepuasan
selama beberapa hari itu, karena aku tidak disentuh oleh kedua anakku
yang telah menjadi pemuas nafsuku. Aku tidak mampu lagi menahan nafsuku
untuk bersetubuh, dan aku tidak mau bersetubuh dengan orang lain yang
tidak aku kenal. Aku bingung. Sampai ketika aku sedang duduk di ruang
tengah aku melihat Banu yang baru saja selesai mandi dan keluar dari
kamar mandi dengan hanya mengenakan celana pendek. Aku terkesiap.
Ternyata tubuh Banu tidak jauh berbeda dengan kedua saudaranya. Atletis
dan juga mengagumkan. Hasratku yang sudah sampai ke ubun-ubun
menggelapkan nuraniku. Aku berpikir, biarlah sekalian aku nikmati tubuh
semua anak-anakku. Tanpa pikir panjang, aku panggil Banu.
"Banu, kemari sebentar Nak," panggilku. Banu menoleh ke arahku dan berjalan menghampiriku.
"Ada apa Bu? Banu baru mandi nih. Mau pake baju dulu," kata Banu sambil menghampiriku.
"Tidak usah pakai baju Nak. Kemari sebentar. Ibu mau bicara dengan kamu." Kataku meyakinkan Banu.
"Tapi Bu, Banu kedinginan. Banu mau pakai baju dulu," jawab Banu ngotot.
"Udah, nggak usah membantah Ibu," kataku sambil berdiri dan menarik tangan Banu untuk mendekat.
"Duduk di samping Ibu," kataku lagi.
Banu pun akhirnya menurut dan duduk di sampingku. Aku pandangi tubuh
setengah telanjang yang duduk di sampingku. Sempurna. Itulah yang ada di
benakku saat ini.
"Boleh Ibu tanya Nak?" tanyaku kepada Banu.
"Ya tentu saja boleh Bu, emang ada apa sih?" Banu balik bertanya kepadaku sambil matanya memandangku penuh selidik.
"Kamu udah punya pacar Nak?" tanyaku basa basi.
"Ya belum donk Bu, emang kenapa sih Ibu tanya itu?" jawab Banu.
"Jadi kamu belum pernah ciuman donk?" tanyaku memancing.
Banu kelihatan keheranan dengan pertanyaanku tadi. Dia hanya diam beberapa saat.
"Ya belum pernah donk. Kok Ibu tanya begitu sih? Ada apa?" tanya Banu keheranan.
"Nggak kok. Kalau memang belum pernah, Ibu cuman ingin mengajari kamu ciuman. Itu pun kalau kamu mau?" jawabku ngawur.
"Ibu serius? Ibu nggak sedang bercanda kan?" tanya Banu lagi dengan nada tidak percaya.
Aku hanya menganggukkan kepala, lalu mendekatkan tubuhku kepadanya.
Kepala kami begitu dekat sehingga aku bisa merasakan hembusan nafasnya.
Aku dekatkan bibirku ke bibirnya. Lalu aku tempelkan bibirku. Banu hanya
diam saja dan tidak bereaksi. Aku mencoba lebih aktif lagi. Aku dekap
tubuhnya, sehingga tubuh kami bersatu.
"Kalau ciuman, bibirnya dibuka sedikit donk Nak," pintaku karena bibir Banu hanya tertutup rapat.
Aku cium lagi bibirnya, dia membuka bibirnya sedikit sehingga aku
mencoba memasukkan lidahku ke mulutnya. Lidahku dan lidahnya beradu di
dalam mulutnya. Terkadang aku sedot mulutnya untuk mendapatkan sedikit
air ludahnya. Lalu aku telan air ludahnya yang terasa nikmat. Setelah
sekitar 15 menit kami berciuman dengan mesranya, aku lepaskan dekapanku
pada tubuhnya. Banu seperti tidak rela untuk melepaskan diriku.
"Bagaimana Nak? Kamu suka?" tanyaku.
"Enak sekali Bu. Boleh lagi? Banu masih pengen nih." Kata Banu sambil terengah-engah.
"Boleh saja Nak. Bahkan lebih juga boleh kok." kataku lagi.
Aku berdiri di hadapannya. Lalu aku perlahan-lahan menurunkan resleting
dasterku. Aku turunkan dasterku dan aku buang ke samping sofa. Sekarang
aku hanya menggunakan BH dan celana dalam saja. Aku lihat Banu terkesiap
dan menelan ludah melihat pemandangan yang indah di depannya. Aku
melangkah mendekat ke arahnya. Aku dekatkan wajahku. Kami pun berciuman
kembali. Kali ini Banu sudah lebih mahir. Dia memasukkan lidahnya ke
dalam mulutku. Lidah kami bertautan seperti dua ekor ular yang sedang
bertarung.
Hanya suara desahan kami berdua yang memenuhi ruangan itu. Aku pegang
tangan kanannya dan aku arahkan ke buah dadaku yang masih terbalut oleh
bra. Secara alami tangan Banu mulai meremas-remas payudaraku dari luar
bra. Aku semakin terangsang saat tangannya meremas payudaraku. Tangan
kiriku mengusap-usap bagian luar celananya.
"Buka BH Ibu, sayang.. Ohh," pintaku sambil mendesah.
Tanpa diminta dua kali, tangan Banu dengan cekatan membuka kaitan BH-ku.
Kini di depan wajahnya terpampang dua buah bukit kembar yang sangat
ranum dan menggairahkan.
"Bu, susu Ibu gede sekali, ukuran berapa sih Bu?" tanya Banu takjub melihat besarnya payudaraku.
"38B sayang, gede kan? Kamu suka sayang?" jawabku penuh nada kebanggaan pada propertiku yang satu ini.
"Pegang susu Ibu sayang," pintaku sambil mendekapkan tangannya ke payudaraku.
Mungkin ini yang disebut dengan nafsu alami. Secara otomatis tangannya
mulai meremas-remas payudaraku. Aku hanya bisa mendesah-desah tak karuan
mendapatkan perlakuan seperti itu. Tak hanya meremas-remas, sepuluh
menit kemudian Banu secara naluriah mulai mengecup dan menjilati kedua
gunung kembar yang ada di depannya.
"Ahh.. Enaak.. Sayang.. Teruuss.. Emmpphh.." aku meracau tak karuan mendapat perlakuan seperti itu.
Kini hanya sehelai celana dalam yang melekat di tubuh kami. Tak sabar,
aku menjauhkan kepala Banu dari kedua gunung kembarku. Aku suruh Banu
untuk duduk di sofa. Peluh membasahi tubuh kami berdua meskipun
permainan baru saja di mulai. Aku berjongkok di antara kedua belah
pahanya yang terbuka. Aku pandangi tonjolan besar yang berada dalam
penjara yang disebut celana dalam. Aku usap-usap bagian luar celana
Banu. Banu menggelinjang mendapat perlakuan seperti itu. Perlahan aku
pegang pinggiran celana dalam Banu dan aku berusaha untuk melepaskan
celana dalam itu dari tubuhnya.
Sebuah pemandangan yang sangat indah bagiku terpampang begitu saja
ketika celana dalam itu sudah lepas dari tubuhnya. Kini Banu sudah
telanjang bulat. Kontol yang sangat besar, dengan panjang sekitar 18 cm
dan diameter yang cukup besar membuat diriku menelan ludah. Aku pegang
kontol Banu dengan tangan kananku. Aku elus-elus kontol itu pelan-pelan.
Banu hanya mendesah saja mendapatkan perlakuan itu. Aku dekatkan
wajahku ke kontol Banu. Aku ciumi ujung kontol yang merekah itu, lalu
aku jilati kontol itu. Banu semakin tidak karuan mendapat perlakuan yang
semakin merangsang itu. Lima menit kemudian, aku masukkan kontol Banu
ke dalam mulutku dan aku oral kontol Banu.
"Ohh.. Enaakk Buu.. Teruus.." Banu mendesah.
Aku memasukkan kontol Banu ke dalam mulutku dan juga secara bergantian
mengocok kontolnya dengan tangan kananku sambil menjilati buah pelirnya.
Setelah itu aku masukkan lagi kontol Banu ke dalam mulutku lalu aku
memaju mundurkan mulutku sedangkan tanganku bekerja meremas-remas kedua
pelirnya dengan lembut.
"Enaakk.. Bu.. Kontooll.. enaakk.. Teruss.."
Kata-kata semacam itu terus-menerus keluar dari mulut Banu. Sekitar
sepuluh menit kemudian Banu memegang bagian belakang kepalaku
seakan-akan tidak mau melepaskan hisapan mulutku dari kontolnya.
"Buu.. Mauu.. Ke.. Lu. Aar.. Ceepaat.." teriak Banu.
Aku semakin mempercepat kocokan mulutku di kontolnya. Tidak lama
kemudian aku merasakan adanya denyutan-denyutan yang menandakan kalau
Banu akan mencapai puncak.
"Keluarkaan sayang, keluarkan di mulut Ibu," kataku di antara desahan
nafasku dan nafasnya dan di antara kesibukanku mengoral kontolnya.
Creet.. Croot.. Creet.., mungkin sebanyak sembilan atau sepuluh *an
sperma Banu memenuhi rongga mulutku. Hampir saja mulutku tidak dapat
menampung banyaknya *an sperma Banu yang sangat banyak itu. Wangi dan
gurih, itulah yang aku rasakan. Mungkin dikarenakan Banu masihlah
perjaka (atau tidak??). Banu duduk telentang dan bersandar di sandaran
sofa dengan nafas yang terengah-engah seperti baru berlarian. Tapi, dia
memang baru saja 'berlarian' mengejar nafsunya bukan? Aku lalu duduk di
sampingnya. Aku biarkan dia istirahat dulu, aku tidak ingin terburu-buru
meskipun nafsuku sudah sampai ke ubun-ubun. Ini adalah yang pertama
baginya. Aku ingin kepuasan untuk kami bedua.
"Kamu capek Nak? Pejumu tadi benar-benar lezat Nak. Ibu sangat
menikmatinya", sanjungku tentang spermanya yang aku telan tadi. Banu
hanya tersenyum saja mendengar sanjunganku.
Setelah aku melihat Banu sudah mulai tenang, aku dekatkan wajahku ke
wajahnya. Seperti sudah mengerti yang aku maksud, Banu juga mendekatkan
wajahnya ke wajahku. Mulut kami bersatu dan kami berciuman. Aku buka
sedikit mulutku, bagitu juga Banu. Lidahnya mulai masuk ke dalam mulutku
dan menyapu seluruh rongga mulutku. Kedua lidah kami beradu, saling
membelit dan saling menjilat. Aku dekap tubuhnya erat sedangkan Banu
memegang bagian belakang kepalaku. Aku rasakan kedua gunung kembarku
bersentuhan dengan dada bidang milik Banu. Banu berusaha menidurkan aku
di sofa sambil kedua tangannya bergerilya di seluruh tubuhku. Sekarang
aku telentang di sofa dan Banu berada di atas menindihku.
"Ludahi Ibu, Nak. Ibu haus. Ludahi Ibu," pintaku kepada Banu untuk memberikan air ludahnya kepadaku.
Banu menjauhkan sedikit mulutnya dari mulutku. Mulut Banu
mengecap-kecap, berusaha mengumpulkan air ludah sebanyak-banyaknya.
Setelah dirasa cukup banyak, Banu mendekatkan mulutnya kembali ke
mulutku. Aku membuka mulutku seperti ikan yang megap-megap kekurangan
air. Perlahan Banu membuka mulutnya. Aku dapat melihat air ludah yang
mengucur keluar dari mulut Banu. Aku dekatkan mulutku dan aku satukan
mulutku dengan mulut Banu. Aku tampung semua air ludah yang dikeluarkan
oleh Banu. Aku katupkan mulutku lalu aku kecap-kecap sebentar kumpulan
air ludah Banu yang berada di mulutku lalu aku menelannya. Aku dekap
kepalanya lalu kami berciuman kembali. Aku rasakan di bawah, kontolnya
kembali menegang. Sesaat kemudian, aku lepaskan dekapanku lalu aku
dorong tubuh Banu ke bawah.
"Buka celana dalam Ibu Nak. Ayo lakukan," aku meminta Banu untuk membuka celana dalamku.
Banu mendekatkan kedua tangannya ke pahaku lalu menarik celana dalamku
ke bawah. Aku mengangkat pantatku sedikit untuk memudahkan dirinya
menelanjangiku. Tak sampai hitungan menit, celana dalamku sudah lepas
dari tubuhku. Kini kami berdua sudah dalam keadaan telanjang bulat.
Sekarang Banu benar-benar terpana melihat pemandangan paling indah yang
tidak pernah dilihat atau bahkan diimpikan sepanjang hidupnya. Di
hadapannya, sebuah vagina yang bersih karena tidak ada bulu-bulunya
terpampang jelas di depan matanya. Aku melihat keragu-raguan di matanya.
Seperti seorang guru yang sedang mengajari muridnya, aku dekatkan
kepala Banu ke vaginaku.
"Jangan bengong aja Nak. Cium memek ibu, jilat memek Ibu. Lakukan apa saja Nak," aku menyuruh Banu untuk melakukan aksinya.
Tak lama, Banu mendekatkan kepalanya ke vaginaku dan mulai menciumi
permukaan vaginaku. Aku mendesah pelan. Lima menit setelah puas menciumi
seluruh permukaan vaginaku, Banu mengeluarkan lidahnya dan mulai
menjilati vaginaku. Aku merasakan permukaan yang kenyal dan basah yang
menyentuh vaginaku. Perasaanku semakin tidak karuan saja. Tangan kananku
berusaha membantu. Dengan dua jari aku berusaha membuka vaginaku
sehingga sekarang tidak hanya permukaanya saja yang tersapu oleh lidah
Banu, tetapi lidah Banu juga mulai masuk ke dalam vaginaku. Banu bahkan
bisa menggigit-gigit kecil.
Nafasku semakin tidak beraturan. Tanpa diperintah, Banu memasukkan dua
jari tangan kanannya ke vaginaku. Aku semakin tidak karuan saja. Dia
mengocok-ngocok vaginaku sambil tetap menjilatinya. Pantatku
bergoyang-goyang tidak karuan. Tidak puas hanya menjilati vaginaku saja,
saat pantatku terangkat Banu juga menjilati lubang pantatku. Aku
sebenarnya ingin melarangnya karena itu menjijikkan tetapi aku tidak
sanggup karena nafsu sudah menguasaiku. Tidak sampai lima belas menit
kemudian aku merasakan ada dorongan kuat dalam diriku.
"Ahh.. Ibuu mauu keluuaar.. Naakk.." teriakku mendekati orgasmeku yang pertama.
Serr.., ser.., air maniku muncrat keluar. Seakan tidak ingin
mengecewakan Ibunya, Banu membuka mulutnya lebar-lebar untuk menampung
muncratan air maniku. Beberapa *an sempat mengenai wajahnya. Mulutnya
menggembung seakan tidak muat menampung banyaknya air maniku yang memang
sudah tidak keluar selama beberapa hari. Aku mengira Banu akan menelan
air maniku, tetapi ternyata pikiranku salah.
Setelah yakin bahwa vaginaku sudah tidak mengeluarkan mani lagi, Banu
mendekatkan kepalanya ke kepalaku. Aku masih belum tahu apa maksudnya.
Tangan kanan Banu memegang pipiku memintaku untuk membuka mulutku. Aku
dapat menebak apa maunya, dan entah mengapa aku mau saja membuka mulutku
lebar-lebar. Banu membuka mulutnya sedikit demi sedikit. Dan sedikit
demi sedikut pula, setetes demi setetes air maniku yang sudah ditampung
Banu di mulutnya menetes ke mulutku. Aku menerima tetesan demi tetesan.
Tak lama, Banu mendekatkan mulutnya dan menciumku dengan mulut yang
sedikit terbuka. Air mani yang sudah berpindah tempat ke mulutku
dipermainkannya. Lalu Banu membalik tubuhku sehingga kini aku berada di
atas tubuhnya sambil kedua mulut kami masih tetap menyatu. Dalam posisi
di atas Banu, mau tidak mau air maniku yang sudah berada di mulutku
kembali mengucur ke mulutnya karena mulut kami berdua membuka. Tak
menyia-nyiakannya, kali ini Banu langsung menelan semua air maniku yang
tadi kami buat mainan di mulut kami berdua. Ditelannya semua air mani
itu tanpa sedikitpun yang tersisa untukku.
"Aahh.. Segar sekali air mani Ibu.. Enak Bu..," kata Banu sambil tersenyum di sela daesah nafasnya yang masih tidak teratur.
"Kamu suka Nak? Ibu senang kalau kamu menyukainya. Peju kamu juga enak kok," kataku menimpali, sambil tersenyum kepadanya.
Tak berlama-lama, aku turun ke bagian selangkangannya. Aku pegang
kontolnya yang masih tegang seperti tiang bendera. Aku pegang kontol
Banu dengan tangan kananku. Tidak menunggu lama, aku oral lagi kontol
Banu. Banu kembali mendesah-desah mendapat perlakuan itu lagi. Aku
memajumundurkan mulutku yang sedang menghisap kontol anakku. Sepuluh
menit kemudian, aku minta Banu untuk berdiri dari sofa. Aku tidur
telentang di sofa menggantikan dirinya.
"Masukkan kontolmu sayang. Memek Ibu sudah pengen ngerasain kontol
gedemu," pintaku kepada Banu sambl menyibakkan lubang vaginaku untuk
memudahkan penetrasi yang akan dilakukan Banu.
Banu memegang kontolnya dan bersiap-siap untuk mencobloskan ke vaginaku.
Diusap-usapkannya ujung kontolnya di pintu masuk vaginaku dan..
Breess..
"Aahh..," teriakku ketika kontol gede itu menembus vaginaku.
Sleep.. Sleep.. Plok.., suara kocokan kontol banu di vaginaku.
"Enaakk.. Yaangg.. Teruss.. Kontolmu gede.. Naak.." aku meracau tidak karuan.
Banu tidak berkata apa-apa. Hanya desahan-desahan yang semakin keras
yang keluar dari mulutnya. Keringat deras membasahi tubuhnya. Aku
pandangi wajahnya. Betapa tampannya anakku ini, dalam hati aku berpikir.
Aku menggoyangkan pantatku untuk mengimbangi permainan Banu. Aku
mengusap keringat yang membasahi wajahnya dengan kedua tanganku. Mungkin
ini adalah kasih sayang seorang ibu.
Lima belas menit kemudian, aku meminta Banu untuk mencabut kontolnya
dari vaginaku. Banu melakukannya walaupun dengan keraguan. Lalu aku
memintanya untuk tidur telentang di sofa. Setelah Banu tiduran, aku
mengangkangi selangkangannya. Aku pegang kontol Banu, lalu aku mencoba
untuk mengepaskan ke lobang vaginaku. Setelah aku rasa tepat, aku
turunkan pantatku dan.., Bleess..
Kontol Banu kembali memasuki sarangnya. Aku menaikturunkan tubuhku untuk
mengocok kontol Banu. Kedua gunung kembarku bergoyang naik turun
seperti mau lepas. Aku pegang tangan Banu dan aku arahkan ke payudaraku.
Banu sudah mengerti apa yang aku mau. Sambil menggerakkan pantatnya
naik turun menyambut vaginaku, kedua tangan Banu bergerak aktif
meremas-remas payudaraku. Hal ini semakin menambah rangsangan buatku
dan..
Seerr.. Seer.. Seerr.., aku mengalami orgasme yang kedua. Tetapi Banu
tampaknya tidak peduli dengan itu. Dia tetap saja menaikturunkan
pantatnya. Aku biarkan saja dia meski sebenarnya aku ingin istirahat.
"Bu, ganti posisi donk, Ibu turun dulu," kali ini Banu yang meminta untuk berganti posisi.
Aku lepaskan jepitan vaginaku yang basah karena sudah orgasme. Banu berdiri dari sofa.
"Sekarang Ibu berdiri menghadap sofa, lalu berpegangan ke sofa," pinta Banu.
Aku yang masih tidak mengerti apa maksudnya mengikuti saja apa maunya.
Setelah aku berposisi menungging sambil berpegangan ke sofa, Banu
memasukkan kontolnya ke vaginaku dari belakang.
"Aahhggh.. Hebatt.. Kamu naakk..", aku menjerit lagi.
Kali ini dengan posisi yang belakangan aku ketahui bernama "Doggy Style"
kami berdua melanjutkan 'olahraga' seks kami. Dari belakang Banu
meremas-remas dan mengusap-usap pantatku. Ruangan ini dipenuhi dengan
suara-suara erotis yang menandakan dua insan sedang beradu kenikmatan.
Tak hanya meremas pantatku, dari belakang Banu juga meremas-remas kedua
payudaraku. Aku pun tidak mau kalah. Vaginaku meremas-remas kontolnya
yang sedang berada di dalamnya. Pantatku pun tidak mau tinggal diam. Aku
memutar-mutar pantatku untuk menambah sensasi yang dirasakan oleh Banu.
Rupanya apa yang aku lakukan itu membuat pertahanannya runtuh juga. Aku
pun tidak bisa lagi menahan orgasmeku yang ketiga.
"Sayaangghh Ibu mau keluaarr laggii..," aku menjerit keras ketika aku
merasakan akan orgasme untuk yang ketiga kalinya. Seerr.. Seerr.. Aku
merasakan vaginaku basah oleh air maniku sendiri.
"Buu.. Aku juugaa mauu keluaarr..," teriak Banu. Mendengar itu aku segera saja meminta Banu untuk mencabut kontolnya.
"Cabut kontolmu sayang.. Ibu mau minum air pejumu lagi..," aku memintanya.
Banu segera mencabut kontolnya. Aku segera saja berbalik dan memasukkan
kontolnya ke mulutku. Aku tidak peduli dengan air maniku yang masih
menempel di kontolnya. Toh, rasanya juga enak. Sepuluh menit aku
mengocok kontolnya dalam mulutku dan..
Croot.. Croot.. Croot.., sperma Banu menyemprot ke dalam rongga mulutku.
Tidak sebanyak yang pertama memang, tapi aku tidak peduli. Semua sperma
yang di*kan kontol Banu aku telan. Gurih dan wangi. Aku semakin
menyukai rasa sperma dari anak-anakku. Setelah kontolnya tidak lagi
mengeluarkan sperma, aku jilati kontolnya untuk membersihkannya.
Banu lalu duduk di sofa dengan nafas yang tidak karuan. Aku
memandangnya, dan dia pun memandangku. Aku tersenyum kepadanya, begitu
juga dia. Aku suruh dia mendekat. Aku peluk dia seperti seorang kekasih
yang lama tidak bertemu.
"Terima kasih Nak. Ma'af, Ibu melakukan ini kepadamu. Kamu suka?" aku bertanya kepadanya.
"Banu bahagia sekali meskipun Banu tidak tahu mengapa Ibu melakukan ini.
Tapi Banu tidak peduli. Banu sayang sama Ibu," jawab Banu sambil
tersenyum.
"Tapi, bolehkah Banu melakukan ini lagi sama Ibu?" tanya anakku itu. Aku
tersenyum mendengar pertanyaannya. Toh, ini semua aku yang memulai.
"Tentu saja sayang. Kapanpun kamu mau, selama tidak ada orang," jawabku sambil mengelus kepalanya.
Selama kedua saudaranya tidak ada di rumah, aku dan Banu terus melakukan
hubungan sedarah itu. Kami melakukannya di tempat tidur, di dapur, di
kamar mandi di mana saja asal memungkinkan. Aku pasti akan menceritakan
kelanjutan hubungan yang kami lakukan selama kedua saudaranya tidak ada
di rumah dalam tulisan selanjutnya.
Dan setelah kedua saudaranya pulang, ada satu kejutan besar yang aku
lakukan. Aku menceritakan kepada mereka bertiga bahwa aku sudah
bersebadan dengan ketiganya. Walau sangat terkejut mereka dapat
menerimanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar